Posts

Showing posts with the label Fiksi

Kabar Terakhir

Image
  Tatapanku pada seberang jalan yang hening dari balik jendela ini menyematkan rindu di sela-sela dingin pagi. Rindu itu menyelinap ke dalam hati yang berserak puing-puing kenangan masa silam yang kini kurasakan amat kelam. "Dinda, tengah apa kau di sana?" ucapku lirih sekali agar tak terdengar oleh embun sekalipun. Ku tak mau rinduku ini sampai padanya. Biar hanya aku dan hatiku sendiri yang tahu. "Semoga bahagia selalu menyertaimu. Tanpa perlu kau mengetahuinya, aku masih menyimpanmu rapat di sebuah ruang di balik dada ini." Telaga di mataku nyaris tak mampu menahan luapan airnya. Air yang berkandungkan kesedihan, kepiluan, dan yang pasti: ganasnya rindu. ** Setahun lalu. Di pertengahan bulan Ramadhan. Bulan yang mana umat islam menunaikan kewajiban berpuasa yang dibebankan di dalamnya tanggung jawab besar. Sebab hanya Allah dan muslim itu sendiri yang tahu bagaimana kewajiban yang dijalani. Apakah sungguh ia melakukan, atau hanya sekadar kepura-puraan. Di masa i...

Macan Kumbang Betina

Image
Cepek dapat apa? Si Meme yang montok itu sudah jelas ngga mungkin. Mbak Susi juga sudah ngga mau." Telunjuknya dengan pelan menggeser ke atas foto-foto wanita yang mengiklankan jasa "ranjang" di facebook. Matanya dituntut cermat agar tidak melewatkan harga yang cocok dengan isi kantong. Susah memang mencari satu postingan yang menarif seratus ribu sekali main. Pernah ia menawar, "setengah mainan ngga apa-apa deh . Udah kebelet." Jelas saja ditolak. Mana ada jasa ranjang yang setengah mainan? Apa kalau sudah mau klimaks ditahan biar ngga keluar? Tapi tidak selamanya kantongnya tandus. Terkadang kalau kacang atau ubi rebus yang ia jajakan keliling alun-alun ludes, dua malam berturut-turut, lima ratus bisa ada di kantongnya. Dengan uang sebanyak itu pilihan teman kencan jadi lebih bervariasi. Dan tentu saja minim penolakan. Hanya, karena pilihan banyak, ia pun kebingungan. Ada yang sintal, ada yang tobrut , yang kurus tapi putih cantik semampai serup...

Suatu Ketika di Sebuah Konser Iwan Fals

Image
Sesak sekali jalan-jalan dipenuhi manusia. Kebanyakan anak muda. Entah, aku tidak tahu mengapa musisi setua Iwan Fals penggemarnya anak-anak muda. Tapi, suasana konser jadi mengesankan: orang tua sampai anak kecil semua gegap gempita menyambut lagu "Bongkar". Manusia-manusia bertebar di mana-mana. Ada yang bertengger di masjid, warung lesehan sego megono, angkringan sing bakule ayu , di bazar buku depan Perpusda, seperti aku yang malam ini bersengaja memburu novel-novel murah, yang berkisah tidak jauh dari persoalan asmara. Gema sound system menyebar ke seluruh penjuru alun-alun. Pembawa acara menyerukan pada semua penonton untuk menyambut kehadiran Iwan Fals di panggung. Dua novel yang sudah di tangan segera saja aku larikan ke meja pembayaran. Keluar dari bazar buku aku dihadang berhimpit-himpit orang yang berjalan dengan arah masing-masing. Beberapa kali langkahku terhenti oleh anak muda bersepatu yang melintas. Rekaman suara pedagang tahu bulat yang berulang-ulang...

Cerita yang Sering Berakhir Keliru

Image
Dia tidak secerah dulu. Walaupun senyumnya masih terpancar dan kecupnya masih rutin menjelang bertolaknya ke tempat kerja. Jawabannya tidak pernah lain saat aku bertanya kenapa? "Tidak apa-apa," demikian sembari menyambar tasnya dan berlalu. Semenjak mendung bersarang di wajahnya, sudah tujuh kali tanya dan jawab yang sama itu saling melesat. Seperti pagi-pagi yang lain, hari itu aku menyiapkan pakaian yang hendak ia kenakan. Terkecuali akhir pekan. Ia akan menjalani tidurnya lebih lama. Apalagi ketika malamnya kami habiskan untuk menandaskan gairah. Kami berdua menempati rumah pemberian orang tua Dika. Terutama oleh ibunya, Dika dicurahi kasih sayang yang tiada sewajarnya. Sebagai anak semata wayang, perhatian ibunya tidak bisa lepas kepada Dika bahkan sampai ia telah empat bulan ini menjadi suamiku. Meskipun banyak hal dalam hidup Dika diatur ibunya, tapi tidak dengan pilihan pendamping hidup. Selama ini ia menyayangiku dengan segenap perasaan tanpa memandang apa yang kura...

Hampir Mati, dan Seks Menyelamatkanku

Image
Semua orang pusing. Ada-ada saja Si Kepala Suku. Mengeluarkan kebijakan pembatasan kelahiran di zaman purba begini. Apa sebagai pejantan dia tidak tahu, kalau menahan cairan kental agar tidak keluar pas tongkat sudah berada di dalam goa itu susah? "Wahai pejantan dan betina dari suku yang kita semua cintai! Wilayah kita ini sudah hampir sesak. Tapi kita harus tetap mempertahankan karakter suku kita yang ramah dan menerima semua orang yang datang menyambung hidup di sini," serunya suatu ketika dalam upacara peringatan Hari Paya-Paya. Dan dihelatlah sebuah pelatihan untuk para pejantan tentang bagaimana teknik jitu menahan ejakulasi. Sembari para tetua mencoba menemukan ramuan untuk menanggulangi kehamilan. Para pejantan berduyun-duyun mengikuti pelatihan itu di tanah lapang yang biasa dipakai untuk perayaan masal. Disajikanlah sebatang bambu yang di dalamnya terdapat dedaunan yang ditumbuk sampai lembut, lembut sekali, hingga teksturnya hampir menyamai liang kebetinaan. Me...

Rumah Penghakiman Orang Sesat

Image
Sesampainya aku di sana pagar besi telah terbuka. Kupikir di dalam pasti ada manusia. Aku melangkahkan kaki lamban usai menyingkap pagar yang belum terbuka penuh itu. Rerumputan di halaman rumah Riffan nampak baru dipangkas dengan amat rapi. Hijaunya yang segar mengitari pohon mangga yang menjatuhkan berlembar-lembar daun. Langkahku pelan namun menghentak. Sengaja agar ada orang yang keluar segera. Sudah seperti kanak-kanak menirukan cara berjalan tentara. Namun demi firasatku yang negatif aku tak hirau dan terus melakukannya. Langkah satu ke langkah berikutnya tak membuahkan hasil. Tak seorang pun manusia menyembulkan wujud barang sehelai rambut. Sampai di muka pintu mataku melihati sekitar, sejurus kemudian kedua tanganku kuletakkan seperti kaca mata kuda di tepi jendela sebelah pintu. Lalu kumajukan wajah hingga jidat menempel kaca. Aku ingin tahu ada siapa di dalam sana. Namun hitamnya kaca jendela rumah Riffan terlalu pekat untuk bisa diterawang setidaknya hingga ruang tamu. B...

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Image
K au pasti tanya berapa banyak perempuan ayu, berkulit putih nan bersih, yang rambutnya lurus panjang, dan tawanya sederhana itu yang sudah aku jumpai? Terus terang saja, aku tak pernah menghitungnya. Dan aku tak berharap semuanya dapat aku rengkuh. Jangankan semua, satu saja mungkin Tuhan masih belum mengizinkan." Bibirnya terkatup. Ia terdiam. "Ah, mengapa banyak perempuan cantik itu berhamburan di minimarket, di ATM, di angkringan, di setiap lampu merah, di pasar, di dalam mimpiku? Sementara kala sore tiba aku hanya bisa mencurahkan kegelisahan tentang mereka padamu? Nyaliku tak cukup untuk sekadar menanyainya perihal nama. Jika bisa, aku ingin menggandengnya, mengajaknya nonton, ngobrol di kafe, berkeliling naik motor dan pada waktunya tiba akulah hangat untuknya di perjalanan malam yang dingin." Nyaris aku meninggalkan ia bermonolog tanpa penonton. Tapi ia buru-buru mencegat langkahku, penonton tunggalnya. "Dengarkan dulu ceritaku..." bujuknya. Baiklah, ba...

Mahakarja #4 (Sebuah Cerpen)

Image
  Tanpa seretan, penjahat itu sudah seperti selebritis menyibak kerumunan wartawan, diiringi polisi di kedua sisinya. Perekam suara disodorkan, namun si penjahat berbaju orange itu tidak mengatakan apa pun. Sementara polisi tetap menyapu jalan yang disesaki wartawan dari segala media, cetak pun daring, dari nasional hingga lokal, yang ternama hingga amatir. Ia adalah seorang lelaki berbadan gemuk. Jauh lebih gemuk jika dibandingkan dulu saat dengan gesitnya ia ber- long march menyusuri jalanan kota menuju “istana” yang kemarin ia duduki bersama dengan pembesar lain yang barangkali juga tersangka namun tak tertangkap. Dan mengapa penjahat itu tidak menyeret kawan-kawannya? Apa karena ia tak terlalu memusingkan soal hukumannya yang memang tak perlu dipusingkan: kurungan yang sama saja dengan di rumah sendiri—hanya saja lebih sempit, karena tak mungkin memperluas ruang tahanan, cukup diketahui saja hukuman pura-pura itu, tak perlu gamblang terpampang di lembar-lembar surat kabar...

Hantu-Hantu B*ngsat (Sebuah Cerpen)

Image
  S i Sulung dalam seminggu mungkin hanya separo dari total malam ia habiskan untuk (bisa) tidur. Ia terjaga untuk menghindari gangguan hantu-hantu usil dan kejam yang mengusik ketenangan. Sembari menjaga si Bungsu, barangkali lingkaran pelindung yang ia buat terjebol. Sebab meski telah diawasi, kecerdikan hantu bangsat itu mampu melewati garis putih yang dibuatnya. K ata orang, hantu-hantu ini senang dengan suhu yang hangat. Pada malam-malam yang dingin mereka merangsek lewat celah yang ada di rumah ini, menyelinap di antara himpitan yang tercipta dari orang-orang yang terlelap. Kadang nampak wujud mengerikan yang membuat bergidik. Kadang menghilang dengan cepat. Mereka pandai sekali bersembunyi. Setiap hari darah harus rela atau tidak terisap oleh taring-taring mereka yang “lembut” itu. "Setan!" Pekik itu milik sang Ayah. Si Sulung yang sedang menahan kantuk di depan televisi sontak terbelalak. Ayah dan ibunya berhambur keluar dari kamar. Kulit lengan dan wajah mereka ...

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)

Image
  M embaca pengantar buku ini membuat saya ingin berkata: ini salah satu yang sedang saya cari! Buku kumcer Penjaja Cerita Cinta adalah sedang saya cari walaupun sebelumnya tidak tahu bahwa ternyata ada buku macam ini yangmana ditujukan bagi pegiat literasi yang tengah belajar menulis fiksi. Dengan berbagai ragam kebolehan teknik dari penulis mulai dari pemilihan unsur tema, ide, alur, dialog, narasi, setting, konflik, diksi, snapshot , kalimat lugas, hingga pesan moral dan ending . Banyak hal itu yang disampaikannya dalam Pengantar, mungkin dengan maksud memberi sedikit petunjuk bagi yang ingin mempelajarinya. Meski demikian untuk hal itu secara umum saya memandang banyak kumcer (kumpulan cerita) yang menyajikan hal sama. Perbedaannya terletak pada biasanya penulis lain tidak menyampaikan dalam pengantar atau bagian khusus mana pun tentang apa saja yang harus dipelajari dan tidak menerangkan pula bahwa cerpen-cerpen mereka mengandung teknik penulisan yang beragam. Setelah P...

Nik 5: Hilir (Sebuah Cerpen)

Image
A ku ingin mengabarkan padamu bahwasanya aku telah terbangun dari lamunan oleh jatuh hati yang tak terbalas. Aku tak perlu hirau akan goresan yang baru itu. Karena aku telah sadar di balik goresan itu terpendam memar yang menjiwa. Bila perlu aku akan sibakkan sedikit goresan baru yang saat ini terus ku temui hingga terlihat olehku keterpurukan di alam purba yang pernah ada. Bersama angin, kenangan itu datang mengembus ragaku. Meresap lewat celah apa saja di sana. Butirannya melesat cepat dan menancap di atas saraf nan usang. Syahdan, sekujur jiwa tergetarkan. Guruh bergemuruh menggumpalkan awan hitam. Hujan turun menerabas dedaunan. Dan aku bersyukur. Air mataku samar. Rintih atas perih dari alam purba lamat. Senyum tanda ketegaran tumbuh setelah tersirami. Rekan di depanku, di mana aku berjalan paling belakang, ia menoleh memeriksa. Ternyata jarakku cukup jauh tertinggal dari serombongan pecinta alam yang tengah menelusuri hutan di Gutomo. "Cepat..." Anak lelaki itu menyeru,...