Kabar Terakhir

 


Tatapanku pada seberang jalan yang hening dari balik jendela ini menyematkan rindu di sela-sela dingin pagi. Rindu itu menyelinap ke dalam hati yang berserak puing-puing kenangan masa silam yang kini kurasakan amat kelam.

"Dinda, tengah apa kau di sana?" ucapku lirih sekali agar tak terdengar oleh embun sekalipun. Ku tak mau rinduku ini sampai padanya. Biar hanya aku dan hatiku sendiri yang tahu.

"Semoga bahagia selalu menyertaimu. Tanpa perlu kau mengetahuinya, aku masih menyimpanmu rapat di sebuah ruang di balik dada ini." Telaga di mataku nyaris tak mampu menahan luapan airnya. Air yang berkandungkan kesedihan, kepiluan, dan yang pasti: ganasnya rindu.

**

Setahun lalu. Di pertengahan bulan Ramadhan. Bulan yang mana umat islam menunaikan kewajiban berpuasa yang dibebankan di dalamnya tanggung jawab besar. Sebab hanya Allah dan muslim itu sendiri yang tahu bagaimana kewajiban yang dijalani. Apakah sungguh ia melakukan, atau hanya sekadar kepura-puraan. Di masa itu- aku- untuk yang terakhir kalinya mendapat kabar Dinda.

**

Dinda, putri seorang ustaz pendatang di desaku. Sedang aku adalah putra dari ayahku, mantan kepala desa yang menaruh benci pada Ayah Dinda, disebabkan warga desa telah mempercayakan Ayah Dinda untuk memberi ceramah dalam pengajian setiap sore di masjid sejak awal Ramadhan.

Ayahku bukan seseorang yang anti-pengajian. Tidak pula ia jauh dari taqwa. Ia hanya merasa kedudukannya sebagai pemuka desa tersisih oleh Ayah Dinda.

**

Suatu malam waktu shalat tarawih. Ketika tiba jatah Ayah Dinda menjadi imam, puncak konflik terjadi. Delapan rakaat usai jamaah telah berdiri kembali. Dari belakang Ayah memukul keras bahu imam dengan songkoknya. Sontak, semua terperangah. Aku yang berdiri di shaf kedua kaget bukan main. Pukulan Ayah itu tak seberapa menyakitkan untuk kulit manusia. Namun sikapnya itu yang lebih mememarkan hati. Baik aku, terlebih sang imam, Ayah Dinda.

"Tidak usah sok tartil! Kalau mau lama-lama, sholatlah kau seorang diri!"

**

Usai menolehkan kepalaku ke kiri lalu mengusap wajah, kulayangkan pandang kesana-kemari. Namun mataku tak ketemukan sosok Ayah Dinda di barisan manapun shubuh ini.

Setelah jamaah membubarkan diri, kasak-kusuk kudengar dari dua lelaki di samping ku berjalan. Merasa terkejut dengan apa yang mereka bisikkan, spontan aku menyela, "Apa...! Pergi?!"

Keduanya menoleh padaku.

"Iya, Den. Mereka pergi dari desa ini dini hari tadi. Pak Ustadz berpamitan lewat Pak Lurah dan saya, yang pas itu baru pulang lembur," terang salah seorang dari mereka.

"Tapi, apa alasan mereka?" tanyaku memastikan kalau mereka pergi bukan sebab kejadian semalam.

"Pak Ustaz cuma bilang kalau desa ini akan lebih baik seandainya beliau pergi."

**

Di selasar seberang tiada lagi bisa kulihat senyum manis tak kenal musim. Tak bisa kudengar lagi tutur lembut menentramkan batin.

Dinda. Gadis itu telah menyeret suatu rasa dalam hati ini begitu jauh sampai lesap pada dirinya.

Aku terdiam cukup lama di balik jendela. Kutengok angka waktu di layar ponselku. Waktu imsak masih merentang cukup panjang. Aku teringat satu pesan singkat Dinda setahun lalu yang masih terarsip. Sebuah pesan kabar terakhir:

Mas, lebaran ini aku akan menikah. Aku dijodohkan dengan pilihan Ayah.

-Pekalongan, 24-Mei-17

#Event_Cermin_Ramadhan_LL

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Keusilan Hujan

Baskara dan Suicide Idea