Hampir Mati, dan Seks Menyelamatkanku
Semua orang pusing. Ada-ada saja Si Kepala Suku. Mengeluarkan kebijakan pembatasan kelahiran di zaman purba begini. Apa sebagai pejantan dia tidak tahu, kalau menahan cairan kental agar tidak keluar pas tongkat sudah berada di dalam goa itu susah?
"Wahai pejantan dan betina dari suku yang kita semua cintai! Wilayah kita ini sudah hampir sesak. Tapi kita harus tetap mempertahankan karakter suku kita yang ramah dan menerima semua orang yang datang menyambung hidup di sini," serunya suatu ketika dalam upacara peringatan Hari Paya-Paya.
Dan dihelatlah sebuah pelatihan untuk para pejantan tentang bagaimana teknik jitu menahan ejakulasi. Sembari para tetua mencoba menemukan ramuan untuk menanggulangi kehamilan. Para pejantan berduyun-duyun mengikuti pelatihan itu di tanah lapang yang biasa dipakai untuk perayaan masal.
Disajikanlah sebatang bambu yang di dalamnya terdapat dedaunan yang ditumbuk sampai lembut, lembut sekali, hingga teksturnya hampir menyamai liang kebetinaan. Mereka secara bergantian maju dan memasukkan tongkat kejantanan mereka ke dalam bambu. Lalu menggerakkannya bagai sedang bersenggama.
"Kalian para pejantan adalah kaum yang kuat. Tidak hanya kuat membelah sebongkah kayu dan mengangkat batu. Namun juga kuat menahan sperma dari ia menyembur," pekik Kepala Suku menyemangati para pejantan.
Tidak banyak yang berhasil mencapai waktu minimal ejakulasi. Walaupun begitu Kepala Suku tetap bersikeras menuntut agar angka kelahiran berkurang. Betapa kami ditertawakan oleh kucing-kucing hutan. Mereka memamerkan anak hasil perkawinan mereka yang dilahirkan sekali waktu langsung tiga.
Setiap musim kawin tiba, kami, para pejantan gelisah. Betina-betina menanti untuk dijamah, bahkan menggoda dengan pesona kemolekan tubuhnya. Tapi setiap kali akan melangkah menghampiri satu saja, langsung terbayang mata Kepala Suku yang melotot tajam setajam tombak para algojonya yang siap menghukum pelanggar aturan suku.
"Kami sudah hitung berapa kalian para pejantan sudah menghasilkan anak. Dan mulai hari ini kami putuskan, paling banyak delapan sepanjang umur. Artinya, jika yang sudah delapan atau lebih, tidak boleh lagi. Kalau sampai terjadi, kalian para pejantan harus menebus kelebihan jumlah kita."
Semenjak aku paham soal kawin-mengawini. Lebih tepatnya semenjak gairah seksualku mencapai titik matangnya. Sampai detik ini aku sudah mengawini sepuluh betina. Di antaranya sembilan berhasil hamil dan lahirlah setiap anak dari mereka.
Suku kami memperbolehkan mengawini satu betina saat musim kawin tiba. Boleh berganti, boleh tetap sama. Tidak boleh ada cemburu. Namun diperkenankan memakai perasaan cinta. Karena cinta yang merekatkan kami semua. Itu pesan Kepala Suku yang sangat kami junjung.
Kebijakan ini tidak cuma merepotkan pejantan. Karena pada dasarnya para betina pun membutuhkan seks. Suatu hari seorang betina membujukku, "Ayo kita lakukan. Aku sudah tidak tahan. Saat masuk ke tubuhku, spermamu belum tentu menjadi bayi. Jangan terlalu khawatir."
"Apa kau tidak mendengar kabar kalau Si Tristan kemarin baru dipenggal kepalanya? Asal kau tahu, dia sahabatku paling baik yang pernah aku kenal," ucapku tersedu-sedu mengenang seorang pejantan yang diketahui menghasilkan bayi kesepuluhnya.
***
Meskipun kami bisa kawin sebanyak mungkin yang kami mau, kaum pejantan kami tidak seenak sendiri. Kepada betina-betina yang sudah dikawininya pejantan menaruh hormat. Terbuka kesempatan yang sangat lebar untuk membela diri bagi betina ketika terjadi persoalan.
"Apa kau tega memilih anak ini untuk dihilangkan nyawanya!"
Segerombol rusa yang sedang menyantap rumput di Padang Sabana terhenyak. Tak jauh dari sana dua orang bertikai cukup keras. Tristan, pejantan yang baru saja mendapatkan musibah karena menghasilkan anak dari hubungan intimnya. Dan Si Kartes, betina yang belum lama melahirkan anak itu.
Tristan menatap nanar pada seonggok bayi di pangkuan Kartes. Tangan mungilnya menggapai-gapai. Di wajahnya tergambar senyum yang menggemaskan. Hatinya jelas tidak akan tega.
"Aku belum ingin mati." Pundaknya guncang. Tak mampu dibendung kedua telapak tangan yang ia balutkan pada sekujur wajah, air matanya tumpah mengalir melewati pipi dan bergulir di atas kulit lengannya yang legam.
"Lalu? Kau mau mengorbankan aku? Pejantan macam apa?" Pertanyaan itu ditinggalkan tanpa jawab oleh Si Kartes yang membawa bayi lucunya.
***
Suku kami adalah suku yang kuat dengan wilayah luas dan tanah yang subur. Kekuatan tidak mendorong suku kami menjajah suku lain. Bagi Kepala Suku sudah cukup kesejahteraan yang ada saat ini. Tapi sepertinya dia tidak memperhatikan bahwa kebahagiaan paling memuaskan bagi kami adalah seks. Tidak seperti rusa yang apa adanya, dengan segala yang tersedia, pada kami tetap akan ada persoalan jiwa. Seks itu persoalan jiwa. Sensasi menikmati buah-buahan yang lezat berbeda dengan sensasi beradu gairah dengan betina.
Entah mimpi apa yang membisiki Kepala Suku melakukan hal bodoh ini. Sudah berpuluh bulan purnama terlewati sudah beratus kali aku menahan hasrat seksual. Seiring itu semakin bertumpuk tekanan di dalam jiwa. Siang dan malam aku hanya termenung di depan lubang (pintu) sebuah gundukan setinggi badanku yang tersusun dari daun kelapa, kami menyebutnya sebagai rumah.
Setiap orang memiliki satu rumah. Indukku, anak-anaknya, kakek, nenek tinggal di rumah masing-masing. Kecuali anak kecil yang harus ditemani oleh induknya. Tidak harus induk kandung. Seperti aku yang dulu ditemani oleh seorang betina, kakak ipar dari pejantan yang benihnya ditanamkan di dalam perut indukku. Diyakini betul aku ini adalah anaknya.
Melihat kondisiku, indukku cemas sekali. Juga, betina sang induk asuhku. Ia selalu datang menghampiriku dan meletakkan sepiring gandum sambil berpesan kepadaku agar jangan lupa memakannya. Namun aku hanya bergeming. Kerjaanku setiap hari hanya melamun. Jarang makan. Lama-lama tubuhku jadi kurus. Bentuk tulang-tulang di punggung dan dadaku tergambar jelas.
Masa itu betina yang mengasuhku masih berusia sekitar dua puluh lima tahun, dan sudah dikawini tiga kali, tapi belum pernah melahirkan seorang anak dari rahimnya sendiri. Makanya ia ingin sekali menimang anak kecil dan membersamainya setiap hari. Katanya, dulu sewaktu merengek aku sempat dijejalinya puting miliknya, aku lantas mengenyot walaupun tak keluar air susu.
Betina itu setahuku tidak pernah lagi mengasuh anak setelah aku dikembalikan kepada induk asliku. Meski usianya tidak lagi muda parasnya tidak banyak berubah. Hanya sedikit kerutan di wajah yang menandakan kalau ia mengalami penuaan. Tapi ia tetap memikat dan menggairahkan.
Akhir-akhir ini banyak pejantan yang menghampirinya waktu musim kawin tiba bahkan mereka yang sudah mencapai ambang batas jumlah anak. Bagaimana tidak, hanya dia satu-satunya betina di suku kami yang tidak mungkin menghasilkan anak. Namun semua pejantan tadi ia tolak. Dan mereka menghormati penolakan sang betina.
Suatu kali ketika ia datang mengganti piring gandum dengan yang baru ia duduk di sampingku. Tidak seperti biasanya, ia bertahan lama bersamaku di depan pintu rumahku. Lalu ia menanyaiku dengan suara yang amat lembut.
"Kenapa kau seperti ini?"
Masih seperti biasa, aku diam. Menatap kosong pada bukit di hadapanku. Kalimatnya juga terjeda lama. Namun penglihatannya tetap mendarat di wajahku. Diamatinya dengan seksama. Tidak lepas sedetik pun. Semakin lama semakin melekat. Wajahnya mendekat ke wajahku. Dekat dan semakin dekat. Kemudian berhenti. Kicau burung menyeruak dari balik lebatnya pepohonan. Aku masih mendengarnya, juga desahan napasnya yang tidak teratur. Bibirnya tiba-tiba telah sampai di leherku. Ia melumatnya. Aku merasakan darahku kembali mengalir deras. Ada desir kehidupan yang aku rasakan. Pandanganku mulai beralih dari bukit di depanku menuju wajahnya yang cantik sebagaimana yang setiap hari kulihat dulu. Aku meraih pundaknya, ia menarik mundur serangan. Aku mengangguk, ia tersenyum. Kami beringsut ke nirwana, tempat di mana kami akan khidmat menikmati cumbu demi cumbu. Erang demi erang. Peluh demi peluh. Aku kini balitanya yang telah dewasa.
"Aku rindu dengan puting ini."
"Nikmatilah. Dan hiduplah kembali."
***
Seorang perempuan di zaman digital tampak sedang membaca cerita pra sejarah di sebuah kamar. Ia memaki-maki: "Ngawur. Konyol." Terdengar denting notifikasi ponsel, satu berita muncul di layar: sebuah organisasi pemerhati perempuan menggulirkan protes atas produksi besar kondom di kotanya. Mereka menilai hal itu bermanfaat menghilangkan kekhawatiran dalam hubungan seks termasuk pula seks tanpa pernikahan. Ia melipat berita itu seraya mengeluh, "Kenapa tidak dibiarkan saja? Di zaman ini, perempuan-perempuan bebas memilih."
Comments
Post a Comment