Cerita yang Sering Berakhir Keliru


Dia tidak secerah dulu. Walaupun senyumnya masih terpancar dan kecupnya masih rutin menjelang bertolaknya ke tempat kerja. Jawabannya tidak pernah lain saat aku bertanya kenapa?

"Tidak apa-apa," demikian sembari menyambar tasnya dan berlalu.

Semenjak mendung bersarang di wajahnya, sudah tujuh kali tanya dan jawab yang sama itu saling melesat.

Seperti pagi-pagi yang lain, hari itu aku menyiapkan pakaian yang hendak ia kenakan. Terkecuali akhir pekan. Ia akan menjalani tidurnya lebih lama. Apalagi ketika malamnya kami habiskan untuk menandaskan gairah.

Kami berdua menempati rumah pemberian orang tua Dika. Terutama oleh ibunya, Dika dicurahi kasih sayang yang tiada sewajarnya. Sebagai anak semata wayang, perhatian ibunya tidak bisa lepas kepada Dika bahkan sampai ia telah empat bulan ini menjadi suamiku.

Meskipun banyak hal dalam hidup Dika diatur ibunya, tapi tidak dengan pilihan pendamping hidup. Selama ini ia menyayangiku dengan segenap perasaan tanpa memandang apa yang kurang dariku. Hanya saja terbesit keraguan selepas malam akhir pekan yang lalu.

Dia sudah rebah di atas kasur lengkap dengan selimut membungkus setengah tubuh. Tangannya bersidekap dengan siku merendah sampai sejajar dengan punggung. Matanya berkedap-kedip memandang ke atas. Dia masih dalam sikap yang sama saat aku--dengan rambut yang hampir kering dan handuk melekat dari dada hingga ujung paha--menyembul dari balik pintu kamar.

"Mas!"

"Eh, ada apa?"

Tak sempat membalasnya dengan kata segera aku menerkam dan melumat bibirnya.  Kusingkap handuk yang masih melekat dan langsung gamblanglah dada yang kenyal seukuran apel. Seranganku tak kuberi jeda. Kutuntun tangan suamiku itu meraih apel-apel yang bergelantung hingga seakan bertenaga memetiknya. Namun sebentar tangannya pelan mendorong pundakku sampai perlahan pagutan kami lepas. Aku menatapnya dengan tak mengerti. Sisa gairah masih cukup membara. Sebelum akhirnya padam hingga cerita ini telah dibaca.

Selepas malam itu hari-hari kami masih biasa saja. Tak ada pertengkaran hebat. Usai aku memakai baju kemudian kami tidur dan bangun esok paginya, tidak ada keramaian bunyi lemparan pot atau gebrakan meja, justru dingin yang merambati percakapan. Rumah yang hanya diisi dua orang ini tiba-tiba menjadi pemakaman. Di sana terhampar kuburan yang di dalamnya tertimbun sebujur keindahan keluarga kecil.

***

Jelang Asar Rini tandang ke rumah. Kedatangannya tak biasa. Kedua ekor matanya bergantian memeriksa situasi. Aku pun mau tak mau ikut memastikan apa saja yang ada di sekeliling. Di kanan, kaktus dan palem yang baru kemarin aku taruh di sebelah anggrek masih teronggok rapi. Ketika menengok ke kiri, aku terkejut, si lili ternyata sudah ada yang mekar lagi.

Alangkah senangnya, tanamanku tumbuh dengan riang. Rini merasa heran karena, bukannya menyapanya aku malah tersenyum pada tanaman. Akhir-akhir ini memang mereka yang menjadi pelipur. Setidaknya aku masih bisa menyambut suamiku pulang kerja dengan senyuman tulus sembari menyirami lili yang lucu. Meskipun tak tampak balasan senyum yang sama di bawah kumis tipisnya. Senyum manisnya yang dulu selalu ia bawa sebagai oleh-oleh sekarang tak sampai di rumah. Entah jatuh di jalan atau tertinggal di meja kantor.

"Pantas saja," sergah Rini.

Tadi siang Rini melihat Dika duduk di bangku alun-alun seperti sedang menanti seseorang. Di bangku yang lain Rini mengamati. Menyeberang jalan di depannya seorang perempuan berwajah tirus berambut sebahu. Ia mengaku tingkat kecantikannya melebihi kami berdua. Penampilannya elegan dengan rok hitam span di atas lutut serta blazer hitam yang membungkus kemeja putih.

Sebenarnya sering cerita Rini berakhir keliru. Pernah ia menceritakan panjang lebar kalau tetangga kami yang seorang pejabat tinggi kementrian agama itu taat beribadah dan tidak neko-neko. Eh, satu bulan setelahnya dia ditangkap polisi karena sudah makan duit rakyat. Tapi entah mengapa kali ini aku terpaku dan begitu antusias demi mendengarkannya.

Aku mempersilakan secangkir kopi, di ruang tamu Rini melanjutkan ceritanya.

Dika bangkit, berjalan menuju tempat mobilnya terparkir. Dika dan mobilnya bergerak mengikuti arah perempuan itu. Rini melangkah agak berlari mengejar mereka. Namun setelah arah mereka ke kiri masuk gang kecil penglihatan Rini terhalang gedung sebuah bank di persimpangan itu.

Langkahnya berhenti di samping tiang PJU. Menatap bokong mobil Dika yang semakin mengecil, lampu remnya menyala. Berbelok kanan dan melesat, hilang.

Maksud Rini, Dika bersama perempuan itu pergi berdua. Tapi siapa dia? Ah, kini aku kepikiran cerita Rini yang sering berakhir keliru.

***

Seperti biasa aku tengah menyirami tanaman di halaman rumah saat Dika pulang. Kali ini bukan aku yang memantik senyum di antara bias mentari sore tapi ia selepas pelukannya yang mengejutkan. Senyum yang disertai tatap. Dan hampir saja ia menciumku. Beruntung jariku bergegas menahan bibirnya. Aku bilang, nanti malam saja kita mencurahkan hasrat kita. Aku rindu sekali.

Hanya saja ada yang mengganjal, Dika pulang dengan baju berbeda dari baju yang saat berangkat ia pakai.

"Tadi tertumpah kopi. Aku suruh OB membawanya ke laundry."

Ucapnya membuatku lega. Cerita Rini memang keliru.

Kami berdua masuk. Aku mandi lebih dulu disusul Dika. Tak bergantian melainkan kami mandi berdua. Sungguh habis gelap, terbit terang dalam hubungan ini. Meski pada konteks yang tak tepat kutipan Kartini itu aku pakai. Tapi tak ada salahnya juga. 

Sepetak ruang, dindingnya sewarna cangkang telur ayam tertancap gantungan baju, sikat gigi, sabun batang di bibir bak. Air mengucur dari keran menjadi peredam desahan. Dahsyat tubuh kami saling menggeluti. Dika menyesap bagian-bagian pentingku yang telah basah oleh air. Dan aku membalasnya.

Biarkan ini menjadi satu rangkaian dengan puncaknya malam nanti di atas ranjang. Dika pun sepertinya tidak bisa berlama-lama. Aku pikir dia pasti sudah menyiapkan penguat nanti malam. Aku berhenti. Segera aku memakai handuk dan keluar dari kamar mandi.

Namun sebelum percintaan di kamar dimulai, sebagaimana ibu rumah tangga pada umumnya aku juga menonton TV. Di jeda acara sinetron yang sedang kutonton menyelip satu Breaking News, dikabarkan bahwa telah terjadi tindak kekerasan terhadap seorang perempuan bisu di sebuah rumah kosong di ujung Jalan Kenari.

Korban ditemukan dalam posisi terikat dan tak sadarkan diri, mulutnya terbungkam kain. Jari-jari tangannya semua terpotong. Tapi beruntung lekas dibawa ke rumah sakit. Sehingga pendarahan tidak sampai meregang nyawanya.

Diketahui perempuan bisu itu merupakan penerjemah ke dalam bahasa isyarat yang bekerja di sebuah stasiun televisi.

Kemudian layar TV menampilkan wajahnya dengan jelas saat ia berada di sudut bawah sebuah acara berita. Jarinya lincah menyampaikan apa yang tidak dimengerti semua orang. Dan memang seringnya tidak menjadi perhatian oleh orang-orang tanpa cacat pendengaran.

Usai Breaking News, jeda sinetron diisi oleh iklan produk yang tadi juga diiklankan di dalam sinetron. Terlampau bosan, aku membuka Instagram. Di timeline lewat pula berita yang sama namun menyorot sisi lainnya. Yaitu ditemukan secarik kertas dari pelaku.

Dalam satu kiriman ada beberapa foto dan video. Salah satunya menunjukkan apa yang tertulis di sana, sebuah paragraf memakai font Arial tercetak miring.

Sudah sejak lama aku mengamatimu dari jauh. Kamu begitu cantik. Kulitmu putih bersih. Badanmu ideal. Kamulah perempuan yang sebenarnya aku inginkan menjadi pendamping hidup. Namun tekad dan kata-kataku tak sampai untuk mendekatimu. Sampai aku akhirnya oleh kesempatan dan lingkungan menikahi perempuan lain yang tidak begitu kucintai. Kau menjadi sebatas perempuan idaman yang melintas di jalan yang kunikmati keindahannya tanpa bisa memilikinya. Dan aku tak mau memendam sesal karena ketidakbisaanku itu. Maaf aku meniadakan salah satu keindahanmu.

Sore pada jam seperti yang sebelumnya Rini datang ke rumah. Ia mengabarkan kalau perempuan yang ada di berita viral itu sama dengan perempuan yang dilihatnya menyeberang di alun-alun. Tapi, dengan apa aku bisa mempercayai cerita yang sering berakhir keliru?


Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Keusilan Hujan

Baskara dan Suicide Idea