Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Kau pasti tanya berapa banyak perempuan ayu, berkulit putih nan bersih, yang rambutnya lurus panjang, dan tawanya sederhana itu yang sudah aku jumpai? Terus terang saja, aku tak pernah menghitungnya. Dan aku tak berharap semuanya dapat aku rengkuh. Jangankan semua, satu saja mungkin Tuhan masih belum mengizinkan."

Bibirnya terkatup. Ia terdiam.

"Ah, mengapa banyak perempuan cantik itu berhamburan di minimarket, di ATM, di angkringan, di setiap lampu merah, di pasar, di dalam mimpiku?

Sementara kala sore tiba aku hanya bisa mencurahkan kegelisahan tentang mereka padamu? Nyaliku tak cukup untuk sekadar menanyainya perihal nama.

Jika bisa, aku ingin menggandengnya, mengajaknya nonton, ngobrol di kafe, berkeliling naik motor dan pada waktunya tiba akulah hangat untuknya di perjalanan malam yang dingin."

Nyaris aku meninggalkan ia bermonolog tanpa penonton. Tapi ia buru-buru mencegat langkahku, penonton tunggalnya.

"Dengarkan dulu ceritaku..." bujuknya.

Baiklah, baiklah. Aku terpaksa bertahan untuk mendengarkan ceritanya.

"Kau mungkin suka dengan ceritaku yang ini...

Singkat saja. Siang tadi aku mendapati perempuan cantik di warung makan dekat terminal bus. Tubuhnya...? Kau pasti tahu ukuran molek seorang perempuan di mata lelaki, bukan? Aku tertarik pada payudaranya yang memberontak di balik kaus hitam.

Hanya saja aku pikir bukan dia tempatku mendaratkan nafsu. Karena beberapa perempuan di kota ini ada yang berbaik hati mau menjadi warna kelam dunia; tempat yang lebih baik untuk nafsu lelaki.

Karena perempuan aku selalu dan sekali lagi diserang putus asa.

Di jalan, sewaktu menuju ke arah rumah aku melihat perempuan di teras toko kelontong. Penampilannya mencuri hasrat dari kerangkengnya yang tak terkunci. Lalu hasrat itu ia tawan. Dan aku tak berani menebusnya. Kupikir biar saja hasrat itu di sana. Tapi ia malah kembali pada kerangkeng yang tak pernah terkunci. Berputar demikian seterusnya.

Hanya saja kali ini aku tak membiarkan dadaku berdesir sebagaimana biasa. Seperti yang kubilang tadi sudah ada perempuan tempat nafsu lelaki bermuara yang tak menjadikannya mengambang di angan

Tunggu, tunggu. Apa yang mereka dan aku pernah lakukan sepintas mirip denganmu, berkawin dengan siapa pun tanpa kata 'sah'!"

Berengsek! Aku sedikit tersinggung.

"Tapi tidak boleh syakwasangka. Bagi mereka sendiri itu hanya 'berjualan' jasa. Jika negara ini liberal, mungkin seks komersil akan masuk daftar KBLI. Lalu, mereka akan beriklan secara profesional dengan kalimatnya yang sangat persuasif: 'menyelesaikan horny dengan happy'."

Lama-lama makin tidak jelas celotehnya.

"Kalau di Instagram..."

Instagram?

"soal jarak janganlah kita bahas, kuanggap hanya ada dalam dunia quantum. Aku pikir semua perempuan dengan segala pesonanya hanya ada di basis data Instagram sendiri dan dalam angan di balik tempurung kepalaku. Karenanya, aku tak berharap sedikit pun suatu ketika bisa bertemu dengan mereka, apalagi sampai menjadikannya seorang kekasih.

Dia menghela napas dan mengembuskan dari mulut. Sialnya, napasnya baunya lebih apek dari bau badanku. Ditambah liurnya ikut keluar mengenaiku.

"Coba kau bayangkan, bagaimana aku menanti keajaiban yang kapan datangnya saja aku tidak tahu. Sedangkan waktu terus melaju. Sampai nanti tatkala aku tak lagi muda bisa jadi keajaiban itu juga tak tiba.

Perempuan-perempuan di Instagram itulah, walaupun adanya di dunia antah-brantah, yang akhirnya menemaniku dalam penundaan ini."

Dalam hatiku aku bertanya, "Apakah dia tidak mau menikah?"

Oh, iya. Aku ingat waktu itu ia baru saja diputuskan pacarnya gara-gara terlalu lama pacarnya itu menunggu ia melamar. Waktu itu ia bercerita perihal pernikahan dan pengalamannya berkawin dengan perempuan yang ia pesan lewat... ia bilang Mie Chat. Aku tak tahu itu broker atau semacam nama perusahaan mie instan yang bangkrut lalu beralih jasa.

"Rasanya tak ingin lagi aku meniti langkah menuju yang dalam dunia manusia dinamai menikah," katanya waktu itu.

"Apalah itu menikah! Bagiku pernikahan tak lebih dari sebuah bukti kalau agama dan kebudayaan tidak akur. Menikah itu melintas di atas rel agama, dan kebudayaan itu jadi portal di tengah-tengah lintasannya.

Aku semakin berjarak dengan pernikahan saat aku malam itu berdua saja dengan seorang perempuan."

Sejenak ia menjeda. Ekor mata kanannya menunjuk ke langit. Tampaknya ia sedang berusaha menghimpun memori yang terserak.

Sebetulnya aku enggan menceritakan pengalamannya ini. Bukan apa-apa. Hanya saja, dia pakai melibatkanku dalam ceritanya yang memalukan. 

Perlahan kata demi kata ia coba rangkai untuk melanjutkan ceritanya yang sempat terhenti sekitar dua menit lalu.

"Di sebuah kamar kost," ungkapnya.

Lalu ia menambahkan bahwa sebelumnya mereka sudah merencanakan pertemuan itu. Satu kesepakatan di antara mereka berdua: dua ratus ribu untuk satu kali main.

"Dengan cekatan ia melucuti apa yang menempel di tubuhku dan tentu saja tubuhnya. Kami telanjang. Berikutnya... maksudku, aku yakin vaginamu pasti pernah dimasuki penis. Tapi kau pasti belum pernah sebatang penis kau masukkan ke vaginamu. Sama saja tapi berbeda. Sungguh ia melakukan itu. Ia membuatku sebagai customernya puas.

Aku pernah mendengar dari seorang agamawan: bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya kering. Agaknya aku termasuk yang mengamalkan ajaran itu. Di atas kasur lantai yang warnanya telah kusam kehitaman ia merebah sembari membalasi pesan demi pesan--mungkin pelanggannya. Tubuh sintalnya seperti sehabis dihujani peluh. Sontak aku bergegas mengambil dua lembar uang dari saku celana yang belum kukenakan.

Di dunia serba transaksi ini semua bisa didapat pakai uang. Makin tinggi nilai uang, makin tinggi kualitas dan kuantitasnya. Namun satu hal: perempuan bagiku bukan objek yang bisa seenaknya aku perlakukan. Semahal apa aku membayarnya ia tetaplah manusia.

Bagiku, yang perempuan itu lakukan tidak lebih dari bekerja. Menafkahi keluarganya. Juga, pekerjaan mereka itu tidak sembarangan, tanpa aku jelaskan lebih jelas, kau tentu bisa memahaminya. Tidak seperti tukang ojek, atau laundry. Bahkan penjual tukang ojek dan laundry itu bisa kuhormati. Seharusnya lebih-lebih aku menghormati perempuan itu. Aku memakainya ya pakai saja, tidak perlu juga aku 'meludahi'nya.

Tuhan menciptakan beragam perempuan. Kau tahu, beragam rasa pula mereka itu. Cokelat, stroberi, vanilla, moka, ada semua. Aku perlu mengakui, sebagai lelaki aku menginginkan banyak rasa. Jika telah semua rasa perempuan aku coba pasti aku masih menginginkan rasa yang lain lagi. Jika tidak ada dari kalangan manusia, bisa jadi kau pun kupinta untuk membantuku melampiaskan hasrat yang gila ini."

Tak terasa sudah hampir setengah jam aku mendengarkan dia bercerita. Perkataannya semakin menjadi-jadi. Sebelum terjadi apa-apa padaku yang betina ini, segera saja aku lari menyusul rombonganku yang sedang enak menikmati rumput di tepi lapangan. Ada pejantan di sana. Dia mengajakku kawin. Lalu aku tawarkan kesepakatan: duaratus ribu satu kali main.

"Kalau di lingkungan kita ada pernikahan, pasti aku akan mengawinimu dengan sangat terhormat. Akan aku buat pesta dan aku undang semua jenis kambing yang tinggal di sini. Ya... minimal radius 1 km dari sini. Jadi, kau tidak perlu meminta uang untuk hitungan "main"....

Lagipula, kambing mana yang punya uang?"

Dalam hatiku aku menggumam, "Sungguh, dia pejantan yang selama ini aku cari. Pemberani. Tidak seperti pejantan lain yang cuma maunya enaknya saja. Katanya cinta, tapi habis manis sepah dibuang. Puih! Alasannya sih macam-macam. Tidak ada yang masuk akal. Sebatas akal kambing pun tidak."

Comments

Popular posts from this blog

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)