Rumah Penghakiman Orang Sesat


Sesampainya aku di sana pagar besi telah terbuka. Kupikir di dalam pasti ada manusia. Aku melangkahkan kaki lamban usai menyingkap pagar yang belum terbuka penuh itu. Rerumputan di halaman rumah Riffan nampak baru dipangkas dengan amat rapi. Hijaunya yang segar mengitari pohon mangga yang menjatuhkan berlembar-lembar daun.


Langkahku pelan namun menghentak. Sengaja agar ada orang yang keluar segera. Sudah seperti kanak-kanak menirukan cara berjalan tentara. Namun demi firasatku yang negatif aku tak hirau dan terus melakukannya.

Langkah satu ke langkah berikutnya tak membuahkan hasil. Tak seorang pun manusia menyembulkan wujud barang sehelai rambut. Sampai di muka pintu mataku melihati sekitar, sejurus kemudian kedua tanganku kuletakkan seperti kaca mata kuda di tepi jendela sebelah pintu. Lalu kumajukan wajah hingga jidat menempel kaca. Aku ingin tahu ada siapa di dalam sana. Namun hitamnya kaca jendela rumah Riffan terlalu pekat untuk bisa diterawang setidaknya hingga ruang tamu.

Beberapa kali aku mengumandangkan nama Riffan atau ayahnya (atau ibunya? Tidak. kata Riffan, ibunya sedang berada di Eropa, bekerja di pabrik atau apa kurang jelas).

Sekitar satu per empat jam aku berdiri di depan stiker-stiker event Agustusan. Kala bosan aku duduk di kursi plastik selasar. Lalu berusaha lagi mengetuk dan bersalam, memanggil-manggil Riffan.

Sampai akhirnya kesabaranku tandas. Aku raih gagang pintu yang sudah agak berkarat, lantas dengan segera kudorong. Sebenarnya aku terbilang ceroboh melakukan ini. Dalam pergaulanku tidak galib tamu membuka sendiri pintu rumah orang. Baik, cukup sekali ini saja. Dan entah kenapa aku berhasrat memaksakan diri untuk masuk.

Pelan aku menjinakkan pintu agar tak melengkingkan derit. Dari nganga yang perlahan melebar aku ingin tahu siapa dan sedang apa orang di dalam. Apakah Riffan dan ayahnya sedang khidmat berdoa sehingga tak mendengar suaraku. Atau ayahnya sedang pergi dan Riffan tertidur sampai tidak membalas pesanku. Atau justru tak ada orang sama sekali dan rumah Riffan ini baru saja distroni?

Meja ruang tamu di sebelah gelas sisa air putih tergeletak ponsel milik Riffan. Kupungut ponsel itu. Ada banyak pesan masuk termasuk pesanku. Tapi di mana dia?

Di ruangan itu berjejer potret-potret lelaki, kepalanya digulung sorban, jenggotnya menjuntai. Beberapa tanpa jenggot. Namun semuanya tak dilengkapi kumis. Hanya satu di antara mereka yang aku kenali. Ia seorang tokoh sebuah kelompok Islam ternama. Dan kusimpulkan di sekelilingnya pun merupakan bagian darinya.

Kuletakkan ponsel Riffan. Aku terpaku. Dalam kepalaku ramai sekali suara-suara; Kakek yang melenguh tampakkan keluh. Nenek menasihati tanpa wejangan. Ibu menghardik diliputi kesal.

"Kalau tetap memaksa ingin menikah dengan anak keluarga Islam sesat itu, menikahlah. Tapi jangan libatkan kami!"

Bapak sampai mengutuk. Dan diriku meringkuk. Suara itu membuat kepalaku berputar-putar. Lama-lama memberat. Namun aku berusaha menahannya. Akhirnya aku tak sanggup, berdiriku tak seimbang. Aku rebah, tumbang.

Ketika baru sadar aku tak menghiraukan berapa lamanya aku pingsan. Dalam posisi berbaring aku mendongakkan kepala. Dari celah tipis di bawah kelambu warna biru bergambar bangau dan pohon kelapa aku melihat seperti ada orang di ruang tengah.

Selarat angin di luar membawa dingin masuk. Di balik bumbung awan-awan kusam tengah bersiap-siap menggelar pertunjukkan hujan. Gemuruh mereka sangat bersemangat.

Sekuat tenaga yang tersisa aku coba bangkit. Diiringi suasana gelap mencekam aku terus melangkah. Kusingkapkan kelambu. Aku sedikit terguncang oleh gelegar petir yang memecah hening.

Mataku nyalang demi melihat orang di hadapanku, di siang bolong yang dipenuhi sautan petir, seorang perempuan paruh baya tergeletak tanpa sadar di dalam sebuah rumah orang sesat [?] Kilatan cahaya petir menyorot tubuhnya; sarat luka tusuk oleh benda tajam.

Menjadi gemetar pundakku. Berkali-kali aku yakinkan diri bahwa salah melihat. Namun sesisi aku yakin itu memang benar-benar darah. Banyak sekali membekas di kausnya. Ada juga di lantai seperti tumpahan cat bertebar di sana-sini.

Hujan mengguyur. Beberapa tetesnya menyelinap lalui celah genting dan jatuh di atas genangan darah yang hampir mengering.

***

Ayah Riffan yang sedang pergi ke luar kota mengabarkan kalau ibunya hari ini akan pulang. Ia sudah berpesan pada Riffan untuk menyambut ibunya lebih dulu bersama bibinya, adik kandung sang ibu.

Bibinya adalah seorang perempuan muslim yang biasa mengenakan baju sangat tertutup. Setelan pakaiannya menyisakan celah hanya pada kedua mata. Kepulangan sang kakak sangat dinanti-nanti. Maklum, hanya ia saudaranya yang tersisa.

Semenjak menikah bibi Riffan rajin mengikuti pengajian di masjid kota. Dan semenjak itu pula penampilannya berubah seperti sekarang. Berangsur pemahaman agamanya menjadi semakin benar dan dirinya pun merasa demikian. Hanya ia dan orang-orang sesama kelompoknya lah yang akan masuk Surga. Begitu katanya. Orang-orang kafir yang menyembah patung itu, mereka harus diperangi. Halal darahnya.

Pernah suatu siang seseorang kecelakaan di depan rumahnya. Ia bergegas berlari keluar dari rumah menuju orang itu yang terkapar di atas aspal yang menyengat. Ia sama sekali tak membantunya duduk bahkan menyentuhnya pun tidak. Ia justru bertanya, "Apa agamamu?" Orang itu tak menjawab dan terus merintih kesakitan sampai pedagang siomay dan pengamen kompleks melintas, dan ia masuk kembali ke rumahnya.

Riffan mengatakan pada bibinya kalau ibunya sebentar lagi sampai. Ia pamit ke minimarket. Di rumah sedang tidak ada minuman dan makanan apa-apa.

Sang bibi melihat ponsel keponakannya tergeletak di atas meja setelah bayangannya sudah enyah dari pandang mata. Tak lama, seorang perempuan berambut sebahu mengenakan kaus lengan pendek berjalan lincah menghampiri sang bibi. Dua perempuan itu sangat girang saat saling bertemu. Mereka berpelukan lama, menghempas rindu yang menggunung semenjak dua tahun lalu. Hanya saja, sang bibi di balik penutup wajahnya menunggu sesuatu. Ada yang mengganjal dan harus diutarakan.

"Sebagai muslim wajib mengucap salam sebelum masuk rumah dan setiap kali bertemu muslim lain."

Perempuan itu merasa bersalah. Untuk menebus kesalahannya perempuan itu melakukan apa yang sang bibi katakan. Belum selesai, ia diceramahi tentang pakaian yang ia kenakan. Selepasnya, percakapan mereka berlalu singkat. Sebab sang bibi kesal bukan main demi mendengar kalimat dari perempuan di depannya, "aku sudah menjadi kristiani".

Ia mengeluarkan fatwa-fatwa tentang orang kafir yang pernah disampaikan oleh ustadznya di pengajian masjid. Bahwa orang-orang penyembah berhala itu harus diperangi. Perempuan itu lantas membela diri. Mereka berdebat dan memang sering berdebat dari waktu kecil. Tapi, perdebatan ini sungguh berbeda. Ada nyawa yang harus hilang.

Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Keusilan Hujan

Baskara dan Suicide Idea