Hantu-Hantu B*ngsat (Sebuah Cerpen)

 





Si Sulung dalam seminggu mungkin hanya separo dari total malam ia habiskan untuk (bisa) tidur. Ia terjaga untuk menghindari gangguan hantu-hantu usil dan kejam yang mengusik ketenangan. Sembari menjaga si Bungsu, barangkali lingkaran pelindung yang ia buat terjebol. Sebab meski telah diawasi, kecerdikan hantu bangsat itu mampu melewati garis putih yang dibuatnya.

Kata orang, hantu-hantu ini senang dengan suhu yang hangat. Pada malam-malam yang dingin mereka merangsek lewat celah yang ada di rumah ini, menyelinap di antara himpitan yang tercipta dari orang-orang yang terlelap. Kadang nampak wujud mengerikan yang membuat bergidik. Kadang menghilang dengan cepat. Mereka pandai sekali bersembunyi. Setiap hari darah harus rela atau tidak terisap oleh taring-taring mereka yang “lembut” itu.

"Setan!" Pekik itu milik sang Ayah. Si Sulung yang sedang menahan kantuk di depan televisi sontak terbelalak. Ayah dan ibunya berhambur keluar dari kamar. Kulit lengan dan wajah mereka sama-sama direbak bentol yang tak hanya satu dua.

"Kamu nggak tidur Nak?" tegur sang Ibu.

"Percuma Bu. Nanti pasti akan terbangun gara-gara gigitan makhluk yang keterlaluan ini."

***

Ketukan lama-lama menjadi gedor di luar sana. Sahut ibunya meminta waktu setengah menit meniriskan gorengan di wajan tak dihirau.

"Sebentar..." suara itu mendekati si tamu di balik pintu. Dua gerendel dan satu kunci dibukanya mengikuti kemudian pintu menganga sempit.

"Bu Mina, saya ingin menuntut kerugian...!"

Dalam benaknya, ia bingung, kerugian apa? Bukankah kemarin malah baru saja ia menolong mengeringkan pakaiannya dengan mesin, yang memang harus bersih dan kering hari ini karena langit belum kunjung menurunkan sengat mentari?

"Silakan masuk dulu, Bu."

"Tidak usah. Saya merasa dirugikan meminta tolong pada Bu Mina," ujarnya berapi.

Dan perempuan yang tinggal 100 meter dari rumahnya itu berlalu tanpa sampai jumpa atau semacamnya. Ia menenteng sehelai baju, sesekali empat jari tangannya menggaruki pinggang sembari mengumpat, "Bangsat!" dengan keluh berbusa-busa.

"Bu, ini hewan apa nyebelin banget. Adik gatel banget."

Mendengar aduan anak bungsunya Bu Mina malah bergegas melangkah ke dapur

"Aduh, Nak, Ibu lupa mematikan kompor." Suaranya samar terbawa angin.

***

Entah darah kepinding atau darah manusia. Jika darah manusia bisa jadi dia bagian dari manusia. Menjadi satu famili mungkin.

Kepinding di rumah mereka sudah meraja-lela. Semua benda disinggahi untuk sekadar sembunyi atau bertelur. Kemarin sang Ibu pergi ke pasar, pas hendak mengambil uang untuk membayar sayuran yang dibeli, dari tasnya mencuat dua kepinding, menyebar ke arah berbeda. Ia berusaha menahan kaget agar tas tidak lepas dari tangan dan kepinding berpindah barangkali ke sayuran pedagang di depannya. Sang Ayah juga suatu ketika harus malu di depan jamaah mushola sebab seekor kepinding berjalan gontai di kemeja putihnya.

Tapi kenapa sang Ayah mesti malu? Sepertinya lalat jauh lebih menjijikan. Lalat singgah di tempat-tempat yang sudah jelas kotornya. Kepinding justru singgah di benda-benda yang bersih sebelum hewan penghisap darah itu tiba di kemeja putih Ayah.

Kepinding memang mengeluarkan bau yang busuk. Tapi itu jika hanya tubuh legamnya ditekan hingga kadang muncrat sebercak darah. Entah darah kepinding atau darah manusia. Jika darah manusia bisa jadi dia bagian dari manusia. Menjadi satu famili mungkin.

Ah, masa bodoh dengan hal itu. Yang Ayah, Ibu, dan anaknya pikirkan adalah bagaimana agar ratusan keluarga kepinding itu bisa enyah dari rumah mereka.

"Besok kita minta tolong Pak Tono nyemprot rumah kita pakai pestisida."

Pak Tono, dia petani. Biasa menggunakan alat semprot untuk mengusir hama di sawah majikannya. Sebelumnya si Sulung sudah mencoba mengusir hewan-hewan yang mengganggu tidurnya di setiap malam itu dengan kapur ajaib yang digariskan di permukaan dipan dan benda-benda lainnya. Termasuk di alas tidur si Bungsu. Sudah dijemur semua kasur, diambili satu per satu kepinding dari yang besar sampai yang masih mungil, lalu dibakar bersama plastik yang membungkusnya. Tapi esok lusa hari kembali merebak dan cepat sekali berkembang biaknya. “Kutu busuk, menyingkirlah dari rumah kami, cukup kalian saja yang tidak berperikemakhlukan. Jangan buat kami lebih tidak berperikemakhlukan dengan memitis kalian, membunuh kalian, dan sekarang kami harap ini yang terakhir... membakar kalian,” kata si Sulung sambil melemparkan plastik berisi kepinding ke dalam kobaran api.

Hantu-hantu itu berasal dari masa lalu.

Gaung itu entah dari mana sumbernya melintas di atas si Sulung.

***

Rumah itu adalah rumah yang dibeli tiga tahun lalu. Dan ditinggali setelah keluarga Pak Min mengurus pindahan dari rumah peninggalan orang tua istri yang berdasarkan wasiat jatuh menjadi hak milik kakak iparnya. Jadi, mereka satu keluarga menganggap persinggahannya adalah menumpang waktu itu. Padahal di rumah orang tuanya hanya ditinggali seorang saja, yakni sang Ibu yang sudah berumur 80 tahun. Alasannya karena sang istri merasa tidak nyaman dengan lingkungan sekitar sana.

Wanita berusia senja itu hanya memiliki dua orang anak, seorang telah memiliki rumah dan menetap di luar kota. Dan seorang lagi, yakni ayah si Sulung.

Suatu hari terbetik kabar dari tetangga di tempat tinggal Nenek, bahwa ia jatuh sakit. Tubuhnya kaku tak bisa digerakkan. si Sulung bergegas bersama sang Ayah berangkat menuju rumah neneknya yang berada di lain kecamatan, kalau dari rumahnya ada jarak sekitar 25 kilo. Sesampainya di sana sang Ayah kontan memeluk Nenek yang tengah terbaring di atas ranjang besi. Rambut sang Nenek yang panjang walau telah memutih tergerai di atas kasur bersprei kuning muda. Kata tetangga yang biasa menyambangi, Nenek setiap hari menyisirnya. Namun demikian, memang ia hirau akan kebersihannya. Kutu kepala bercampur kutu busuk bersarang di sana.

Sang Ayah, ia menangisi dan mengungkap penyesalannya; baru menengok sang Ibu ketika tubuhnya sudah tak berdaya. Berikut si Sulung. Dan pamannya pada keesokan hari.

Entah dapat dimaklumi atau tidak mengingat Ayah si Sulung juga manusia, penyesalannya itu ternyata harus diulang untuk yang kedua kali dan terakhir.

“Mas, kau tahu kan peninggalan orang tua kita cuma rumah ini?”

“Iya. Memang kenapa?”

“Kita harus menjualnya.”

“Terus kalau dijual Ibu bagaimana?”

“Ibu biar ikut aku.”

Rumah terjual. Nenek diboyong ke rumah Paman di luar kota. Di sana tubuhnya tetap kaku sampai meninggal. Dan di hembusan napas terakhir tak ada siapa pun yang melingkupi. Si Paman pergi bekerja. Istrinya pun sama. Tak ada orang di rumah ketika itu. Namun yang pasti kutu dan kepinding di rambut-lah saksi sakaratul maut sang Nenek malang.

***

Pestisida telah disemprotkan, sehari setelahnya kepinding hilang dari ketenangan. Usai makan siang di hari itu sang Ibu ingat si Bungsu mengaduh kegatalan. Keesokan harinya perempuan yang menuntut kerugian itu datang beramai-ramai, terdengar seruan, “Usir Keluarga Pak Min dari kampung ini!”


Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)