Mahakarja #4 (Sebuah Cerpen)

 

Organisasi Mahasiswa

Tanpa seretan, penjahat itu sudah seperti selebritis menyibak kerumunan wartawan, diiringi polisi di kedua sisinya. Perekam suara disodorkan, namun si penjahat berbaju orange itu tidak mengatakan apa pun. Sementara polisi tetap menyapu jalan yang disesaki wartawan dari segala media, cetak pun daring, dari nasional hingga lokal, yang ternama hingga amatir.

Ia adalah seorang lelaki berbadan gemuk. Jauh lebih gemuk jika dibandingkan dulu saat dengan gesitnya ia ber-long march menyusuri jalanan kota menuju “istana” yang kemarin ia duduki bersama dengan pembesar lain yang barangkali juga tersangka namun tak tertangkap. Dan mengapa penjahat itu tidak menyeret kawan-kawannya? Apa karena ia tak terlalu memusingkan soal hukumannya yang memang tak perlu dipusingkan: kurungan yang sama saja dengan di rumah sendiri—hanya saja lebih sempit, karena tak mungkin memperluas ruang tahanan, cukup diketahui saja hukuman pura-pura itu, tak perlu gamblang terpampang di lembar-lembar surat kabar.

Di salah satu ruangan ormawa, mereka, para mahasiswa kampus Mahakarja sungguh sedang menyaksikan realita ironis di balik layar laptop inventaris organisasi dari situs berita nasional siang itu. Mereka yang juga bagian dari organisasi mahasiswa ekstra kampus atau lebih pendek dikenal ormek, ingin memrotes kenyataan, “mengapa seperti ini cerminan untuk kami?”

“Sebenarnya tidak akan sampai terjadi apa yang kalian lihat, seandainya kemarin kalian mau turun ke jalan menuntut untuk melepaskan senior kita itu dari sangka atas bersalahnya.” Begitu kalimat ketua besar mahasiswa ormek yang kini sedang terempas juga gairahnya. Tapi apa pentingnya sih kalian para Mahakarja menyikapi urusan organisasi dan kelompok politik? Mending kuli-ah bisa dapat uang buat bayar bea kuliah.

***

Perkenalkan, namaku Imam. Dan aku seorang imam. Imam lembaga eksekutif mahasiswa kampus Mahakarja. Aku sering bertanya-tanya: apa sih artinya menjadi pemimpin lembaga eksekutif di kampus yang tak beridealisme ini? Tak cuma tanpa idealisme, kami tak tahu untuk apa kami duduk di kursi pemerintahan ini. Pertanyaan itu lama sekali mengendap di lubuk pemikiran seorang aktivis yang tak berjati diri macam diriku.

Sampai datang segerombolan orang asing yang bukan seperti kolonial Jepang atau Belanda dulu yang penuh pura-pura membaiki pribumi. Mereka kuyakin benar-benar saviour, mengekspansi dengan murni gospel mereka dan kelompoknya. Karena kalau dipikir, tidak mungkin ”negara” semiskin Mahakarja menjadi sasaran “pemanfaatan” kekayaan oleh pihak-pihak luar. Tapi tunggu. Bisa saja iya. Karena kami tak tahu bahwa kami punya “negara”, dan mereka sangat jelas melihat bahwa Mahakarja ialah “negara”. Buktinya akulah presiden di sini.

Para saviour menjejaki kantor eksekutifku kala malam yang masih ramai di sini akan mahasiswa-mahasiswa kurang perhatian—perhatian pacar, atau perhatian dosen—dosen lajang nan manis [?] Rata-rata pada mainan HP di sini, internetan pakai WiFi cuma-cuma. Melihat kondisi ini para saviour berkata padaku, “Pres,” begitu sapanya, “seharusnya rakyatmu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca.”

“Rakyat?” balasku diikuti tawa.

“Maksud kami mahasiswa kampus ini,” timpal seorang saviour yang lain usai mengembuskan asap tingwe-nya.

Aku bangkit, berteriak pada mahasiswa-mahasiswa yang berserak di lantai kantor eksekutifku, “Hei, dengarkan... seharusnya kalian membaca buku, bukannya nontonin Larva.”

“Apa sih efek membaca untuk mahasiswa. Kayak si Budi, kebanyakan membaca, dan menulis. Cuma bisa sembunyiin kritik di balik opini-opininya yang pengecut,” sahut salah seorang di pojokan ruangan ini.

Satu saviour menaggapi, “Bro, tulisan itu tidak pengecut. Atau mencerminkan sikap pengecut dari penulisnya. Keberanian justru tampak padanya sebab sanggup menuliskan kritik. Dan kritikus pena itu ingin apa yang dipikirkan dibaca oleh orang.”

Tak semua terlihat memperhatikan. Tapi hanya kelihatannya. Karena seorang mahasiswa Mahakarja di arah jam dua yang dari tadi fokus pada HP dan hisapan sebatang Signature menyambar asbak. Bukan untuk mengetukkan tembakau yang mengabu, tapi jari-jarinya yang sebagian masih mengapit udud favorit tak kurang daya mencengkeram asbak kemudian melemparkan ke arah orang yang dalam desahnya ia anggap: “Ceramah!”. Desah itu terlontar keras bersama asbak kaca, mengenai sang presiden.

***

“Kalian tidak harus memperjuangkan nasib rakyat kecil sekarang. Tapi nanti setelah kalian menjadi seperti saya di gedung perwakilan rakyat.”

Aku terbangun dari tidurku pagi ini dengan geliat berat namun daya lebih berkuasa dari lelah yang terbawa. Sedikit linglung gerikku. Tugasku sebagai presiden menempa otot dan pikiran cukup keras. Selangkah menuju kamar mandi, ingatan akan tugas kuliah tiba-tiba menyambar. Itu membuat mataku semakin membelalak lepas dari sisa kantuk.

“Ah, Pak Dosen...” keluhku. “Ngapain repot-repot memberi tugas? Mahasiswa bukan anak sekolahan. Telah paham akan tugasnya.”

Suatu diskusi menteriku bertanya, “Apa tugasnya?”

Kujawab, “Memperjuangkan keadilan, meskipun keadilan itu tak pernah ada.”

“Apakah kesimpulannya mahasiswa itu bodoh?”

Aku hanya membalasnya dengan tatap. Mungkin karena kami berdua orang Jawa yang menganut esem menteri, semu bupati, dupak bujang. Hanya kami, orang-orang “elit” yang tahu.

“Pak menteri...” ucapku tenang, “aku merasa seperti terlahir kembali sebagai sosok yang baru.”

“Mengapa?”

“Entah.”

Langkah seorang mahasiswa kampus Mahakarja seakan menggema, berlarinya sangat sungguh, tak ada sedikitpun ragu kepada apa yang ia tuju, yakni sang presiden.

“Ayahmu ingin menggusur tempat mencari nafkah rakyat kecil!”

“Ayahku?”

“Iya. Besok kita harus unjuk rasa ke kantor pemerintahan kota!”

“Tidak mungkin aku mendemo ayahku sendiri!”

“Apa kau tidak lagi peduli nasib rakyat?!” pungkas mahasiswa tadi. Berlalu meninggalkan kami dan aku sendiri dengan segenap dilema.

***

Di kantor eksekutif aku terbaring tanpa sadar selama empat jam terakhir. Di sekitar telah menunggu kesadaranku pulih: para menteri, beberapa saviour, dan seorang lelaki paruh baya, berbaju partai, tapi bukan baju gratisan bertuliskan Pilih Saya!

Menjelang senja di ujung penghabisan, aku kembali pada kesadaran. Kepalaku terasa agak nyeri dengan lilitan perban mengitar. Lirih aku berkata, “Jangan unjuk rasa dulu. Nanti biar aku bicara dulu dengan ayah.”

“Apa maksudmu?” menteri bingung.

“Aku sangat peduli dengan rakyat kecil. Jika ayahku bukan walikotanya, aku yang pertama menyerukan aksi.”

“Bapakmu sekarang sedang resah mengkhawatirkanmu di depan ban bocor yang menjadi sumber rejekinya.”

Lelaki paruh baya di sisi baringku berkata lantang, “Kalian tidak harus memperjuangkan nasib rakyat kecil sekarang. Tapi nanti setelah kalian menjadi seperti saya di gedung perwakilan rakyat.”


Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)