Nik 5: Hilir (Sebuah Cerpen)

Aku ingin mengabarkan padamu bahwasanya aku telah terbangun dari lamunan oleh jatuh hati yang tak terbalas. Aku tak perlu hirau akan goresan yang baru itu. Karena aku telah sadar di balik goresan itu terpendam memar yang menjiwa. Bila perlu aku akan sibakkan sedikit goresan baru yang saat ini terus ku temui hingga terlihat olehku keterpurukan di alam purba yang pernah ada.

Bersama angin, kenangan itu datang mengembus ragaku. Meresap lewat celah apa saja di sana. Butirannya melesat cepat dan menancap di atas saraf nan usang. Syahdan, sekujur jiwa tergetarkan. Guruh bergemuruh menggumpalkan awan hitam. Hujan turun menerabas dedaunan. Dan aku bersyukur. Air mataku samar. Rintih atas perih dari alam purba lamat. Senyum tanda ketegaran tumbuh setelah tersirami.

Rekan di depanku, di mana aku berjalan paling belakang, ia menoleh memeriksa. Ternyata jarakku cukup jauh tertinggal dari serombongan pecinta alam yang tengah menelusuri hutan di Gutomo.

"Cepat..." Anak lelaki itu menyeru, namun aku cuma mendorong daguku ke bawah.

***

Nik, aku tak ingin berhenti. Perjalanan ini masih jauh. Meskipun tanpa asa yang jelas. Namun aku tetaplah terganggu, di setiap persinggungan yang tercipta, denganmu, amarah selalu tersulut, membakar apa yang semula baik-baik saja. Ambivalensi ini terus berjalan seiring upayaku yang telah habis-habisan untuk menaklukkan hatimu yang tangguh--atau memang aku sudah tak punyai kesempatan sebagaimana yang kau kata bahwa hatimu telah ada penjaga.

Cukup berat aku terbebani, Nik. Mengikuti tujuan pecinta alam ini sebetulnya amat berlawanan dengan arah spiritku. Kecuali aku mengingat 10 bulan lalu setidaknya bersama pecinta alam lukaku karena "maafmu" sedikit terlipur.

Sepuluh bulan lalu aku terpaku mengobati goresan baru. Menapaki lintasan Rogojembangan, juga menangkap makna di sela langkah. Bahwasanya dapat mencintai itu suatu anugerah. Meskipun belum tentu mendapatkan balasan yang serupa. Namun setidaknya ada bahagia dari mencintai. Tatkala teringat wajahnya, terngiang suaranya, rasakan hadirnya saat ia tak melingkupi.

***

Kami berhenti. Salah seorang kakinya terkilir. Sedang langit mulai tak menyisakan terang. Kami harus segera sampai di lahan perkemahan. Sangat tidak mungkin membangun tenda di sini. Tanahnya tidak rata.

Aku dan satu orang rekan ditinggal untuk bersama si sakit. Sembari kami mengusahakan agar ia cepat pulih. Di sela itu ada kesadaran timbul. Dan tanpa peduli keadaan kuungkapkan kepada dua orang di depanku. Sebuah kesadaran yang kuyakin sulit dicapai bila tanpa melakukan hal semacam ini, berjalan jauh meninggalkan jejak demi jejak untuk tiba dan pulang.

"Lepas dari segala pernak-pernik kota, di sini bersama tubuh ini aku sadar bahwa selama ini ciptaan manusia telah mengempaskan pujian kepada Tuhan dengan kekaguman akan ciptaann-Nya yang tiada tara, yang selalu dekat dengan diri ini, yakni anggota badan kita. Di kala kita naik sepeda motor tanpa harus susah payah sampai di tempat yang kita inginkan, di sana ada kaki yang Tuhan berikan. Namun kebesaran itu jadi tak nampak sebab kecanggihan teknologi telah menutupinya dengan roda. Kita lupa."

Begitulah. Tanpa patah hatiku olehmu, Nik, pelajaran-pelajaran bernilai belum tentu sampai di kesadaran ini.

Si sakit tak kunjung dapat kembali berjalan. Terpaksa ia digendong. Bergantian aku dan rekanku menggendongnya. Pukul 20.00 waktu jam tanganku, kami tiba di tenda yang telah berdiri.

***

Pagi hari.

Jarak 1 kilo dari lahan perkemahan sungai berada. Jernih sudah pasti. Namun aku terperangah, ada banyak sampah plastik berada di dasar sungai. Lebih parah di dekat pemukiman nampak sampah-sampah rumah tangga sengaja dibuang di bantaran.

Pecinta alam punya semangat melakukan pelestarian alam dan kebersihan lingkungan. Alam dan lingkungam itu juga termasuk wilayah pedesaan yang masih banyak pepohonan dan sungainya yang berair bersih. Namun ada tempatnya masyarakat di wilayah itu justru tidak menjaga segala kebaikan yang ada. Apa mereka tak belajar dari sungai perkotaan yang telah rusak?

Salah seorang rekan menyampaikan pada kami, "Besok kita melakukan penanaman!"

"Mau menanam apa di hutan seperti ini?" tanyaku.

"Kita tanam nilai pada mereka," katanya seraya menunjuk ke arah pemukiman.

Semua nampak termangu. Aku tanpa terlihat, merasa tersentak. Kuperkuat ajakannya, "Pecinta alam akan sia-sia berbuat, jikalau tak ada sikap yang sama pada manusia kebanyakan."

***

Tidak bisa disangkal. Manusia memang telah tertakdir menjadi perusak bumi dan sekitarnya. Baik dulu lebih-lebih sekarang. Jangan kira perusakan ada sebelum kecanggihan. Di jaman purba pun manusia telah serakah dan tak pandai berkendali diri. Bukti nyatanya sebagian hewan yang pernah hidup di muka bumi tak dapat kita jumpai lagi. Revolusi demi revolusi manusia yang berlangsung semakin memperparah kondisi ekologi. Manusia bagian dari alam bukan berarti apa yang dilakukan manusia adalah peristiwa alam. Sebab pada dasarnya ialah pemimpin bumi.

Jangan sampai alam yang menjadi sarana terbaik untuk temukan kalimat-kalimat indah para penyair ini hilang. Jangan sampai keindahannya hanya tersisa pada kalimat-kalimat mereka.

Di ketinggian kau bisa lihat lukisan oleh tangan Tuhan. Metafora-metafora datang bagai terpa angin segar. Aku sendiri melihat sosokmu di sana, di radius 100.000 meter, baik dari bukit ini pun ketika aku bersebelahan denganmu, Nik.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)