Posts

Gitar

Gitar adalah alat musik yang paling aku bisa untuk membunyikannya dengan baik. Walaupun selalu ada kekurangan di sana-sini ketika memainkannya. Ada banyak teknik dari alat musik gitar ini. Dari cara bermain genjrengan, petikan, petikan dengan pick, petikan lima jari, sampai fingerstyle yang mengesankan. Dari awal belajar bermain gitar aku jarang menggunakan pick (alat bantu memetik/menggenjreng). Mungkin itu yang membuatku sekarang sulit bisa bermain melodi--selain memang jari tangan kiri belum lihai menari di atas fretboard. Cara memetik yang aku pakai adalah lima jari. Seharusnya cocok untuk fingerstyle. Tapi nyatanya aku tidak bisa juga bermain fingerstyle dengan bagus. Itu pun aku hanya bisa menggunakan bentuk C di 3 fret pertama. Aku bukan musisi ulung. Tapi, sebagaimana yang aku tulis di bio facebook, aku adalah: "seorang yang selalu bermimpi menjadi musisi ulung". Skill-ku payah sekali. Kendati di hadapan teman-temanku yang tidak bisa bermain gitar aku dinilai jago

Butuh Komputer, HP, Kamera, dan Lainnya

Zaman digital atau zaman media sosial menjadikan orang berduyun-duyun mengembangkan layarnya di dunia online. Alasan paling memotivasi adalah penghasilan, uang (melalui jual beli online dan lainnya yang dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah dari aktivitas dunia digital). Ada juga alasan lain misalnya eksistensi dan popularitas. Tak terkecuali aku sendiri yang ingin menggapai satu anak tangga di mana komunitas yang aku bangun setidaknya memiliki akun media online yang menarik terutama dari segi tampilannya. Untuk berada dalam posisi tersebut dibutuhkan keterampilan mengolah medianya, dari urusan editing sampai programming. Selain itu diperlukan pula peralatan yang menunjang dalam mengolah konten. Seperti komputer dengan spek yang tidak rendahan. Lalu sekarang tidak bisa tidak ikut memproduksi konten berbentuk video. Akhirnya membutuhkan juga kamera yang bagus. Sementara ini aku berkeinginan memiliki kedua tools tersebut serta peralatan lainnya yang bisa aku gunakan untuk memproduk

Hampir Bakar Buku

Dua bulan lalu, hampir aku membakar sebuah buku dari deretan koleksiku yang terbagus. Buku itu sangat dikenal banyak orang. Bahkan oleh yang kurang menyukai buku sekalipun. Aku membelinya via online dalam kondisi bekas tapi masih cukup baik. Bisa dikatakan aku terlambat mendapatkan serta membacanya. Yang aku dapatkan ini cetakan pertama tahun 2018. Namun aku baru membacanya pada 2019. Di cover mukanya tertulis "Buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail". Betul, penulisnya berasal dari Amerika Serikat. Karya luar biasa ini bermula dari tulisan-tulisan blog. Sampai sini pasti sudah bisa diterka judul buku ini. Dalam versi bahasa Inggris Mark Manson memberinya judul "The Subtle Art Of Not Giving a Fu*k", kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat". Pertanyaannya, kenapa aku ingin membakar buku yang justru bagus dan terlaris pula? Sebenarnya kalau tidak menyukai sebagian isinya sudah dari dul

Keusilan Hujan

Tak pernah aku hitung berapa kali dalam perjalanan hidup selama ini aku merasa seakan hujan usil. Hal ini mungkin pula pernah dialami tidak hanya aku. Kalian pasti pernah suatu siang atau malam keluar, naik sepeda atau motor. Sebelum beranjak pergi kalian berpikir cuaca aman, nih. Eh, di tengah jalan sekonyong-konyong hujan deras. Kesalnya lagi kalau kita sudah menerabas guyuran air, basah kuyup, sampai tempat yang kita tuju hujannya reda. Hujan itu paradoksal. Di satu sisi ia memang seperti yang beberapa kawanku pikirkan: membawa berkah (walaupun sebenarnya mungkin mereka terkadang merasa kesal juga). Seolah menafikan sisi lainnya yakni bahwa hujan membikin hal negatif. Contohnya saja menghalangi ketika kita sedang buru-buru ada acara di tempat yang jauh, sedangkan kita tidak punya pelindung badan dari air hujan. Yang jelas hujan itu kehendak Tuhan. Kalau sampai hujan menghalangi kita untuk pergi sikap terbaik kita adalah berbaik sangka, mungkin di tengah jalan tengah menghadang hal

Kopi, Karl Marx, Lambung, dan Jantung

Melihat jam analog di HPku, jarum pendek sudah menyeberangi angka 3. Aku terbangun dengan perasaan cemas berlebih. Jantungku berdegup kencang. Kupikir ini cuma persoalan pikiran stress. Makanya aku seperti biasanya segera membuka Youtube dan menonton Stand Up Comedy. Menikmati lawakan dari komika langgananku, Coki Anwar. Coki Anwar belum lama aku kenal. Tepatnya setelah melihat wajahnya melintas di beranda Youtube dalam podcast sebuah channel yang tidak pernah pula aku melihat sebelumnya. Karakteristik khas Coki adalah wajahnya yang tanpa senyum dan memang ia membangun reputasi sebagai komika yang menahan tawanya sendiri, meski lawakannya hampir selalu membuat banyak orang termasuk aku tertawa geli. Lelucon yang keluar dari mulut Coki tergolong absurd berkarakter. Sebetulnya tidak hanya Coki komika ternama yang demikian absurd. Yang lain aku kenal ada Indra Frimawan. Tapi lelucon dia itu bagiku sendiri tidak dibawakan dengan lucu. Ya meskipun banyak orang menilai sebaliknya. Mungki

Menghabiskan Masa Muda

Aku terhenyak ketika ada karyawan lain yang berani menolak tugas pekerjaan karena tidak ada upahnya (di luar upah pokok setiap bulan). Karena aku melihat diriku sendiri bekerja di kantor sekarang lebih banyak bertahan untuk menjaga kewarasan daripada untuk mengejar penghasilan. "Pengabdianku" pada Bos dimulai sejak usia 22 tahun sampai sekarang usia 28 tahun. Benar-benar aku habiskan masa mudaku dengan segala potensi yang ada dan waktu yang berharga. Dan secuil keberanian mengakhirinya (baca: resign). Karena minimal menurut penilaianku sendiri aku sadar banyak melakukan kesalahan dalam pekerjaan sehingga banyak berkas yang aku pegang mangkrak. Kalau misal aku resign aku sendiri menanggung malu karena hal itu. Serta berkas yang aku tinggalkan akan menjadi beban siapa pun yang meneruskan, beban pikiran juga untukku yang meninggalkan. Aku terlalu takut untuk itu. Seperti contoh kemarin baru saja aku dimarahi orang gara-gara sudah hampir setengah tahun berkas belum selesai da

Uang Tip

Aku baru saja mendapatkan uang tip dari pekerjaan sebanyak 200.000. Harus disyukuri, ya. Meskipun kemudian menjadi bingung, mau digunakan buat apa uang itu? Mau buat bayar utang masih kurang banyak. Buat hiburan; aku mikir masih ada yang lebih prioritas: utang tadi. Lalu aku kepikiran invoice domain web Komunitas Mahakarja yang sudah expired dan belum terbayar. Aku segera membuka situs penyedia layanan domainnya, tapi sampai di step terakhir alias tinggal pembayaran aku kepikiran lagi utangku. Disusul kemudian pertimbangan, seprioritas apa domain web? Komunitas Mahakarja itu sudah seperti magnum opusku. Buah pemikiran penting hasil pergumulan dengan realitas di kalangan orang muda, yang pada masa sekarang gersang pustaka (pinjam istilah dari Khusnun Niam). Sekarang ini lebih banyak orang muda yang lekat dengan media sosial dan scroll video-video pendek ketimbang yang memperluas pengetahuan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Aku belum menemukan orang-orang yang hampir 10