Kopi, Karl Marx, Lambung, dan Jantung

Melihat jam analog di HPku, jarum pendek sudah menyeberangi angka 3. Aku terbangun dengan perasaan cemas berlebih. Jantungku berdegup kencang. Kupikir ini cuma persoalan pikiran stress. Makanya aku seperti biasanya segera membuka Youtube dan menonton Stand Up Comedy. Menikmati lawakan dari komika langgananku, Coki Anwar.


Coki Anwar belum lama aku kenal. Tepatnya setelah melihat wajahnya melintas di beranda Youtube dalam podcast sebuah channel yang tidak pernah pula aku melihat sebelumnya. Karakteristik khas Coki adalah wajahnya yang tanpa senyum dan memang ia membangun reputasi sebagai komika yang menahan tawanya sendiri, meski lawakannya hampir selalu membuat banyak orang termasuk aku tertawa geli.

Lelucon yang keluar dari mulut Coki tergolong absurd berkarakter. Sebetulnya tidak hanya Coki komika ternama yang demikian absurd. Yang lain aku kenal ada Indra Frimawan. Tapi lelucon dia itu bagiku sendiri tidak dibawakan dengan lucu. Ya meskipun banyak orang menilai sebaliknya. Mungkin soal selera saja.

Karena selera stand up comedy lainku tertuju pada yang ditampilkan Ge Pamungkas yang menurut teman setongkronganku dinilai tidak begitu ampuh membuat tertawa. Ge Pamungkas lah yang sebelum aku menemukan Coki selalu aku cari sebagai pengalih cemasku ke hal lain setiap terbangun entah karena memang pikiran sedang banyak beban dan menekan ketika tidur, atau seperti semalam.

Aku sampai membangunkan bapak. Meminta buat memijatku. Bapak bangun dan memijat jari-jari tangan kananku. Setelah beberapa menit dipijat aku merasa agak mendingan. Jantungku yang berdegup cepat sudah normal kembali. Aku berterima kasih sekali pada Bapak. Aku tidak tahu bagaimana jadinya kalau aku menghadapi sakit ini sendiri.

Pada pangkalnya aku terbangun sebab mimpi buruk dan sadar-sadar jantungku berdegup kencang. Tapi, soal penyebab itu tidak aku ceritakan ke Bapak atau Ibu yang semalam juga turut bangun. Mereka mendiagnosa itu masuk angin. Kedua, karena masalah lambung. Yang kedua ini benar. Minimal aku mengakui pada diri sendiri, sebelum sampai rumah pada setengah 12 malam aku ngopi dulu di angkringan depan gang Apolo.

Aku tidak merokok. Kopi-lah pelarian ketika kepala sedang butuh peredam stress. Dan aku ngopi hampir setiap malam. Hanya saja tidak selalu mengakibatkan efek yang seperti semalam.

Mimpi itu aku tidak ingat secara utuh alurnya. Yang masih tergambar adalah kejadian ketika tiba-tiba ada sosok makhluk yang kasat mata. Dalam mimpi itu sedikit terlihat posturnya besar seperti King Kong atau semacamnya. Aku tidak tahu siapa yang mengatakan bahwa makhluk itu ada untuk menghukum aku yang mempelajari pemikiran Karl Marx. Yang aku rasakan dalam mimpi itu ia masih termasuk kalangan pendukung Orde Baru. Mungkin demikian lah kerangka berpikir yang ada dalam kepalaku.

Saat sadar aku tetap memakai akal sehat. Meski dirundung kecemasan dan kesangsian yang mendorongku untuk goyah mempertahankan prinsip yang selama ini telah terbangun yakni bahwa mempelajari pemikiran Karl Marx dan aliran kiri yang lain tidak boleh dilarang.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)