Posts

Menghabiskan Masa Muda

Aku terhenyak ketika ada karyawan lain yang berani menolak tugas pekerjaan karena tidak ada upahnya (di luar upah pokok setiap bulan). Karena aku melihat diriku sendiri bekerja di kantor sekarang lebih banyak bertahan untuk menjaga kewarasan daripada untuk mengejar penghasilan. "Pengabdianku" pada Bos dimulai sejak usia 22 tahun sampai sekarang usia 28 tahun. Benar-benar aku habiskan masa mudaku dengan segala potensi yang ada dan waktu yang berharga. Dan secuil keberanian mengakhirinya (baca: resign). Karena minimal menurut penilaianku sendiri aku sadar banyak melakukan kesalahan dalam pekerjaan sehingga banyak berkas yang aku pegang mangkrak. Kalau misal aku resign aku sendiri menanggung malu karena hal itu. Serta berkas yang aku tinggalkan akan menjadi beban siapa pun yang meneruskan, beban pikiran juga untukku yang meninggalkan. Aku terlalu takut untuk itu. Seperti contoh kemarin baru saja aku dimarahi orang gara-gara sudah hampir setengah tahun berkas belum selesai da

Uang Tip

Aku baru saja mendapatkan uang tip dari pekerjaan sebanyak 200.000. Harus disyukuri, ya. Meskipun kemudian menjadi bingung, mau digunakan buat apa uang itu? Mau buat bayar utang masih kurang banyak. Buat hiburan; aku mikir masih ada yang lebih prioritas: utang tadi. Lalu aku kepikiran invoice domain web Komunitas Mahakarja yang sudah expired dan belum terbayar. Aku segera membuka situs penyedia layanan domainnya, tapi sampai di step terakhir alias tinggal pembayaran aku kepikiran lagi utangku. Disusul kemudian pertimbangan, seprioritas apa domain web? Komunitas Mahakarja itu sudah seperti magnum opusku. Buah pemikiran penting hasil pergumulan dengan realitas di kalangan orang muda, yang pada masa sekarang gersang pustaka (pinjam istilah dari Khusnun Niam). Sekarang ini lebih banyak orang muda yang lekat dengan media sosial dan scroll video-video pendek ketimbang yang memperluas pengetahuan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Aku belum menemukan orang-orang yang hampir 10

Keluh Kesah

Tadi malam selepas acara ForDem Gen Z, saya ngobrol dengan owner angkringan yang memang satu desa dengan saya. Hanya saja saya tidak kenal akrab sebelumnya. Tidak disangka owner menawarkan kalau GUSDURian mau adakan diskusi lagi di Angkringan Sabro sangat dipersilakan dan didukung. Bahkan akan disediakan kopi gratis biar banyak yang tertarik. Magnet Gus Dur memang luar biasa. Kalau diibaratkan provider seluler, sinyalnya kuat, bisa menjangkau ke mana-mana. Tinggal kita tergerak atau tidak. Hal ini tidak saya alami semalam saja. Akan tetapi sejak kemarin-kemarin sewaktu berjejaring dengan banyak elemen masyarakat. Kalau kata Prof. Maghfur, Gus Dur itu kata kunci. Begitulah sederhananya. Saya terkadang dan berulang kali "mbatin", apakah kegiatan ini saya jadikan yang terakhir saja? Akankah saya bisa meneruskan lagi? Tapi untungnya saya anggap itu hanya sisi manusiawi lain saya yang butuh sesekali mencuat. Hanya saja agak sulit menghadapinya. Sehingga ketika hal itu terjadi lagi

Tentang Kamu

Sekarang aku tahu, kasih itu dekat sekali dengan keterikatan. Dan keterikatan ada sebab telah dijalaninya satu dan banyak perjuangan. Perjalananku sore kemarin melewati Kusuma Bangsa itulah mungkin perjuangannya. Bagaimana kalau ternyata yang kamu temui itu orang yang tidak kamu suka, barangkali dia seorang lelaki tua? Aku menanyakan itu padamu. Dan kamu menjawabnya begitu santai. Dan paling tidak menurutku sendiri, dari tuturmu kau tak pintar mengada-ada. Dengan persepsi itu aku mendengar dan menyerap apa yang kamu katakan. Empatiku tumbuh dari sana. Soal cantiknya, 80% aku yakin kamu cantik. Walaupun kamu sendiri menyangkal, "cewek ya pasti cantik...". Tapi soal pembawaan aku tak menyangka. Aku tidak menyangka kemarin dapat bertemu dengan perempuan yang tutur katanya, sikapnya, sampai geriknya, aku menyukainya. Dan tentu saja karena kamu memang cantik. Lulusan sekolah kecantikan. :p Sampai hari ini aku masih terganggu wajahmu yang sendu. Seorang gadis yang bahkan pemalu. Ak

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Image
K au pasti tanya berapa banyak perempuan ayu, berkulit putih nan bersih, yang rambutnya lurus panjang, dan tawanya sederhana itu yang sudah aku jumpai? Terus terang saja, aku tak pernah menghitungnya. Dan aku tak berharap semuanya dapat aku rengkuh. Jangankan semua, satu saja mungkin Tuhan masih belum mengizinkan." Bibirnya terkatup. Ia terdiam. "Ah, mengapa banyak perempuan cantik itu berhamburan di minimarket, di ATM, di angkringan, di setiap lampu merah, di pasar, di dalam mimpiku? Sementara kala sore tiba aku hanya bisa mencurahkan kegelisahan tentang mereka padamu? Nyaliku tak cukup untuk sekadar menanyainya perihal nama. Jika bisa, aku ingin menggandengnya, mengajaknya nonton, ngobrol di kafe, berkeliling naik motor dan pada waktunya tiba akulah hangat untuknya di perjalanan malam yang dingin." Nyaris aku meninggalkan ia bermonolog tanpa penonton. Tapi ia buru-buru mencegat langkahku, penonton tunggalnya. "Dengarkan dulu ceritaku..." bujuknya. Baiklah, ba

Mahakarja #4 (Sebuah Cerpen)

Image
  Tanpa seretan, penjahat itu sudah seperti selebritis menyibak kerumunan wartawan, diiringi polisi di kedua sisinya. Perekam suara disodorkan, namun si penjahat berbaju orange itu tidak mengatakan apa pun. Sementara polisi tetap menyapu jalan yang disesaki wartawan dari segala media, cetak pun daring, dari nasional hingga lokal, yang ternama hingga amatir. Ia adalah seorang lelaki berbadan gemuk. Jauh lebih gemuk jika dibandingkan dulu saat dengan gesitnya ia ber- long march menyusuri jalanan kota menuju “istana” yang kemarin ia duduki bersama dengan pembesar lain yang barangkali juga tersangka namun tak tertangkap. Dan mengapa penjahat itu tidak menyeret kawan-kawannya? Apa karena ia tak terlalu memusingkan soal hukumannya yang memang tak perlu dipusingkan: kurungan yang sama saja dengan di rumah sendiri—hanya saja lebih sempit, karena tak mungkin memperluas ruang tahanan, cukup diketahui saja hukuman pura-pura itu, tak perlu gamblang terpampang di lembar-lembar surat kabar.

Hantu-Hantu B*ngsat (Sebuah Cerpen)

Image
  S i Sulung dalam seminggu mungkin hanya separo dari total malam ia habiskan untuk (bisa) tidur. Ia terjaga untuk menghindari gangguan hantu-hantu usil dan kejam yang mengusik ketenangan. Sembari menjaga si Bungsu, barangkali lingkaran pelindung yang ia buat terjebol. Sebab meski telah diawasi, kecerdikan hantu bangsat itu mampu melewati garis putih yang dibuatnya. K ata orang, hantu-hantu ini senang dengan suhu yang hangat. Pada malam-malam yang dingin mereka merangsek lewat celah yang ada di rumah ini, menyelinap di antara himpitan yang tercipta dari orang-orang yang terlelap. Kadang nampak wujud mengerikan yang membuat bergidik. Kadang menghilang dengan cepat. Mereka pandai sekali bersembunyi. Setiap hari darah harus rela atau tidak terisap oleh taring-taring mereka yang “lembut” itu. "Setan!" Pekik itu milik sang Ayah. Si Sulung yang sedang menahan kantuk di depan televisi sontak terbelalak. Ayah dan ibunya berhambur keluar dari kamar. Kulit lengan dan wajah mereka