Posts

Kenapa Pengen Punya Mobil?

Isu ekologi menjadi isu yang sangat aku perhatikan. Meskipun sedikit pengetahuanku tentang misalnya tumbuh-tumbuhan, fauna, dan ekosistem di sekeliling manusia, paling tidak aku merasa tidak sampai hati bila harus menerima kantong plastik sekali pakai ketika membeli sesuatu dari penjualnya. Bahkan melihat orang begitu tenangnya membeli es teh dengan wadah gelas plastik yang dibungkus kantong plastik aku "mbatin", kenapa ya mereka tidak menolak minimal kantong plastiknya? Selain itu, keadaan Bumi yang kian memanas juga mengusik pikiranku, aku resah namun tidak tahu bagaimana mengatasinya. Setiap hari aku tidak bisa bahkan menjadi tidak mungkin jika harus jalan kaki atau naik sepeda ke tempat kerjaku, ke tempat teman-temanku, pergi ke acara komunitas. Aku selalu butuh sepeda motor untuk mencapai tujuan-tujuan tadi. Namun, aku ingin punya mobil. Mengapa? Dipikir-pikir aku rugi sudah berusaha atau memikirkan tentang bagaimana cara meminimalisir pemanasan global. Sedangkan orang l...

Melebar ke Mana (-mana)?

Kurang lebih pukul 18.13 aku pamit pada kawan-kawan yang masih melingkar di forum diskusi Buka Buku volume 51. Aku bilang lewat chat grup WA Gusdurian kalau telat. Memalukannya aku telat melampaui waktu yang sudah aku tentukan sendiri yaitu pukul 18.15. Karena mendekati pukul 18.00 aku pikir aku akan dapat giliran menyampaikan sekilas pendapat lalu sekalian say good bye ke kawan-kawan yang sore itu seperti sedang menuang air ke mulut botol tapi airnya justru lebih banyak mengucur ke bagian luar botol itu. Entah sebatas aku atau ada orang lain di forum tersebut yang menilai demikian. Hanya saja jika penilaian ini benar maka jalannya diskusi Buka Buku perlu diatur kembali. Memang, di sana apa pun boleh diungkapkan tapi jika respon satu dan banyak orang kemudian melenceng jauh dari pernyataan yang direspon aku pikir juga tidak sehat buat "dikonsumsi". Mula-mula seseorang menyajikan kutipan Karl Marx yang entah dari mana ia dapat (aku googling tidak ketemu), aku agak lupa bunyi ...

Definisi Adil

Kata "adil" definisinya selalu ditentukan menurut orang per orang. Adil menurut orang miskin tidak sama dengan adil dalam pikiran orang kaya. Maka, ketidakadilan yang berimplikasi dengan kemiskinan yang terjadi di negeri ini bisa jadi tidak ada dalam penglihatan para selebriti plus DPR kaya-raya, yang rumahnya dijarah akhir Agustus lalu itu. Terlepas dari hukum negara pun ajaran agama bahwa penjarahan itu perbuatan yang salah, aku, di dalam perasaanku yang geram atas nasib kurang baik ini, di mana melihat segelintir orang dengan mudahnya mendapatkan apa yang terbaik (menurut penilaian banyak orang)--misal saja pendidikan yang memadai, akses ke pekerjaan dengan upah melimpah, kemudahan membeli rumah untuk tinggal bersama pasangan setelah menikah--sebenarnya cukup puas mengetahui pejabat itu hartanya dijarah. Kalau perlu tidak hanya dijarah, tapi pastikan harta kekayaannya yang bermilyar-milyar itu terkuras dan dialihkan untuk membiayai kehidupan orang-orang yang sekadar ingin ...

Materi: Realistis

Entah dengan apa aku survive di hari-hari ke depan saat bagian baru dari hidupku bermula. Yaitu kehidupan rumah tangga, di mana segala sesuatunya akan sangat berbeda. Sesederhana aktivitas sarapan, sepiring porsinya tidak cuma tentang diri sendiri, melainkan bertaut dengan individu yang terbingkai dalam satu tabel Kartu Keluarga. Calon istriku bukan perempuan yang pikirannya konvensional. Namun bukan lantas modern yang keglamour-glamouran . Dia sepertinya punya kesadaran yang baik akan realitas, namun tidak serta-merta menerima begitu saja akan nasib. Aku di sini tidak ingin memberikan predikat apa pun, karena pasti akan subjektif dalam arti memuji-muji orang tersayang. Satu sisi pikirannya yang modern itu ingin aku telaah dengan kondisi finansial yang aku sandang. Aku memulainya dengan kesan yang sering aku tangkap saat melihat update foto di media sosial dari beberapa teman yang sudah berumah tangga. Beberapa yang kumaksud adalah mereka yang sehabis menikah tampak nelangsa. Kesan t...

Ketakutan di Hari-Hari Kemarin

Kerusuhan itu berlangsung di Bulan Rabiul Awal menjelang hari lahir Nabi yang mulia, orang suci yang kita hormati, Rasulullah Muhammad SAW. Maka, selepas matahari terbenam sore tadi, dan masuk kalender di malam 12 bulan tersebut, aku ingin merefleksikan bersamaan dengan peringatan Maulid tentang sekadar apa yang aku rasakan hari-hari kemarin khususnya pada saat suasana mencekam yang semestinya bisa tidak mencekam. Petaka di akhir Agustus itu bukan bencana alam seperti gempa atau angin puting beliung yang sulit bahkan tidak bisa manusia kehendaki agar tidak terjadi. Suasana mencekam kemarin adalah akibat kesengajaan bajingan entah di mana mereka berada. Aku menulis seperti ini dan aku post di story Instagram: Hidup di dunia lebih tepatnya di daratan Indonesia untuk sekali saja tak pernah merasakan bahagia karena ingin menggapai mimpi--macam tempat tinggal layak, pendidikan yang memadai, finansial yang sehat--sulit bukan kepalang. Sekarang malah dibuat tidak tenang dengan permainan manus...

Tuhan, Aku Pasrah

Tuhan, sungguh aku tidak paham maksud kehidupan dunia ini. Mengapa sarat penderitaan? Apa benar kata Budha bahwa hidup ini adalah penderitaan? Bagian demi bagian perjalanannya kuamati selalu berhilir pada kegagalan, lebih tepatnya gagal dalam berkeputusan. Beberapa kuingat. Sewaktu lulus dari SMP aku pikir aku salah memutuskan untuk melanjutkan ke SMK dengan jurusan otomotif. Itu aku sadari setelah berminggu-minggu menginjak lantai kelas dan berjalan berkitar-kitar di sana. Namun, aku memilih untuk terus menikmatinya. Dalam pekerjaan. Lagi-lagi aku memutuskan hal yang salah pun berisiko, untuk kehidupanku lebih dari tujuh tahun setelahnya. Tujuh tahun aku menghabiskan waktu untuk latihan mental. Barangkali juga sudah terserang sakit mental. Tentu aku tidak akan lupa ayat dalam Kitab Suci bahwa kenikmatan yang Engkau berikan sesungguhnya amatlah banyak sampai manusia tidak akan mampu menghitungnya. Maka, aku tidak boleh menebali kata "penderitaan" itu. Sehingga mengecilkan nik...

Tak Meneruskan Kuliah?

Beberapa minggu lalu aku bertemu teman, salah satu teman yang lain dari yang lain. Selain dia berwajah oriental dia pun jenaka ketika sudah bercakap. Usianya di atasku dan sudah berkeluarga. Wawasannya cukup luas ditambah kedewasaan dan kejenakaan membuat apa yang disampaikan terasa tidak membosankan, kesetaraan melingkupi obrolan kami meskipun terpaut usia yang berbeda generasi. Lama tak berjumpa dia hari itu juga tak seperti sebelum-sebelumnya menanyakan kuliahku. Tak berhenti pada pertanyaan dia bahkan setengah memaksa aku untuk melanjutkan lagi studi yang bagiku sudah seperti buku yang kututup lembar-lembarnya dengan sampul belakang tanpa perlu menyelesaikannya. Sebagian besar orang menganggap keputusanku itu konyol. Termasuk orang tuaku sendiri. Siapa yang ingin sudah 7 tahun menjadi mahasiswa tapi di ujungnya malah tidak lulus? Hanya orang gila yang menginginkan demikian. Artinya aku gila. Membahagiakan orang tua dengan gelar akademik di belakang nama, siapa yang tidak mau? Semu...