Definisi Adil
Kata "adil" definisinya selalu ditentukan menurut orang per orang. Adil menurut orang miskin tidak sama dengan adil dalam pikiran orang kaya. Maka, ketidakadilan yang berimplikasi dengan kemiskinan yang terjadi di negeri ini bisa jadi tidak ada dalam penglihatan para selebriti plus DPR kaya-raya, yang rumahnya dijarah akhir Agustus lalu itu.
Terlepas dari hukum negara pun ajaran agama bahwa penjarahan itu perbuatan yang salah, aku, di dalam perasaanku yang geram atas nasib kurang baik ini, di mana melihat segelintir orang dengan mudahnya mendapatkan apa yang terbaik (menurut penilaian banyak orang)--misal saja pendidikan yang memadai, akses ke pekerjaan dengan upah melimpah, kemudahan membeli rumah untuk tinggal bersama pasangan setelah menikah--sebenarnya cukup puas mengetahui pejabat itu hartanya dijarah.
Kalau perlu tidak hanya dijarah, tapi pastikan harta kekayaannya yang bermilyar-milyar itu terkuras dan dialihkan untuk membiayai kehidupan orang-orang yang sekadar ingin makan berlauk daging saja harus menunggu Idul Adha, dialihkan untuk kaum pinggiran yang tidur bergantian karena rumahnya sempit, dialihkan untuk membiayai sekolah anak-anak tidak mampu pun terpaksa harus mencari uang sendiri untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, dan masih banyak lagi.
Berikut ini akan subjektif. Tapi barangkali sudut pandangku juga menjadi sudut pandang selain aku. Lebih spesifik dari ketidakberdayaan secara umum yang kusebutkan di atas, aku ingin mengungkapkan keadaan ketidakberdayaan yang aku alami.
Tujuh tahun aku pikir bukan waktu yang sebentar untuk sebuah perjalanan karir. Tujuh tahun bekerja dalam rangka menuju kondisi ekonomi pribadi yang lebih baik akan tetapi tidak banyak yang berubah. Jika kutanyakan ke 10 orang kenapa bisa begitu, mungkin 6 akan punya persepsi seperti: usahanya kurang keras lagi, kurang berdoa, tidak mampu manajemen waktu, tidak beralih dari zona nyaman.
Aku telah bekerja dengan giat dan waktuku tidak banyak aku buang dengan percuma (setidaknya dengan membandingkan rekanku di kantor). Seharusnya aku sudah pantas untuk mendapatkan minimal modal nikah sebanyak 50 juta. Kalau dihitung dari 50 juta saja setahunnya simpananku hanya 7 juta lebih sedikit, sebulannya hanya 600-an ribu. Dan pada kenyataan, setelah tujuh tahun itu setahuku 9 juta hasil dari JAMSOSTEK adalah kemewahan yang aku dapat.
Aku sempat kuliah, namun tidak rampung karena justru aku lebih fokus pada pekerjaan. Lagi-lagi, seharusnya tidak begitu. Aku merasa berhak untuk belajar tanpa dibebani dengan beban pikiran atas pekerjaan. Itulah cita-citaku, dan supaya hal tersebut tidak terjadi pula pada orang lain. Aku ingin mengatakan bahwa pemerintah tidak hadir di situasi yang demikian. Pemerintah hanya hadir saat citranya terancam. Tidak cuma beasiswa, bejibun uang akan ia gelontorkan untuk seseorang yang menjadi penentu citra baik atau buruknya.
Lalu, keadilan macam apa yang aku definisikan (atau yang aku maui)? Apakah keadilan itu semua warga negara disama-ratakan termasuk dalam ekonominya? Bagiku, setiap warga negara--apalagi di Indonesia yang kaya sumber daya alamnya--berhak atas pendidikan hingga perguruan tinggi tanpa harus hirau dan risau atas biayanya, berhak mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang punya kelebihan untuk ditabung agar tidak takut akan menikah dan dengan gajinya itu layak untuk hidup berumah tangga, membangun generasi yang pada akhirnya untuk kemajuan bangsa ini. Pikirkan itu, pemerintah!
Comments
Post a Comment