Ketakutan di Hari-Hari Kemarin

Kerusuhan itu berlangsung di Bulan Rabiul Awal menjelang hari lahir Nabi yang mulia, orang suci yang kita hormati, Rasulullah Muhammad SAW. Maka, selepas matahari terbenam sore tadi, dan masuk kalender di malam 12 bulan tersebut, aku ingin merefleksikan bersamaan dengan peringatan Maulid tentang sekadar apa yang aku rasakan hari-hari kemarin khususnya pada saat suasana mencekam yang semestinya bisa tidak mencekam.

Petaka di akhir Agustus itu bukan bencana alam seperti gempa atau angin puting beliung yang sulit bahkan tidak bisa manusia kehendaki agar tidak terjadi. Suasana mencekam kemarin adalah akibat kesengajaan bajingan entah di mana mereka berada.

Aku menulis seperti ini dan aku post di story Instagram:

Hidup di dunia lebih tepatnya di daratan Indonesia untuk sekali saja tak pernah merasakan bahagia karena ingin menggapai mimpi--macam tempat tinggal layak, pendidikan yang memadai, finansial yang sehat--sulit bukan kepalang.

Sekarang malah dibuat tidak tenang dengan permainan manusia-manusia yang mungkin telah merasa menjadi Tuhan, yang seakan mampu menentukan kacau dan damainya satu bagian dari dunia ini.

Kalian yang ada dibalik petaka ini benar-benar keterlaluan. Kalian paksa kami memohon untuk menghentikan ini karena kami tidak berdaya, bahkan sejak semula tidak berdaya.

Kami hanya bisa menerima apa yang telah dan akan terjadi sambil berbisik satu sama lain; siapa kalian itu?

Kami sadar kami tidak mampu melawan, maka kami membiarkan alam semesta yang akan menghancurkan kalian.

Aku merasa geram di tengah suasana yang tidak habis pikir dapat terjadi. Media sosial disesaki berita dan informasi yang membuat takut masyarakat. Ironisnya, ketakutan itu timbul dari pihak aparat negara. Sebutlah penganiayaan orang yang tidak bersalah oleh angkatan bersenjata, hanya karena beraktivitas pada dini hari dan oleh karenanya seakan ia harus dituduh bagian dari pembuat rusuh.

Mundur ke malam tanggal 30 Agustus, waktu itu aku masih berkegiatan di Jakarta. Di sebuah acara panggung budaya tiba-tiba sekali menjalar suasana mencekam itu, tepatnya ketika Band Marjinal tengah di atas panggung dan bersiap mempertunjukkan musiknya. Lantas, musisi-musisi punk itu turun dan sesi penampilan Band Marjinal diganti dengan doa bersama.

Penanggung jawab dari acara tersebut menyampaikan kepada ratusan orang audien bahwa kondisi tengah memanas. Aku pikir, apa ini? Terus terang aku bingung, apa yang sedang terjadi? Mengapa nalar manusiaku bahkan hampir semua orang tidak mampu mencernanya?

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana bisa di zaman yang serba canggih ini nalar kita masih saja diselimuti ketidakpastian atas realitas di sekitar? Orang-orang menebak-nebak, menyambung-nyambungkan fakta, membuat kemungkinan-kemungkinan yang tidak terang satu pun. Semuanya abu-abu.

Demonstrasi meledak luar biasa di berbagai daerah setelah seorang rakyat biasa, kaum tidak berdaya dilindas oleh kendaraan tempur angkatan bersenjata. Demonstrasi tidak cuma diisi dengan orasi dan long march, namun lebih ke perusakan, pembakaran, penjarahan, dan Jakarta menjadi titik paling mencekam selain daerah-daerah lainnya yang juga "dibikin" kacau. Lalu, siapa pihak yang kita takuti? Aku bertanya dan satu jawaban yang paling patut aku pikir, yaitu aparat itu sendiri.

Nabi Muhammad suri tauladan umat, tak terkecuali perjuangannya membela kaum lemah. Keimanannya kepada Tuhan melenyapkan ketakutannya pada makhluk. Semangat pembebasan yang ada di dalam jiwanya bersumber dari kalimat tauhid la ilaha (tidak ada Tuhan, tidak ada yang pantas dituhankan, manusia-manusia yang punya kekuatan besar itu bukan Tuhan) dan illallah (kecuali Allah, maka semua manusia setara). Di tengah ketakutan yang menyelimuti dan membuat gelap hari-hari sekarang ini, ada tauladan Nabi yang menjadi cahaya.  Katakan: aku tidak takut!


Comments

Popular posts from this blog

Jose

Purwokerto

Mimpi