Posts

Tuhan, Aku Pasrah

Tuhan, sungguh aku tidak paham maksud kehidupan dunia ini. Mengapa sarat penderitaan? Apa benar kata Budha bahwa hidup ini adalah penderitaan? Bagian demi bagian perjalanannya kuamati selalu berhilir pada kegagalan, lebih tepatnya gagal dalam berkeputusan. Beberapa kuingat. Sewaktu lulus dari SMP aku pikir aku salah memutuskan untuk melanjutkan ke SMK dengan jurusan otomotif. Itu aku sadari setelah berminggu-minggu menginjak lantai kelas dan berjalan berkitar-kitar di sana. Namun, aku memilih untuk terus menikmatinya. Dalam pekerjaan. Lagi-lagi aku memutuskan hal yang salah pun berisiko, untuk kehidupanku lebih dari tujuh tahun setelahnya. Tujuh tahun aku menghabiskan waktu untuk latihan mental. Barangkali juga sudah terserang sakit mental. Tentu aku tidak akan lupa ayat dalam Kitab Suci bahwa kenikmatan yang Engkau berikan sesungguhnya amatlah banyak sampai manusia tidak akan mampu menghitungnya. Maka, aku tidak boleh menebali kata "penderitaan" itu. Sehingga mengecilkan nik...

Tak Meneruskan Kuliah?

Beberapa minggu lalu aku bertemu teman, salah satu teman yang lain dari yang lain. Selain dia berwajah oriental dia pun jenaka ketika sudah bercakap. Usianya di atasku dan sudah berkeluarga. Wawasannya cukup luas ditambah kedewasaan dan kejenakaan membuat apa yang disampaikan terasa tidak membosankan, kesetaraan melingkupi obrolan kami meskipun terpaut usia yang berbeda generasi. Lama tak berjumpa dia hari itu juga tak seperti sebelum-sebelumnya menanyakan kuliahku. Tak berhenti pada pertanyaan dia bahkan setengah memaksa aku untuk melanjutkan lagi studi yang bagiku sudah seperti buku yang kututup lembar-lembarnya dengan sampul belakang tanpa perlu menyelesaikannya. Sebagian besar orang menganggap keputusanku itu konyol. Termasuk orang tuaku sendiri. Siapa yang ingin sudah 7 tahun menjadi mahasiswa tapi di ujungnya malah tidak lulus? Hanya orang gila yang menginginkan demikian. Artinya aku gila. Membahagiakan orang tua dengan gelar akademik di belakang nama, siapa yang tidak mau? Semu...

Epistemologi

Sejujurnya aku tak pernah betul-betul paham--bahkan sampai sekarang--apa itu epistemologi sejak pertama kali mengenalnya di bangku kuliah. Eits, aku tidak pernah menjadi mahasiswa jurusan filsafat, di kampus dulu di jurusan Manajemen Pendidikan Islam aku hanya mendapat mata kuliah filsafat, tepatnya Filsafat Ilmu 2 SKS di semester pertama. Dan akan kuceritakan perkembangannya yang sangat pelan ini. Bagaimana dulu dosenku menerangkan apa epistemologi dalam mata kuliah tersebut aku mengingatnya samar-samar, satu kalimat mungkin: bagaimana cara mendapatkan ilmu. Oke. Butuh delapan tahun rupanya sampai ada secercah cahaya yang menerangi pikiranku sehingga bisa melihat dengan jelas konsep epistemologi itu. Berawal dari konten Debat Filsafat yang "iseng" dibikin oleh Ferry Irwandi. Sebagian orang menilai, "Ah, Ferry itu content creator dia butuh channelnya ramai, makanya cari kontroversi." Namun, tidak sedikit orang respect atas langkah yang dilakukan oleh Ferry. Menyam...

Perpusda

Sejak bulan Juli tahun ini baru sekarang aku menulis lagi. Namun dari situ aku dapat menyadari, produktivitas menulisku dipengaruhi aktivitasku membaca. Tiga minggu di bulan Juli tidak sehalaman pun bacaan aku eja. Buku-buku yang mempesona di rak tidak berhasil menarik tanganku untuk mengambilnya. Padahal sebenarnya ingin membuka salah satu di antaranya yakni 'Sejarah Indonesia Modern' (M.C. Ricklefs). Ya, sejak membaca novel yang di dalamnya dimasukkan kepingan-kepingan sejarah seperti 'Natisha' dan 'Medulla Sinculasis' aku menjadi tertarik membaca tentang peristiwa-peristiwa lampau khususnya yang terjadi di Indonesia. Aku ingat di tahun 2018 waktu aku mengikuti sebuah pelatihan jurnalistik pernah ditanya bacaan-bacaan apa yang kusuka? Ia yang bertanya mencoba memberi pilihan jawaban: "sejarah?" Aku melihat ke dalam diriku waktu itu kemudian menjawab iya tapi tidak terlalu. Minggu ini baru aku membaca lagi. Dua buku, dan seperti biasa, tidak membaca k...

Inisiatif Berujung Eksesif

Sore tadi aku baru saja men-servis-kan motor di sebuah bengkel dekat pasar Kedungwuni, bengkel nomor 2 dalam option list pribadiku setelah bengkel punya Pak Eko, teman kuliah. Di sana ada dua montir yang familiar bagiku, keduanya jenaka. Di tengah-tengah mereka memasang baut atau melepas komponen sepeda motor mereka bernyanyi bersautan. Aku tidak tahu apa yang mendorong mereka bernyanyi spontan seperti itu. Kalau alasan suka atau hobi tentu rata-rata orang suka atau hobi bernyanyi, terlepas dari kualitas suaranya. Namun aku sendiri berasumsi, bahwa dalam pikiran mereka ada satu pressure yang mendorong mulut meracau dengan lagu. Mungkin suatu saat harus kupastikan itu. Karena tadi ada seorang kustomer yang komplain atas pekerjaan satu di antara montir tersebut yang membuat paling tidak dua kali ia disalahkan oleh dua orang berbeda dalam satu masalah yang sama (pertama oleh kustomer kedua oleh bosnya), ditambah teman duetnya bukannya memberi support justru mencoba jadi pahlawan deng...

Ketidaksadaran Kolektif

...mindset masyarakat perlu disadarkan, kita harus bareng-bareng membangun kesadaran kolektif di tengah iklim yang serba individualistik. Sebab kalau tidak ada kesadaran kolektif, yang terjadi bakal selalu sama: anak-anak muda yang harusnya punya pikiran idealis selalunya gugur dihadapan patron masing-masing. kalau gini terus, ide/mimpi secemerlang apapun bakal menguap, bang. Itu statement dari temanku di sebuah grup WA komunitas yang orang-orangnya di awal sedang membahas kondisi pengangguran dan persoalan pendidikan di negeri tercinta. Maklum, karena tanpa moderator yang memandu diskusi pembahasan pun tidak fokus. Ada satu orang yang menyinggung juga persoalan sosial-ekonomi dan nyerempet ke sistemnya juga. Lalu, aku menimpali dengan pernyataan yang membikin temanku dan mungkin orang lainnya tidak bisa menerima. Wajar saja, karena aku tidak memberikan penjelasan pada sebaris kalimatku ini: kesadaran kolektif bisa diwujudkan dengan ketidaksadaran. Titik. Sebenarnya bisa saja aku menj...

Raja Ampat di Momentum Kurban

Karena sebagian besar orang mengenal Raja Ampat. Pulau itu adalah "surga" bagi manusia di Bumi dengan keindahan alamnya yang sudah elok sejak masih berada di layar digital. Lebih-lebih mungkin saat mata kepala kita menyaksikan tanpa sekat keindahannya di Papua sana. Entah, aku sendiri belum pernah. Momentum Idul Adha menjadi sangat dalam ibrah nya ketika isu lingkungan hidup itu menyeruak di tengah-tengahnya. Orang-orang yang belum merasakan bagaimana udara "surga" Raja Ampat lalu mereka bersuara merespon kabar penambangan yang jahat itu jangan-jangan karena takut tidak kesampaian menikmatinya? Aku sedang berkelindan dengan bacaan Sapiens yang mana penulisnya, Harari menyebut bahwa spesies kita ini perusak dari dulu. Kamu yang agamis pasti menginterupsi: di Al Quran memang sudah disebutkan bahwa manusia akan berbuat kerusakan di Bumi. Aku pun mengamini juga mengimani apa yang tersebut di dalam kitab suci. Hematku, ayat di dalamnya justru menjadi petunjuk untuk kita...