Ketidaksadaran Kolektif
...mindset masyarakat perlu disadarkan, kita harus bareng-bareng membangun kesadaran kolektif di tengah iklim yang serba individualistik. Sebab kalau tidak ada kesadaran kolektif, yang terjadi bakal selalu sama: anak-anak muda yang harusnya punya pikiran idealis selalunya gugur dihadapan patron masing-masing. kalau gini terus, ide/mimpi secemerlang apapun bakal menguap, bang.
Itu statement dari temanku di sebuah grup WA komunitas yang orang-orangnya di awal sedang membahas kondisi pengangguran dan persoalan pendidikan di negeri tercinta. Maklum, karena tanpa moderator yang memandu diskusi pembahasan pun tidak fokus. Ada satu orang yang menyinggung juga persoalan sosial-ekonomi dan nyerempet ke sistemnya juga.
Lalu, aku menimpali dengan pernyataan yang membikin temanku dan mungkin orang lainnya tidak bisa menerima. Wajar saja, karena aku tidak memberikan penjelasan pada sebaris kalimatku ini: kesadaran kolektif bisa diwujudkan dengan ketidaksadaran. Titik.
Sebenarnya bisa saja aku menjabarkan di chat grup itu. Tapi aku enggan karena alasan; pertama, gagasan seperti itu sangat sulit relevan untuk banyak orang. Kedua, beberapa orang di grup itu aku anggap orang-orang sok tahu, kalau bahasa sininya itu "yoh-yoho". Itu terjadi tidak via grup saja, saat diskusi luring pun sama. Entahlah penilaian ini objektif atau sebaliknya.
Jadi, aku singgung saja lewat tulisan ini. Jika suatu saat ada yang membacanya boleh ditanggapi. Tapi aku belum tentu akan balik menanggapinya. Ehm, kesadaran kolektif itu apa? Durkheim berpendapat bahwa kesadaran kolektif adalah seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri (Ritzer & Goodman, 2013 dikutip oleh Fiandy Mauliansyah, 2016).
Dan aku, karena hari sebelumnya membaca sebuah buku berjudul Psikologi Revolusi oleh Gustave Le Bon (2017) yang kupungut dari rak kedai kopi Sandekolo, bahwa revolusi politik itu dihasilkan justru oleh keyakinan yang berada dalam pikiran manusia, keyakinan politik dipertahankan hampir secara khusus oleh faktor afektif dan mistik. Maka keluarlah kalimat 'usil' di atas. Kepercayaan politik (juga agama) merupakan tindakan keyakinan yang dirincikan ke dalam ketidaksadaran.
Yuval Noah Harari menyebut "tatanan khayalan" untuk menjelaskan bagaimana misalnya rakyat Amerika memerdekakan diri dari Britania dengan mitos tentang kemerdekaan, kesetaraan, dan hak-hak asasi manusia. Harari memperlawankan mitos yang tidak empirik dengan sains. Semisal ia mengungkapkan dalam sains tidak ada kesetaraan (antar manusia), yang ada hanyalah manusia "berevolusi secara berbeda".
Atau, aku menambahkan contoh negera Indonesia yang merdeka pun berangkat dari mitos-mitos. Bung Karno mampu menggerakkan rakyat dengan orasinya yang dibalut mitos-mitos lokal seperti ramalan Jayabaya. Belakangan pelajaran sejarah sekolah yang mengatakan 350 tahun Belanda menjajah Indonesia dibeberkan kesalahan di baliknya. Mengapa salah? Karena kalau diteliti negeri Belanda memang tidak menjajah selama itu. Alih-alih sudah diyakini kebenarannya, informasi tersebut nyatanya sekadar materi retorika Bung Karno yang dibuat dengan tujuan mengobarkan semangat bangsa Indonesia. Konten kreator, Guru Gembul lengkap mengupas itu di videonya.
Jika mengacu pada definisi Durkheim tentang kesadaran kolektif, yakni kepercayaan dan perasaan bersama, maka yang dimaui temanku tadi untuk membangun kesadaran kolektif di tengah iklim individualistik jalannya justru lewat ketidaksadaran, lewat mitos-mitos yang disusupkan ke dalam lapisan bawah sadar masyarakat. Terlebih sampai saat ini masyarakat negeri ini masih banyak yang erat dengan- meminjam kata Harari- tatanan khayalan.
Kondisi tersebut menurutku ada baik dan buruk di setiap sisinya. Aku singgung baiknya saja, karena yang buruk-buruk di luar diri sendiri biasanya kita pasti lebih gampang melihatnya. Oke, misal saja di sisi kebudayaan hal itu baik karena menjadi salah satu faktor yang memperkuat kearifan lokal, di era kapital ini tentu hal demikian jadi "barang jualan" tersendiri. Dan paling penting di sisi gerakan sosial yang mengupayakan "kesadaran kolektif" tadi, kondisi tersebut bisa sekali dimanfaatkan. Apa temanku sepakat? Pastilah tidak juga.
Comments
Post a Comment