Epistemologi

Sejujurnya aku tak pernah betul-betul paham--bahkan sampai sekarang--apa itu epistemologi sejak pertama kali mengenalnya di bangku kuliah. Eits, aku tidak pernah menjadi mahasiswa jurusan filsafat, di kampus dulu di jurusan Manajemen Pendidikan Islam aku hanya mendapat mata kuliah filsafat, tepatnya Filsafat Ilmu 2 SKS di semester pertama. Dan akan kuceritakan perkembangannya yang sangat pelan ini.

Bagaimana dulu dosenku menerangkan apa epistemologi dalam mata kuliah tersebut aku mengingatnya samar-samar, satu kalimat mungkin: bagaimana cara mendapatkan ilmu. Oke. Butuh delapan tahun rupanya sampai ada secercah cahaya yang menerangi pikiranku sehingga bisa melihat dengan jelas konsep epistemologi itu.

Berawal dari konten Debat Filsafat yang "iseng" dibikin oleh Ferry Irwandi. Sebagian orang menilai, "Ah, Ferry itu content creator dia butuh channelnya ramai, makanya cari kontroversi." Namun, tidak sedikit orang respect atas langkah yang dilakukan oleh Ferry. Menyambut dengan gegap-gempita. Menaruh harapan di pundaknya untuk kemajuan bangsa Indonesia. Walau ujung-ujungnya tidak sedikit dari mereka terjebak dalam fanatisme.

Kiki Siahaan dalam diskusi tersebut tidak sepakat penuh dengan Ferry, khususnya soal filsafat jadi mata kuliah dan mata pelajaran. Menurut Kiki cukup epistemologi dan logika saja yang diajarkan. Dan kebetulan dalam waktu berdekatan aku membaca buku Munir Che Anam, Muhammad SAW dan Karl Marx: tentang Masyarakat tanpa Kelas yang di dalamnya sekilas membahas epistemologi. Dua momen ini kemudian mendorongku mencari tahu lebih banyak.

Epistemologi Islam. Munir mengisi wawasan pembacanya dengan sedikit cuplikan tentang itu. Aku pun terngiang-ngiang ketika suatu waktu orang mengutarakan persoalan pola asuh anak. Dikatakan bahwa anak laki-laki dibiasakan untuk diberikan pilihan karena agar ketika dewasa dia akan mengambil keputusan dengan baik. Sementara anak perempuan dibiasakan untuk ditentukan oleh orang tua tentang pilihan-pilihannya. Lalu aku bertanya, jika demikian artinya perempuan tidak boleh memilih, dong? Ia pun bimbang dan menjawab, "agama yang bilang begitu." Padahal, dalam epistemologi Islam selain melalui teks agama (bayyani) ilmu dapat diperoleh dari akal pun data empirik.

Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang mempelajari tentang sumber dan validitas pengetahuan. Belakangan aku jadi mengumpulkan kepingan informasi dari Youtube. Pertama, Martin Suryajaya, dari dia aku menjadi punya fondasi wawasan tentang epistemologi. Bagaimana perjalanan epistemologi di dunia ini berdasar sejarah yang ada. Pengetahuan versi Rene Descartes sumbernya adalah rasio atau akal, logika adalah bagian dari ini. Kemudian setelahnya muncul empirisme yang menekankan pengetahuan adalah berasal dari pengalaman indrawi, melalui observasi atas sesuatu di luar diri manusia. Filsuf yang dikaitkan antara lain David Hume dan John Locke.

Waktu mendengar penjelasan Martin soal rasio dan empiris, aku tiba-tiba saja teringat ungkapan absurd yang dulu sering aku dengar yakni "duit setan". Awalnya aku mengira maksud dari "duit setan" adalah uang yang didapat dari cara yang sesat. Tapi ternyata itu adalah ungkapan yang menunjuk pada hitung-hitungan nominal di atas kertas untuk mencatat kondisi keuangan tertentu. Terlepas dari benar atau salah, pada akhirnya aku bisa menjelaskan fenomena tersebut dengan epistemologi. Bahwa angka-angka yang ditulis dan dihitung itu merupakan produk rasio. Sedangkan apa yang disebut "duit" itu berada pada tataran empiris. Begitu kurang lebih.

Kedua, aku pun menyimak materi panjang (yang saat ini aku masih tiba pada pengantarnya saja) Fahrudin Faiz tentang epistemologi. Ia membuka Ngaji Filsafat pada sesi tersebut dengan menyinggung bagaimana Plato dan Aristoteles mempengaruhi peradaban Islam dan Barat. Pikiran-pikiran Aristoteles lah yang diadopsi pemikir seperti Al Farabi sehingga Islam pada masanya mengalami kejayaan. Meski panjang materi itu, aku tertarik untuk menyimak keseluruhannya. Semoga terealisasi.

Comments

Popular posts from this blog

Jose

Purwokerto

Mimpi