Perpusda

Sejak bulan Juli tahun ini baru sekarang aku menulis lagi. Namun dari situ aku dapat menyadari, produktivitas menulisku dipengaruhi aktivitasku membaca. Tiga minggu di bulan Juli tidak sehalaman pun bacaan aku eja. Buku-buku yang mempesona di rak tidak berhasil menarik tanganku untuk mengambilnya. Padahal sebenarnya ingin membuka salah satu di antaranya yakni 'Sejarah Indonesia Modern' (M.C. Ricklefs).

Ya, sejak membaca novel yang di dalamnya dimasukkan kepingan-kepingan sejarah seperti 'Natisha' dan 'Medulla Sinculasis' aku menjadi tertarik membaca tentang peristiwa-peristiwa lampau khususnya yang terjadi di Indonesia. Aku ingat di tahun 2018 waktu aku mengikuti sebuah pelatihan jurnalistik pernah ditanya bacaan-bacaan apa yang kusuka? Ia yang bertanya mencoba memberi pilihan jawaban: "sejarah?" Aku melihat ke dalam diriku waktu itu kemudian menjawab iya tapi tidak terlalu.

Minggu ini baru aku membaca lagi. Dua buku, dan seperti biasa, tidak membaca keseluruhannya. Pertama, aku pinjam dari Sandekolo judulnya 'Muhammad SAW & Karl Marx: Tentang Masyarakat Tanpa Kelas' (Munir Che Anam). Keesokan harinya setelah dari Sandekolo aku pergi ke Perpusda Kajen-- setelah sekian tahun tidak mengunjunginya. Aku membuat kartu anggota lagi dan membawa pulang buku pedoman menulis cerpen berjudul 'Aliran-Jenis Cerita Pendek' yang ditulis Korrie Layun Rampan.

Seingatku, terakhir ke sana waktu aku sedang dalam proses menyusun proposal skripsi (yang tidak rampung itu). Namun, yang sangat melekat dalam benakku ialah momen perdana aku menjadi mahasiswa. Aku senang mengenangnya. Kalau aku ceritakan semua romantismenya pasti lebih banyak di sini yang aku tulis, namun aku ingin mengatakan saja bagaimana dulu aku sering bolak-balik ke perpustakaan, meminjam buku untuk keperluan menulis makalah, di samping itu juga sekadar untuk memuaskan hasrat curiosity dalam pikiran.

Bangunan perpus itu baru. Meja dan kursi pun baru. Namun, suasana terlihat usang. Di lain hal aku senang ketika suatu tempat yang pernah aku singgahi di waktu lampau masih sama suasananya saat aku datangi lagi sekarang. Tapi untuk perpustakaan ini aku merasa sebaliknya. Harusnya ada yang berubah. Ruangan di mana buku-buku itu bertengger tidak ada bedanya dengan dulu, masih seperti "goa". Aku membandingkan dengan ruangan yang sama-sama diisi buku, di Gramedia.

Perpustakaan yang dikelola pemerintah Kabupaten Pekalongan itu dari luar kelihatan megah, namun setidaknya waktu kemarin aku masuk, di dalamnya seperti lorong sunyi. Bukan arti sunyi tanpa kebisingan, karena memang wajar di dalam perpus tidak boleh berbicara keras-keras dll, hal itu mengganggu konsentrasi orang lain yang sedang fokus membaca. Akan tetapi, sunyi yang kumaksud adalah sepinya gairah menangkap pengetahun lewat buku.

Di sisi lain ada sesuatu yang bagus disediakan oleh perpustakaan tersebut. Setidaknya ada jalur disabilitias di sisi belakang sebagai pengganti tangga untuk dipakai menuju lantai 2 di mana ruangan utama berada. Lalu, untuk mencari buku apa yang mau kita baca sudah dipermudah dengan database di komputer. Pengunjung bisa ketik dan browse sendiri di komputer yang disediakan di meja resepsionis. Tapi pengalamanku minggu lalu memakai sarana tersebut tidak membuahkan hasil. Buku yang aku mau tidak kutemukan di rak sesuai petunjuk database.

Comments

Popular posts from this blog

Jose

Purwokerto

Mimpi