Inisiatif Berujung Eksesif
Sore tadi aku baru saja men-servis-kan motor di sebuah bengkel dekat pasar Kedungwuni, bengkel nomor 2 dalam option list pribadiku setelah bengkel punya Pak Eko, teman kuliah. Di sana ada dua montir yang familiar bagiku, keduanya jenaka. Di tengah-tengah mereka memasang baut atau melepas komponen sepeda motor mereka bernyanyi bersautan. Aku tidak tahu apa yang mendorong mereka bernyanyi spontan seperti itu. Kalau alasan suka atau hobi tentu rata-rata orang suka atau hobi bernyanyi, terlepas dari kualitas suaranya.
Namun aku sendiri berasumsi, bahwa dalam pikiran mereka ada satu pressure yang mendorong mulut meracau dengan lagu. Mungkin suatu saat harus kupastikan itu. Karena tadi ada seorang kustomer yang komplain atas pekerjaan satu di antara montir tersebut yang membuat paling tidak dua kali ia disalahkan oleh dua orang berbeda dalam satu masalah yang sama (pertama oleh kustomer kedua oleh bosnya), ditambah teman duetnya bukannya memberi support justru mencoba jadi pahlawan dengan mengatakan "tadi aku sudah bilang untuk tidak melakukan itu" di depan bosnya.
Selepas dakwaan rampung diujarkan, montir itu menepi memilih makan gorengan yang teronggok di sebelahku, di bangku besi ia duduk sambil menanggung kesal dalam hatinya dan ia kemudian bernyanyi. Di sini pasti nyanyian itu adalah output dari pressure yang menimpanya baru saja.
Permasalahannya itu berawal dari seorang laki-laki yang membawa motor Scoopy untuk diperbaiki tuas gas dan body bagian depannya. Untuk tuas gas sudah oke. Untuk body depan sebenarnya sudah baik, tapi tidak bagus menurut si kustomer. Semula bagian yang terbuat dari plastik itu tidak terpasang dengan rekat. Kustomer minta agar diperbaiki. Bekerjalah si montir sesuai permintaan kustomer. Dengan kreativitasnya ia menggunakan lem untuk merekatkan plastik-plastik warna silver itu.
Lelaki kustomer meninggalkan bengkel dan ketika kembali mendapati motornya dengan kondisi body depannya sebagaimana hasil kreativitas si montir. Lantas ia menceramahi si montir berulang-ulang dengan dalil estetika bahwa hasil pengeleman itu kasar. Tidak cukup satu, dari dalam keluarlah kokoh-kokoh gemuk menambahkan ceramah dengan dalil etika bahwa seharusnya si montir bilang dulu ke kustomer sebelum mengeksekusi. Sudah, dari situ diketok palu si montir bersalah. Hanya satu pembelaannya yaitu sebagai montir dan sebagai seorang pekerja ia punya inisiatif.
Comments
Post a Comment