Posts

Sedikit Kaget

Beberapa kawan penggerak Komunitas GUSDURian Pekalongan--paling tidak yang sudah masuk di grup WA--Kamis kemarin (13 Februari) tidak ikut meramaikan Haul Gus Dur ke-15 yang diadakan UIN KH Abdurrahman Wahid. Di antara kawan tersebut ada dua yang alumni kampus itu. Aku tidak tahu persis alasan mereka apa. Tentu bisa bermacam-macam, bisa jadi karena jarak dari rumah ke sana yang jauh. Namun, jarak tidak akan jadi penghalang kalau ada semangat yang tinggi. Bisa jadi juga alasan berikut ini. Dari apa yang telah aku pahami selama bergumul dengan pikiran kedua orang kawan tersebut, seperti ada sesuatu yang selalu menahan langkah mereka untuk hadir dalam aktivitas GUSDURian di kampusnya sendiri itu. Sekali lagi, sekadar bisa jadi, bisa jadi ada pengalaman tidak elok yang mereka rasakan selama menjadi aktivis mahasiswa dulu. Idealisme mereka tidak menemukan kecocokan terhadap kampus sebagai institusi. Entah. Sedang aku yang tidak berasal dari sana kadang merasa sebagai orang asing. Beruntung d...

Jose

Lima hari yang lalu aku "bertemu" dengan Jose. Nama yang unik aku pikir. Dia tinggal di Purwokerto. Dari percakapan lewat tulisan aku dapat menerka seperti apa sifatnya. Menyenangkan, terbuka, dewasa, dan satu lagi, aku menerkanya dari postingan instagram; Jose itu perempuan yang royal. Benar atau salah aku tidak tahu. Karena ini sebatas penilaian dini. Tapi misal benar, semoga yang terakhir itu ngga banyak ya, Jose. Hehehe. Meski jujur aku tidak masalah dengan sifat royal itu. Bahkan di sisi khusus aku menyukai. Semisal: entah akan terjadi atau tidak, entah bagaimana caranya, aku ingin mempunyai mobil pribadi . Aku sering membayangkan pergi bersama istriku kelak dengan mobil. Tentu tidak selalu. Kami juga akan punya sepeda motor untuk pergi ke tempat yang tidak begitu jauh atau ketika mobil kami sedang saatnya tidak dipakai. Dan sebagai orang yang peduli dengan kelestarian alam kami juga harus punya sepeda. Tapi, aku bercermin melihat kembali diriku sekarang. Berapa banyak...

Datang di Perayaan Imlek

Aku datang ke acara perayaan Imlek di klenteng Poan Thian, tepatnya di hari kelima belas tahun ular ini. Baru pertama kali ini seumur hidup. Meriah sekali dan sangat mengesankan. Tidak sembarang fase hidup dapat menjadi dorongan untuk aku datang ke event tahunan tersebut. Aku di lima tahun ke belakang belum tentu sesemangat Rabu malam kemarin untuk melangkah menyusuri jalan Binagriya hingga jalan Belimbing. Di fase ini, secara pemikiran aku sedang condong kepada Gus Dur bersama dengan GUSDURian dan segala ruang lingkupnya. Seperti kita tahu Gus Dur dikenal sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. Sehingga aku sebagai GUSDURian sangat tertarik ketika temanku menghubungiku untuk menyusulnya ke klenteng. Kebetulan temanku kerja untuk orang cindo. Seorang rekan kerjanya yang selalu bersama dia pun seorang kokoh-kokoh. Belakangan aku akrab dengan si kokohnya. Stigma orang sini terhadap cindo adalah mereka orangnya kaya-kaya. Padahal tidak semuanya. Contohnya si kokoh ini. Tapi, meskipun hanya seba...

Rasa Memiliki

Seakan memikirkan (baca: peduli) tapi sebenarnya tidak. Khususnya dalam masalah jodoh. Menurutnya ia peduli denganku yang belum menikah. Namun, ia katakan "Kalau bisa (menikah dengan) orang sini". Maksudnya, perempuan domisili setempat. Aku merasa ada ego dari kalimat tadi, yang tak disadarinya. Oke, itu bukan paksaan. Tapi sebagai seorang anak akan berpikir seribu kali untuk tidak mengupayakan "kalau bisa..." itu. Bahwa seorang anak dianggap miliknya dan selamanya harus miliknya. Satu sisi boleh dimaklumi. Ini mungkin dikarenakan tipisnya (atau tidak ada?) prinsip pembebasan yang mengiringi perjalanan hidup sedari mula. Jika memang nilai yang diyakini masyarakat tradisional adalah nilai agama, maka seharusnya orang tua tidak merasa memiliki secara berlebihan terhadap anak. Hal ini ada dalam ajaran agama (Islam) melalui Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail. Apakah para orang tua tidak menyerap hikmah dari kisah kedua Nabi tersebut yang mengikis habis rasa memiliki? ...

Ganti HP juga. Huufth

Sebenarnya tulisan ini mau aku tulis di bulan Januari, tapi berhubung tidak terkejar karena ada aktivitas lain jadilah di bulan Februari tepatnya setelah 1 jam meninggalkan bulan pertama tahun 2025 itu. Omong2 kata 'terkejar' ini sering aku pakai di kerjaan pas ada satu pekerjaan yang gagal terselesaikan tepat waktu. Tapi tentu saja di kirinya ada kata 'tidak'. Seperti di tahun kemarin banyak yang tidak terkejar dan entah mengapa selalu berulang begitu tiap tahunnya. Aku ingin mencatatkan satu hal yang bagiku bersejarah--meskipun bagi beberapa orang ini sesuatu yang "receh". AKU GANTI HP! Pada akhirnya aku bisa memakai HP yang cukup cepat dan punya banyak ruang penyimpanan. Sehingga aku tidak menunggu lama waktu login aplikasi mobile banking. Loading tampilannya wus wus. Juga saat membuka story Instagram tidak 'layar hitam' dulu baru tampil fotonya. Dan yang jelas tidak 'bongkar-pasang' aplikasi seperti sebelumnya.  Aku ganti HP gara2 HP lamaku...

Multitasking

Jadi, hari Minggu kemarin itu kami- lebih tepatnya saya- menggelar acara Memperingati Haul Gus Dur ke-15. Kami, artinya saya dan teman-teman Komunitas GUSDURian (KGD), bersama-sama menyukseskan acara tersebut. Sedangkan saya sendiri di sini dengan nekat menarik gas agar acara ini berjalan, tanpa memakai susunan kepanitiaan. Walhasil sangat repot. Dari persiapannya bahkan sampai pas acara. Bayangkan, satu orang merangkap peran jadi MC, pemandu lagu Indonesia Raya, plus moderator! Bagi saya tidak masalah karena syukurnya saya sudah terbiasa dengan format standar acara seperti apa. Tapi bagi audien saya yakin- meskipun tidak diungkapkan- mereka melihatnya agak aneh. Namun terus terang saya tidak menghendaki hal demikian. Secara keseluruhan dari persiapan sampai acara selesai saya ingin ada bagi peran. Lalu mengapa sampai terjadi? Pertama, saya geram dengan teman-teman KGD yang sepertinya terbawa kultur organisasi yang instruktif di satu sisi, dan kurang bergairah dalam mewujudkan gerakan-...

Tulisan Ini Terinspirasi dari Diskusi Bersama Mahasiswa KKN

Saya menulis ini karena sedikit dipengaruhi diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang sedang menjalani KKN di sebuah desa dengan fokus program memberdayakan masjid. Memberdayakan masjid ada banyak cara atau hal yang dilakukan. Tapi yang dimaksud di sini (baca: arahan kampus) adalah yang berkaitan dengan studi kawan-kawan mahasiswa itu yakni manajemen dan ekonomi syariah. Hanya saja, setelah dijelaskan tentang tujuan KKN mereka yang demikian adanya (setidaknya yang mereka pahami), saya memiliki pandangan lain. Terlepas dari ini tepat atau tidak. Bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual atau cendekiawan. Sedangkan masyarakat di kampung kebanyakan merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan: tradisional, kedua agama. Tanpa disokong pengetahuan yang ilmiah. Itulah subjek dari pengabdian mahasiswa di dalam KKN otomatis program-programnya. Artinya, mahasiswa diturunkan di sana untuk melengkapi pengetahuan masyarakat dengan keilmiahan. Agaknya kacamata Prof. Kuntowijoyo dapat dipakai ...