Rasa Memiliki
Seakan memikirkan (baca: peduli) tapi sebenarnya tidak. Khususnya dalam masalah jodoh. Menurutnya ia peduli denganku yang belum menikah. Namun, ia katakan "Kalau bisa (menikah dengan) orang sini". Maksudnya, perempuan domisili setempat.
Aku merasa ada ego dari kalimat tadi, yang tak disadarinya. Oke, itu bukan paksaan. Tapi sebagai seorang anak akan berpikir seribu kali untuk tidak mengupayakan "kalau bisa..." itu. Bahwa seorang anak dianggap miliknya dan selamanya harus miliknya. Satu sisi boleh dimaklumi. Ini mungkin dikarenakan tipisnya (atau tidak ada?) prinsip pembebasan yang mengiringi perjalanan hidup sedari mula.
Jika memang nilai yang diyakini masyarakat tradisional adalah nilai agama, maka seharusnya orang tua tidak merasa memiliki secara berlebihan terhadap anak. Hal ini ada dalam ajaran agama (Islam) melalui Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail. Apakah para orang tua tidak menyerap hikmah dari kisah kedua Nabi tersebut yang mengikis habis rasa memiliki? Ataukah memang tidak ada penekanan dalam hal tersebut oleh penceramah di kampung?
Perihal rasa memiliki, itu baik. Misal rasa memiliki atas identitas nasional. Dan aku kira tidak dengan rasa memiliki yang dipaparkan di awal. Karena ada konsekuensi yang harus ditanggung jika tetap dipertahankan. Tanpa disadari ini berpengaruh pada kepribadian anak. Si anak akan merasa terkekang khususnya pikirannya. Beruntung kalau perasaan terkekang itu hanya berhenti di dalam rumah.
Celakanya ketika si anak berada di lingkungan lain dengan memikul perasaan serupa. Dalam pekerjaan misal. Ia akan takut melakukan sesuatu. Dalam arti ia sebenarnya tahu bagaimana memecahkan suatu masalah, tetapi takut mengambil keputusan. Tamat, satu pemimpin gagal tercipta.
Comments
Post a Comment