Tulisan Ini Terinspirasi dari Diskusi Bersama Mahasiswa KKN
Saya menulis ini karena sedikit dipengaruhi diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang sedang menjalani KKN di sebuah desa dengan fokus program memberdayakan masjid.
Memberdayakan masjid ada banyak cara atau hal yang dilakukan. Tapi yang dimaksud di sini (baca: arahan kampus) adalah yang berkaitan dengan studi kawan-kawan mahasiswa itu yakni manajemen dan ekonomi syariah.
Hanya saja, setelah dijelaskan tentang tujuan KKN mereka yang demikian adanya (setidaknya yang mereka pahami), saya memiliki pandangan lain. Terlepas dari ini tepat atau tidak. Bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual atau cendekiawan. Sedangkan masyarakat di kampung kebanyakan merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan: tradisional, kedua agama. Tanpa disokong pengetahuan yang ilmiah.
Itulah subjek dari pengabdian mahasiswa di dalam KKN otomatis program-programnya. Artinya, mahasiswa diturunkan di sana untuk melengkapi pengetahuan masyarakat dengan keilmiahan. Agaknya kacamata Prof. Kuntowijoyo dapat dipakai untuk melihat ini. Ia membahas dalam esainya Peranan Cendekiawan Muslim.
Manajemen yang Rasional
Di dalam suatu desa pasti terdapat kelompok atau ormas keagamaan yang hidup dan berpengaruh bagi masyarakat. Ketika di sana Islam yang menjadi agama mayoritas atau satu-satunya agama yang dianut masyarakat, maka di situ ormas memiliki tujuan ukhuwah islamiyyah.
Ukhuwah Islamiyyah yang mewujud pada kelompok atau organisasi Islam jelas sangat perlu untuk memperkuat persaudaraan antar unsur di dalamnya. Tidak hanya persaudaraan, di sana juga digalakan langkah-langkah sosial yang bermanfaat bagi internal kelompok tersebut pun eksternalnya. Ormas A melakukan itu, ormas B dan seterusnya, juga melakukannya. Tapi, apa iya ketika ada permasalahan masyarakat luas mesti sendiri-sendiri mencari penyelesaiannya?
Sebagai misal industrialisasi yang sudah berjalan lama dengan tebaran dampak-dampaknya di mana-mana. Mulai dari persoalan ketenagakerjaan yang tidak menguntungkan bagi masyarakat, sampai persolan agraria yang memunculkan ketidakadilan, belum lagi dampak terhadap lingkungan. Tapi ormas-ormas Islam masih berkutat pada persaingan antar satu dengan lainnya. Energi yang seharusnya dapat dipakai untuk mengupayakan langkah secara kolektif habis dikuras untuk mempersoalkan hal-hal yang bahkan tidak bisa ketemu titik selesainya karena memang itu sebuah perbedaan.
Prof. Kuntowijoyo dalam hal ini memberi masukan lewat peran cendekiawan muslim di tengah masyarakat--atau Prof. Kuntowijoyo menyebut dalam tulisannya sebagai umat--yakni manajamenen yang rasional.
Hal ini dikarenakan umat Islam cenderung mengikuti kesadaran hatinya daripada kesadaran akalnya. Manajemen yang rasional berarti kesediaan melepaskan kepentingan golongannya--betapapun mulianya--untuk kepentingan umat.
Pasti membingungkan jika dibaca dan disandingkan dengan masyarakat desa yang seluruhnya terdiri dari satu ormas. Mungkin muncul pertanyaan: untuk apa menarik-narik ormas lain dari luar?
Saya kira tidak harus secara langsung menarik ormasnya ke dalam desa tersebut. Pemikiran-pemikirannya saja kenapa tidak? Artinya, suatu masyarakat atau suatu ormas tidak harus mengisolir diri dari pengaruh luar selagi itu bisa melengkapi kekurangan yang ada.
Namun demikian, Prof. Kuntowijoyo juga mengingatkan bahwa belum tentu peranan itu akan diterima oleh organisasi. Yang mana telah hidup di tengah masyarakat begitu lama dan menanamkan pengaruhnya. Oleh karenanya cendekiawan muslim mesti konsisten serta ikhlas.
Membantu Umat dalam Intelectual War
Karakteristik manusia modern tidak sama dengan manusia era sebelumnya yang dapat melakukan amaliah dalam lingkup agama tanpa meminta alasan kenapa itu perlu dilakukan. Manusia dulu tidak perlu penjelasan dari tokoh agama kecuali bagaimana cara melakukan amaliah tersebut.
Sebab kondisi suatu kelompok/umat dahulu jauh lebih tertutup. Sekarang bermacam informasi datang dari mana pun tempat. Gagasan yang asing sekalipun bisa masuk ke dalam pikiran seseorang. Ini keuntungan sekaligus tantangan. Karena tidak semua pengaruh itu baik.
Di tengah kondisi tersebut agama diikuti tuntutan yang lebih besar. Segala amaliah perlu diilmiahkan. Perlu dijelaskan mengapa itu perlu dilakukan? Apa keterkaitannya dengan kehidupan sehari-hari? Apakah bisa menjawab persoalan yang ada?
"Produk" agama yang telah diterapkan pun berpotensi menerima serangan-serangan yang bisa melemahkan kedudukannya dalam masyarakat. Di sinilah peran cendekiawan muslim untuk membentengi dengan argumen-argumen yang ilmiah.
Masih banyak wawasan yang bisa diperoleh tentang hal terkait apabila membaca esai-esai lain Prof. Kuntowijoyo dalam satu buku berjudul Muslim tanpa Masjid (2018). Tulisan ini sendiri semoga sedikit-banyak dapat menjadi referensi. Setidaknya jika tidak dapat diterapkan saat ini dalam KKN karena keterbatasan waktu, apa yang tertulis di sini dapat memberi secercah cahaya pengetahuan untuk kawan-kawan mahasiswa.
Comments
Post a Comment