Posts

Tulisan Ini Terinspirasi dari Diskusi Bersama Mahasiswa KKN

Saya menulis ini karena sedikit dipengaruhi diskusi dengan kawan-kawan mahasiswa yang sedang menjalani KKN di sebuah desa dengan fokus program memberdayakan masjid. Memberdayakan masjid ada banyak cara atau hal yang dilakukan. Tapi yang dimaksud di sini (baca: arahan kampus) adalah yang berkaitan dengan studi kawan-kawan mahasiswa itu yakni manajemen dan ekonomi syariah. Hanya saja, setelah dijelaskan tentang tujuan KKN mereka yang demikian adanya (setidaknya yang mereka pahami), saya memiliki pandangan lain. Terlepas dari ini tepat atau tidak. Bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual atau cendekiawan. Sedangkan masyarakat di kampung kebanyakan merupakan masyarakat yang memiliki pengetahuan: tradisional, kedua agama. Tanpa disokong pengetahuan yang ilmiah. Itulah subjek dari pengabdian mahasiswa di dalam KKN otomatis program-programnya. Artinya, mahasiswa diturunkan di sana untuk melengkapi pengetahuan masyarakat dengan keilmiahan. Agaknya kacamata Prof. Kuntowijoyo dapat dipakai ...

Aku Korban, Aku juga Pelaku

Bahkan dalam perkara asmara pun kita ditahan untuk merasa paling mulia. Kalau pernah membaca buku Mark Manson, pasti pernah menemukan "sentilan" bahwa terkadang kita merasa istimewa karena pertama kita mengalami penderitaan. Seakan penderitaan itu adalah paling berat di antara yang lain; atau kedua kita merasa hebat lalu kita berhak diistemawakan. Ada sifat yang disebut ujub. Ujub ini ditandai dengan keadaan ketika orang telah merasa hebat karena melakukan kebaikan terus-menerus dan merasa telah menjadi manusia yang lebih baik daripada yang lain. Kembali pada perkara asmara. Tentu tidak hanya aku. Sebagian orang pernah mengalami patah hati. Merasa menderita karena ditinggal kekasih yang sangat dicintai. Namun aku tidak tahu apakah hal yang terjadi padaku berikut ini juga dialami orang lain. Perpisahan dengan pacar pertama membuat jiwaku sedikit terguncang. Lara hatinya cukup lama. Apalagi ditambah dengan melihat dia waktu itu sudah bersama yang lain tidak lama setelah k...

Kemanusiaan Itu...

Lewat perjalanan hari ini, perjalanan yang membawa pesan kemanusiaan, Tuhan menguji dengan membuat kita bertanya pada diri kita sendiri yang berbusa-busa membicarakan kemanusiaan. "Manusia mana yang kita perjuangkan?" Tuh, lihat. Di pinggir jalan seorang perempuan peminta-minta tua-renta-buta dibentak-bentak disuruh menyingkir dari belakang mobil oleh seorang laki-laki muda dan penuh daya. Lihatlah dengan kacamata kemanusiaanmu. Oke, sudah lihat? Tapi mana gerakanmu? Nol! Dengan suster kau baru saja berbincang tentang lingkungan. Eh, tunggu. Bukan sembarang isu lingkungan. Ini keadilan ekologis! Kelestarian lingkungan yang bukan semata-mata agar kita bisa menikmati sungai-sungai dan bermain di tengah arusnya, pepohonan yang asri dan pegunungan tempat memanjakan matamu, atau pantai untuk bertarian ditingkah gulungan ombak nan lembut. Tapi ekologi yang adil untuk rakyat negeri ini. Wah, bisa disangka kalimat-kalimat yang terlontar selangit tingginya. Di gereja-gereja seak...

Terima Kasih "Satu Bulan"

Satu sisi aku agak sinis dengan Bernadya bersama kesuksesannya di usianya yang masih 20 tahun. Tapi, sisi lain aku berterima kasih karena ada satu lagunya yang related banget dengan pengalamanku. Belum ada satu bulan Kuyakin masih ada sisa wangiku di bajumu Namun kau tampak baik saja Bahkan senyummu lebih lepas Sedang aku di sini hampir gila Judulnya "Satu Bulan". Lagu yang dalam pikiran mendorongku menghampiri kenangan 9 tahun lalu. Saat di mana pertama kali aku pacaran, punya seorang kekasih, tapi bertahan tidak ada satu tahun lamanya. Aku ingat ketika telah putus aku baru membeli HP baru dan langsung melemparkannya ke tembok. Setelah itu mematahkannya. Aku tersiksa karena percakapan kami di SMS tidak lagi seperti sebelumnya. Dia tidak membalas pesanku lagi. Memang masalah yang jadi debat kami adalah soal keseriusan hubungan. Sampai ujungnya dia memintaku yang waktu itu baru berusia 20 tahun untuk membawa keluargaku ke rumahnya. Tapi aku tidak bisa. Orang tuaku tidak membol...

Pesantren Itu Kyai-Santri

Kita pasti sering mendengar bahwa basis ormas NU adalah pesantren atau sebaliknya, pesantren menjadi basis massanya NU. Bahkan tidak hanya sampai di situ. PKB pun mengklaim partai NU dan secara tidak langsung mengklaim pesantren sebagai 'tempat' partai yang memang pada awalnya sebagai wadah aspirasi orang-orang yang tergabung dalam ormas NU. Akan tetapi, baik NU maupun PKB tidak patut atas 'kepemilikan' pesantren. Keduanya terpisah dari pesantren. Ini dilihat misalnya dari model hubungannya. Antara pesantren dan NU atau PKB berbeda sama sekali. Pesantren secara genuine adalah hubungan kiai-santri Sedangkan NU atau PKB adalah hubungan pimpinan-anggota.  Jadi, untuk PKB janganlah memanfaatkan para santri dan kyai untuk kepentingan kekuasaan dengan main klaim sesukanya. Sedangkan NU, adalah organisasi. Di Indonesia, organisasi muncul jauh setelah pesantren telah berkembang. Bersamaan dengan itu pola pendidikan sekolah yang terlembagakan sudah ada. Walaupun para pendirinya ...

Fase-Fase

Sudah berapa lama aku berada di komunitas GUSDURian? Dan bagaimana hingga sejauh ini? Coba deh kuurai. FASE I Sebelum Januari 2021. Mungkin terlalu lebar definisi waktunya. Tapi setidaknya Januari 2021 yang paling mudah aku ingat. Sebelum awal tahun tersebut aku yang saat itu masih berkeliaran di kampus, diundang salah satu senior PMII, organisasi yang aku ikuti sejak 2018 dan saat itu aku masih aktif di ranah komisariat (tingkat kepengurusan level kampus). Aku dan beberapa kawan yang hadir di kafe Quiclo Wonopringgo diajak untuk bergiat di GUSDURian. Waktu itu aku tidak tahu apakah itu organisasi atau komunitas atau apa? Aku menganggap itu seperti angin lalu saja. Sekadar hal yang baik saja. Kalau tidak salah waktu itu kami diarahkan untuk menjalin silaturahmi dengan tokoh-tokoh agama Kristen dan lainnya. Tentu saja akan ditemani seniorku. Akan tetapi hal yang sudah direncanakan tersebut tidak terlaksana. Sampai tiba pada pertemuan kedua di kafe 44 Trans, Kedungwuni. Pembica...

Kabar Terakhir

Image
  Tatapanku pada seberang jalan yang hening dari balik jendela ini menyematkan rindu di sela-sela dingin pagi. Rindu itu menyelinap ke dalam hati yang berserak puing-puing kenangan masa silam yang kini kurasakan amat kelam. "Dinda, tengah apa kau di sana?" ucapku lirih sekali agar tak terdengar oleh embun sekalipun. Ku tak mau rinduku ini sampai padanya. Biar hanya aku dan hatiku sendiri yang tahu. "Semoga bahagia selalu menyertaimu. Tanpa perlu kau mengetahuinya, aku masih menyimpanmu rapat di sebuah ruang di balik dada ini." Telaga di mataku nyaris tak mampu menahan luapan airnya. Air yang berkandungkan kesedihan, kepiluan, dan yang pasti: ganasnya rindu. ** Setahun lalu. Di pertengahan bulan Ramadhan. Bulan yang mana umat islam menunaikan kewajiban berpuasa yang dibebankan di dalamnya tanggung jawab besar. Sebab hanya Allah dan muslim itu sendiri yang tahu bagaimana kewajiban yang dijalani. Apakah sungguh ia melakukan, atau hanya sekadar kepura-puraan. Di masa i...