Posts

Bukankah Kita Masih Muda?

Agak susah merumuskan perasaan satu ini. Kondisinya: usia hampir 30 tahun dan lajang, melihat banyak kawan yang sudah menggendong anak. Di facebook story aku mendapati seorang kawan sudah punya dua momongan. Potretnya berempat, bersama istrinya juga. Aku bertanya-tanya pada diriku: lho, sudah bapak-bapak? Bukankah aku, juga kamu masih muda, kawan? Entah apa jawaban kawanku kalau pertanyaan itu dilempar padanya. Yang jelas dari apa yang terpampang, ia dan keluarganya bahagia. Aku yang lajang ini menanggapi dari sudutku sendiri bahwa ia dipaksa menjadi tua. Haha. Terang saja pandangan tersebut akan disangkalnya. Lagi. Di sepanjang jalan dukuh di mana masa kecilku sampai usia 19 tahun menapak. Rumah-rumah satu-dua telah berubah wajah. Juga anak-anak kecilnya tampak sangat asing, yang masih terbayang (mungkin juga masih menginginkan) anak-anak kecil itu adalah anak yang ketika aku kelas 5 merekalah kelas 2 nya. Dulu rasanya selisih 3 tahun sudah seakan terpaut jauh. Padahal sekarang yang l...

Reffaneda Tingkat Lanjut

Malam Rabu kemarin saya ikut manggung lagi bareng Reffaneda, grup musik yang berasal dari UKM Seni di kampusku. Walaupun sudah tidak lagi aktif di sana keterampilan main gitarku yang di bawah standar ini tetap dipakai. Itu karena kampusku itu kecil, mahasiswanya sedikit, tidak ada bibit-bibit gitaris baru. Kalaupun ada, pasti tidak difasilitasi. Sejauh ini aku membersamai penampilan setiap generasi Reffaneda. Khususnya vokalis, ya. Karena pergantian personilnya yang pasti di grup itu adalah vokalis. Juga pemain drum akustik (kajon). Gitaris kalau tidak aku ya dicarikan dari luar. Pemain organ dari dulu satu orang yang sama dan bukan dari mahasiswa kampusku. Sedangkan (mahasiswa) yang sekarang aktif di Reffaneda, atau yang kemarin mengisi di penampilan ada tiga orang: satu laki-laki dan dua perempuan. Ketiganya vokalis, dua merangkap MC (untuk acara tamu di pernikahan). Usianya masih sangat muda. Seorang vokalis perempuan memberi warna baru di situ. Ia memang berbakat jadi penyanyi. Khu...

Izul, Ferry, dan Habibie

Kalau Izul memiripkan wajahnya dengan Ferry Irwandi, maka saya tidak. Saya memiripkan Ferry Irwandi dengan B.J. Habibie. Izul pasti bertanya, kok bisa? Orde Baru- seperti saya dengar dari Emha Ainun Najib- banyak menggeser kata sehingga menjadi halus (eufimisme). Saya kira begitu pula ketika ICMI "beraksi" di tahun 90an. Melaui ICMI, lebih mengerucut lagi melalui B.J. Habibie, umat Islam hendak diatur supaya tidak memakai kata "perjuangan" tapi diganti dengan "pekerja". Karena "perjuangan" Islam dinilai ngeri. Di negara Timur Tengah yang masih berkutat dengan senjata kata itu cocok, tapi di Indonesia yang sudah memasuki era "pembangunan" pada waktu itu, yang dibutuhkan adalah keuletan, ketekunan, rajin. Oleh karenanya "perjuangan" Islam diganti dengan "pekerja" Islam. Belakangan, Ferry Irwandi lewat videonya menyampaikan bahwa negara ini masih banyak PR di berbagai sektor, lalu untuk apa bikin geger dengan RUU TNI? K...

Purwokerto

Purwokerto. Senang sekali rasanya karena akhirnya bisa mengunjungi "kota" itu. Cukup mengesankan parasnya. Tapi mungkin yang lebih menarik ialah karena dalam pikiranku sudah membentuk lebih dulu citra Purwokerto. Sebuah daerah yang sebenarnya secara administratif bukan kota. Purwokerto adalah bagian dari Kabupaten Banyumas. Hanya saja, hampir semua orang mengenalnya sebagai satu kota tersendiri. Sebab memang di situ banyak tempat "branded" dan dari situ pula lahir beberapa tokoh ternama. Aku ambil contoh saja, ada Wira Negara, seorang stand up comedian yang berasal dari Purwokerto. Pahlawan nasional ternama pun ada yang tertaut dengan Purwokerto, yaitu Jenderal Sudirman. Namun, hanya satu tempat yang aku kunjungi. Itu pun hanya sampai halaman depannya. Aku ke Keuskupan Purwokerto. Ya, selain curug, tempat itu yang paling menarik bagiku. Lalu, apa yang aku lakukan di sana? Sebelum itu, pertanyaannya adalah bersama siapa aku ke sana? Karena ini penting. Dan ini akan b...

Mau Beli Gitar Lagi

Aku mau beli gitar, dan bikin lagu lagi seperti dulu. Dulu, 2014 itu. Waktu jatuh cinta adalah makrokosmos itu sendiri. Duka-laranya jujur. Membentang jarak seribu mil antara hati dan birahi. Jelas beda dengan sekarang. Ngga tahu bakal gimana jadinya lirik lagu yang pasti bakal disusupi sastra profetik Kuntowijoyo, fragmen sosial Seno Gumira, beratnya filsafat-filsafat yang dinukil Goenawan Mohamad, dan barangkali juga satire khas Emha Ainun Najib. Atau yang lain aku tidak tahu. Pilihan progresi chordnya pun jangan sampai sama seperti dulu. Dengan dukungan tutorial Youtube yang sudah meluas, tentu bisa diusahakan bunyi-bunyi yang tidak standar. Namun, aku takut kalau-kalau nanti tercetus lirik yang semacam Pidi Baiq buat untuk lagu Sudah Jangan ke Jatinangor . Di masa jelang tiga dekade ini janganlah lagi ada air mata, baik dari perempuan atau laki-laki.

Menggali Informasi

Akhirnya berdua saja, aku dan satu orang teman sepakat bertemu di angkringannya Karin, gadis cantik yang tutur serta geriknya santun. Dari angkringan kami langsung menuju sekretariat GP Ansor Bligo. Di sana sudah ramai orang menunggu kedatangan kami. Sampai disuguh martabak segala. Jadi merepotkan. Sebagai orang yang masih sah sebagai kader Ansor-meskipun tidak aktif berkegiatan, aku tidak begitu berjarak dengan kawan-kawan di sana. Jadi, meskipun dikelilingi orang-orang baru, aku bisa bersikap cukup santai. Mula-mula aku memperkenalkan diri dan Komunitas GUSDURian. Lalu, kuutarakan maksud kedatangan kami yaitu pertama silaturami dan kedua memohon informasi terkait kondisi pengelolaan sampah di Desa Watusalam dari sudut pandang GP Ansor. Latar belakang mengapa aku "melirik" Watusalam adalah TPS yang sampahnya kian menggunung di kiri jalan setiap aku berangkat kerja. Aku penasaran sebenarnya apa yang menjadi problemnya? TPS tersebut adalah TPS3R yang awalnya difungsikan sekita...

Revolusioner vs Kesadaran Individual

Sekolah "Jagat" 30% tentang lingkungan, 70% tentang aktivisme. Demikian aku membuat prosentase muatan sebuah pelatihan yang diselenggarakan oleh Seknas Jaringan GUSDURian, Yogyakarta bulan lalu itu. Sempat aku membeli buku berjudul The Art of Listening karya Erich Fromm yang aku kira akan bisa memberikan pemahaman kepadaku bagaimana mendengarkan yang baik. Buku itu sampai sekarang tidak kembali setelah dipinjam temanku. Dan aku tidak menanyakannya karena pertama isinya susah dipahami. Kedua, karena tidak sesuai dengan harapanku di atas ketika membeli buku tersebut. Keinginanku memperoleh skill mendengarkan lalu tidak kukejar. Sampai ketika Sekolah Jagat digelar aku seperti mendapatkan sesuatu yang tertunda selama lima tahun. Teorinya disebut level of listening . Aku tidak akan membeberkannya di tulisan ini. Kalau memungkinkan bisa di tulisan lain. Karena aku ingin lebih menyinggung Sekolah Jagat dan keterkaitannya dengan apa yang aku alami sebelum dan sesudahnya. Baru saja t...