Izul, Ferry, dan Habibie
Kalau Izul memiripkan wajahnya dengan Ferry Irwandi, maka saya tidak. Saya memiripkan Ferry Irwandi dengan B.J. Habibie. Izul pasti bertanya, kok bisa?
Orde Baru- seperti saya dengar dari Emha Ainun Najib- banyak menggeser kata sehingga menjadi halus (eufimisme). Saya kira begitu pula ketika ICMI "beraksi" di tahun 90an. Melaui ICMI, lebih mengerucut lagi melalui B.J. Habibie, umat Islam hendak diatur supaya tidak memakai kata "perjuangan" tapi diganti dengan "pekerja". Karena "perjuangan" Islam dinilai ngeri.
Di negara Timur Tengah yang masih berkutat dengan senjata kata itu cocok, tapi di Indonesia yang sudah memasuki era "pembangunan" pada waktu itu, yang dibutuhkan adalah keuletan, ketekunan, rajin. Oleh karenanya "perjuangan" Islam diganti dengan "pekerja" Islam.
Belakangan, Ferry Irwandi lewat videonya menyampaikan bahwa negara ini masih banyak PR di berbagai sektor, lalu untuk apa bikin geger dengan RUU TNI? Kira-kira begitu.
Ferry ingin, sudahlah, jangan membuang-buang energi. Lebih baik energi rakyat (yang mungkin dipakai untuk protes serta demonstrasi) dan pemerintah (menghadapi massa yang turun ke jalan) dipakai untuk menuntaskan masalah-masalah bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dst.
Demonstrasi, unjuk rasa, aksi turun jalan menolak RUU TNI, adalah hal-hal yang pasti dianggap 'ngeri' oleh B.J. Habibie dan ICMI, dan tentu saja Rezim Orde Baru. Bagi mahasiswa misal, daripada demo mending kembali ke kampus, belajar dengan rajin. Bagi pekerja misal, mending kembali ke tempat kerjanya dan tingkatkan produktivitias. Mari, sama-sama membangun negara ini. Demikian ajakan pemerintah di zaman Orba dulu.
Dalam hal ini tentu saya tidak mengafiliasikan Ferry dengan rezim sebagaimana Habibie atau ICMI yang jelas kita sudah tahu sejarahnya, berada dalam bayangan Orba. Akan tetapi, di sini hanya ada kemiripan dalam semangatnya. Ferry dan Habibie sama-sama memikirkan kualitas sumber daya manusia bangsa ini. Hal yang bagus, bukan?
Comments
Post a Comment