Purwokerto

Purwokerto. Senang sekali rasanya karena akhirnya bisa mengunjungi "kota" itu. Cukup mengesankan parasnya. Tapi mungkin yang lebih menarik ialah karena dalam pikiranku sudah membentuk lebih dulu citra Purwokerto. Sebuah daerah yang sebenarnya secara administratif bukan kota. Purwokerto adalah bagian dari Kabupaten Banyumas. Hanya saja, hampir semua orang mengenalnya sebagai satu kota tersendiri. Sebab memang di situ banyak tempat "branded" dan dari situ pula lahir beberapa tokoh ternama. Aku ambil contoh saja, ada Wira Negara, seorang stand up comedian yang berasal dari Purwokerto. Pahlawan nasional ternama pun ada yang tertaut dengan Purwokerto, yaitu Jenderal Sudirman.

Namun, hanya satu tempat yang aku kunjungi. Itu pun hanya sampai halaman depannya. Aku ke Keuskupan Purwokerto. Ya, selain curug, tempat itu yang paling menarik bagiku. Lalu, apa yang aku lakukan di sana? Sebelum itu, pertanyaannya adalah bersama siapa aku ke sana? Karena ini penting. Dan ini akan berkait dengan hampir keseluruhan perjalananku ke Purwokerto.

Namanya Jose. Aku sudah menceritakan tentang dia di postingan sebelumnya. Kalau Purwokerto ibarat magnet, maka Jose yang memegangnya. Aku terhela menuju lokasi dua entitas itu. Dan tentu tubuhku tidak seketika berada di sana. Kalau demikian pasti aku tidak akan mendapatkan kesan pertama yang begitu buruk layaknya kemarin. Baik, akan kuceritakan.

Keberangkatan


Kemarin pagi aku begitu bersemangat. Bahkan malamnya mulai kusongsong untuk mempersiapkan untuk hari esok dengan pergi ke Jalan H. Agus Salim membeli lupis untuk kubawa ke Jose sebagai buah tangan dari Pekalongan. Sampai-sampai di setiap momen perjalanan berangkat itu aku mengambil foto dan video untuk nantinya bisa aku jadikan satu sebagai arsip kehidupan. Dari rumah aku belum makan pagi. Sehingga mampir di warung bubur ayam. Di sana aku mulai mengarahkan kamera HPku ke objek yang kuhendaki. Ya, meskipun tidak bagus hasilnya. Tapi tidak masalah, karena semangatku waktu itu menyala terang. Sebagaimana langit yang memayungi lajuku dan sepeda motor matic yang biasa dipakai adikku.

Objek kedua yang aku abadikan ialah penunjuk jalan yang terpancang di pertigaan menuju Jalan Pemuda, Pemalang yang menunjukkan arah ke Purwokerto. Mengapa? Karena semenjak kenal Jose setiap aku ke Pemalang plang warna hijau itu menarik perhatianku. "Ternyata Purwokerto sudah dekat, ya?" Demikian pikirku.

Awan berwarna terang tidak mengiringiku di dalam keseluruhan perjalanan. Tepatnya di Belik, dari jauh sudah terlihat awan hitam menghadang. Pengendara motor dari arah lawan berseliweran mengenakan jas hujan. Di situ aku masih berpikir positif bahwa hujan tidak akan deras. Aku pun bertanya ke Jose via chat, apakah di tempatnya hujan? Katanya tidak. Hanya langit mendung. Lalu, kulanjutkan lagi memacu kendaraanku. Sampai akhirnya aku memutuskan berhenti dan memakai jas hujan karena yang semula hanya gerimis tidak lama kemudian hujan mengguyur cukup deras. Dari sinilah semangatku mulai luntur.

Tengah Jalan


Awan tidak juga menunjukkan tingkah untuk menghentikan air turun ke Bumi pas aku telah tiba di wilayah Purbalingga. Di jalan raya Bobotsari, di sisi kanan-kiri berderet toko-toko bermacam merk. Aku melewati terminal bus Bobotsari di sisi kanan.Ada jalan memisahkan terminal dengan bangunan-bangunan di sebelahnya. Tanpa menengok Maps aku jalan lurus saja. Namun tidak jauh dari situ aku merasa ragu, apa benar ke sini arahnya? Ternyata salah. Aku putar balik. Waktu terbuang dan artinya aku secara tidak langsung memupuk hati Jose dengan kegusaran.  Dalam benakku masih terimaji suasana siang itu. Suram. Sarat pilu. Alienasi di antara bangunan-bangunan di sepanjang jalan.

Aku memasuki jalan pemisah terminal itu dan bertanya ke orang di warung sisi kiri. "Maaf, Pak, kalau ke sana arah Purwokertu bukan, ya?" Lega rasanya karena kembali ke jalur yang tepat.

Semangatku kembali pulih ketika aku sampai di masjid Mohamad Cheng Hoo. Aku senang karena selain berkunjung ke Keuskupan aku juga memang ingin menyambangi masjid yang bangunannya bergaya China ini. Aku sholat Dhuhur di situ. Setelah selesai aku makan siang dulu di depan masjid kemudian baru melanjutkan perjalanan. Hujan pun sudah reda. Suasana ramai--kontras dengan ketika di Bobotsari--dipancari cercah sinar matahari, membuatku berkata dalam hati: perjalanan ini menyenangkan.

Tiba di Purwokerto


Nyatanya tidak seperti yang aku pikirkan. Juga tidak sesuai dengan yang Maps perkirakan bahwa perjalanan dari Pekalongan ke Purwokerto di angka tiga jam-an. Jose pun kecewa dengan itu. Sampai--tepat--di depan rumah Jose, aku chat dan disuruh memfotokan. Tak lama aku untuk pertama kalinya melihat Jose tanpa dipisah layar gadget. Aku menyeru namanya untuk memastikan kalau itu benar dirinya. Tapi ia menyungkurkan pandangannya ke bawah dan ada hal yang muram di balik maskernya. Ia menghampiriku dan lekas duduk di belakangku. Kami berangkat ke tempat pertama, Keuskupan. Sepanjang jalan suaranya--kalau diwujudkan dalam penampakan benda--itu seperti kertas yang habis diremas. Kusut masai.

Aku benar-benar dicemberuti habis-habisan. Hingga ketika baru tiba di tempat kedua, Full Speed Ahead Coffee pun sikapnya masih sama dan cenderung memuncak. Aku tidak tahu harus bagaimana selain memohon maaf dan mencoba membalas sikapnya dengan santai. Kami pesan minum dan camilan. Setelah duduk ia bilang kalau ia lapar. "Ya sudah pesen aja," kataku. Setelah beberapa saat aku sedikit demi sedikit mengajaknya ngobrol. Syukur alhamdulillah ia beranjak dari cemberutnya. Ia cerita kalau pas di Keuskupan--Jose menunggu di luar pagar, sementara aku di dalam untuk sekadar bertanya-tanya ke Security dan meminta tolong padanya untuk memfotokanku di depan patung ikonnya Keuskupan, Jose tidak mau masuk karena tidak terbiasa ke sana--ia menangis. Aku jadi merasa bersalah mengajaknya ke Keuskupan.

Jam lima sore kami beranjak meninggalkan kafe. Jose kuantarkan pulang dan di belakangku kudengar ia tertawa tidak seperti pas berangkat. Di tengah obrolan kami ia juga sudah tertawa di sela cerita-ceritanya, yang membuatku menaruh penilaian kepada Jose kalau ia orang yang hebat.


Comments

Popular posts from this blog

Mimpi

Keusilan Hujan

Baskara dan Suicide Idea