Posts

Showing posts with the label Fiksi

Mahakarja #3 (Sebuah Cerpen)

Image
PUKUL 9 malam suasana telah sunyi lagi sepi. Di depan gedung kampus yang satu-satunya ini, aku terpikir untuk mengingat sekarang KKN* hari ke berapa. Dan ternyata sudah selesai. Empat puluh lima hari sudah aku memikirkan tentang KKN. Mulai dari merencanakan (kegagalan), mengadu malu, sampai rupiah 900 ribu yang tidak ada artinya. Empatpuluh lima hari itu pula yang telah terlewati tanpa ada satu tanda bahwa aku ini sedang KKN. Sampai dua minggu yang lalu dosen pendamping melakukan pantauan pada mahasiswa, dan aku cuma bisa melaporkan “aku tidak ngapa-ngapain”. Sedikit curhat ini. Bukan maksudku mengabaikan satu hal penting macam KKN. Hanya saja aku bukan tipe orang yang gampang menyesuaikan (dengan hal yang enggak aku banget ). Dan mengapa pula KKN mesti sendiri-sendiri di desa sendiri? Aku sudah terasing dari lingkungan sejak pertama tinggal di rumah sekarang. Ada yang bilang aku introvert; abai; aneh; dan aku yakin di sana ada yang mengatakan “pemalas”. Tidak salah kok. Pemalas lah

Nik 4: Ledakan (Sebuah Cerpen)

Image
H ari ini Nik berulang tahun. Besar atau kecil ia pasti merayakannya. Ia pasti tengah berbahagia sejak terbangun dari tidurnya yang tenang. Membuka kedua kelopak mata mellirik kalender, memastikan bahwa hari ini benar tanggal yang ia ingat dari semalam. Genap sekarang usia Nik 21 tahun. Sayang sekali aku orang yang anti perayaan ulang tahun. Seandainya tidak, aku membayangkan hadir menemuinya di suatu malam dengan sebuah kado berbungkus warna cerah, entah apa. Dan sebuah bucket berisi beraneka bunga warna-warni. Akan aku sampaikan dua benda istimewa itu satu per satu. “Di dalam kado ini tidak ada apa-apanya.” Nik pasti akan terkaget mendengarnya. Tersenyum. Atau sedikit meluapkan tawanya yang renyah. “Jangan pernah kau buka.” “Kenapa?” “Karena tidak ada isinya.” Setelah jawabanku berlalu, hening menyusul, aku mengatakan kepada Nik bahwa, “Tidak apa-apa kalau kamu memang penasaran. Semoga ada keajaiban. Ketika kamu membukanya akan muncul apa yang sedang kamu inginkan.” “K

Nik 3 : Modus Operandi (Sebuah Cerpen)

Image
R encana ini sudah pasti tak terpikirkan oleh siapapun. Tak aneh ketika aku pagi-pagi sekali telah memanasi sepeda motor kemudian mengeluarkannya dari dalam bagasi. Seperti biasa pula aku mengunci semua pintu. Hanya lelaki tua tetangga samping rumah yang matanya mengikuti gerakku mulai dari depan garasi sampai lenyap di tikungan. Anak-cucunya pasti belum sedikitpun meriapkan mata meski pagi akan segera habis. Pukul 05.00 aku meluncur menuju kediaman orang yang kubidik nyawanya. Dengan mengenakan helm cakil hitam, menyisakan kedua mata, jaket kulit sewarna capucino. Satu lagi yang paling inti dari semua ini; sarung tangan. Andai tanpa halangan yang berarti, perjalananku akan berlangsung sekitar 15 menitan dengan melewati alun-alun, pasar tradisional, dan pusat keramaian lain. Di pinggir pasar tanpa sengaja aku mendapati seorang wanita tua penjual bebuahan di sisi seberang. Kuperlambat laju sepeda motorku. Lantas berhenti. Sejenak aku terpaku kepadanya yang tengah menata dagangan

Nik 2: Artifisial (Sebuah Cerpen)

Image
" Mengapa hanya kepada wanita tertentu saja laki-laki bisa jatuh cinta?" "Karena makna..." tegasku pada sosok wanita di depanku. Ia terpanggil karena sebuah kesepian. Meski tidak ada seorang pun percaya adanya kecuali pemilik kesepian itu. Ia selalu berkenan mengonggokkan wujudnya di saat aku merindukan “ dia ” yang nyata. "Sebuah makna tidak senantiasa ada pada setiap tatapan mata, pada upaya pendalaman rasa, ia cenderung tidak disengaja. Bahkan tidak diingini , sekalipun itu membahagiakan," lanjutku. "Apakah kau tidak mengingini perasaanmu kepada Nik?" "Ketika seorang manusia dengan atau tanpa sengaja menyakitimu tapi hatimu tak tahu dengan kebencian yang mana harus menghukumnya, dialah cinta sedalam-dalamnya cinta. Itu yang aku yakini." Lanjutku menceritakan, "Sebelum ini aku pernah jatuh cinta. Usai patah hati untuk pertama kali, rasanya tak bisa aku jatuh cinta lagi pada siapapun. Namun sebab kecintaanku pa

Nik (Sebuah Cerpen)

Image
Bukan meniru, hanya terinspirasi oleh Fiersa, yang katanya menyembuhkan luka dengan "pergi". Namun, aku tidak sepenuhnya pergi. Setelah kemarin "ngalah", aku "ngaleh" sebentar untuk "ngamuk?"... Tidak. Terlalu dendamis yang satu ini. Padahal aku tidak sedikitpun membenci tanggapannya atas pernyataanku yang dengan lugu ungkapkan perasaan suka, membenci dirinya pun apalagi. Yang kulakukan adalah sebuah pekerjaan ikhlas dengan bayaran keindahan, bodohkah? Antara sedih dan bukan senang, melainkan sedikit bertekanan emosi ini. Telunjuk bersama ibu jariku mengait tangkai gelas berisi teh panas coklat kental. Usai lelah menertawakan kengenasan, dudukku segera beringsut dari bangku kayu membawa pergi segelas teh yang akhir-akhir ini rasanya lebih hambar dari air putih. Mungkin karena sejak pagi saja lamat rupa wajahmu sudah menyusup di dalam gumpalan kabut, Nik. Sehingga teras rumah ini kupikir bukan tempat yang tepat. Kemarin di kala gelap

Mahakarja #2 (Sebuah Cerpen)

Image
"Pak, kalau kampus tidak bisa membiayai lebih baik acara HUT tidak usah diadakan." Tangan rektor memukul meja dan berujar keras, "Kalau kamu tidak bisa menjalankan tugas sebagai ketua, mundurlah! Kampus masih bisa mengandalkan mahasiswa lain yang lebih baik darimu." Perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam panitia Hari Ulang Tahun (HUT) kampus keluar ruangan meninggalkan rektor dan beberapa dosen yang masih melanjutkan diskusi. Sedang Pak Untung menyusul langkah para mahasiswanya. "Dar, kamu harus maklum mengenai pendanaan kampus ini," kata Pak Untung sembari melangkah beriringan dengan Darwis dan di belakang tiga orang mahasiswa; Ery, Fera, dan Galang mengikuti. "Tapi saya tidak mau minta-minta Pak," Darwis meremasi tangannya. Emosinya masih bergejolak. "Minimal kampus bisa memberikan 50 persen, Pak," sahut Galang dari belakang. Pak Untung menoleh singkat. "Saya minta tolong kepada teman-teman mahasiswa khususnya