Nik 4: Ledakan (Sebuah Cerpen)
Hari ini Nik berulang tahun. Besar atau kecil ia pasti merayakannya. Ia pasti tengah berbahagia sejak terbangun dari tidurnya yang tenang. Membuka kedua kelopak mata mellirik kalender, memastikan bahwa hari ini benar tanggal yang ia ingat dari semalam.
Genap
sekarang usia Nik 21 tahun. Sayang sekali aku orang yang anti perayaan ulang
tahun. Seandainya tidak, aku membayangkan hadir menemuinya di suatu malam
dengan sebuah kado berbungkus warna cerah, entah apa. Dan sebuah bucket berisi
beraneka bunga warna-warni. Akan aku sampaikan dua benda istimewa itu satu per
satu.
“Di
dalam kado ini tidak ada apa-apanya.” Nik pasti akan terkaget mendengarnya.
Tersenyum. Atau sedikit meluapkan tawanya yang renyah.
“Jangan
pernah kau buka.”
“Kenapa?”
“Karena
tidak ada isinya.”
Setelah
jawabanku berlalu, hening menyusul, aku mengatakan kepada Nik bahwa, “Tidak
apa-apa kalau kamu memang penasaran. Semoga ada keajaiban. Ketika kamu
membukanya akan muncul apa yang sedang kamu inginkan.”
“Kalau
aku menginginkan sebuah rumah bagaimana?”
Dengan
kotak seukuran mailbox orange jaman dulu aku menjawab yakin meski masih sebatas
mungkin, “Bisa jadi ada.” Nik hanya tersenyum. Ia melirik sesuatu yang tengah
berada di tangan kananku.
“Ini
juga untukmu. Barangkali kamu suka.”
“Itu
apa?”
“Bunga,”
kataku terus terang, “aku memetiknya dari taman perasaan, sebab banyak sekali
di sana. Beraneka jenis yang tak satu pun aku tahu namanya tumbuh, dan wanginya
merebak. Telah sedemikian rupa dari empat tahun lalu waktu aku jatuh cinta
begitu hebatnya. Namun juga sempat mati. Dan kini entah mengapa bersemi lagi.”
Sebentar aku berhenti, untuk kalimat yang amat ingin kuungkap bahwa ialah sinar
yang memekarkan bunga-bunga itu.
***
Melihat
kotak yang dibawa Ustadz Imron aku semakin terbawa melayang pada bayang-bayang
gadis jelitaku yang sesekali mengenakan kacamata itu. Ya, namun yang ku bisa
hanyalah melambung di antara nyata terendah dan khayalan tertinggi. Sampai saat
ini tetap di sana jiwaku berada. Satu kemungkinan terdekat ialah tertarik
gravitasi dan tersungkur di atas nyata dengan beribu ujung kerikil lancip.
Sungguh sama sekali tak patut untuk diharap.
Kubandingkan
lebih baik di sini. Bersama teman-teman kampung yang semenjak setengah hari
tadi di matanya terpancar keyakinan yang tidak main-main. Keyakinan itu jika
kuibaratkan seperti anak kelinci yang belum mengenal banyak dedaunan--makanan
sehari-harinya, namun telah didatangi seekor kucing dan dibaginya seonggok ikan
hasil curian di rumah majikan yang tak mengakui ia sebagai piaraan. Tak perlu waktu
sangat lama lidah kelinci itu telah berhasil beradaptasi dengan ikan bawaan si
kucing. Bahkan semakin dikunyah semakin lahap ia menyantapnya.
Kupandangi
lekat satu-satu wajah mereka. Pada auranya terpancar yang menyala sekaligus
yang lain redup hingga akhirnya mati. Keberanian mereka telah menyerupai
tentara yang siap berjuang di medan perang. Geligi mereka saling beradu, saling
bergesek, seakan menggigit-gigit apa yang kini mereka anggap sebagai sesosok
musuh yang mungkin bertahun-tahun masih berupa tanda tanya di dalam pikiran
mereka.
Sedang
aku sendiri hanya lelaki muda yang tengah dirundung lara. Biasa, perihal
melankolia demikian apalagi biangnya kalau bukan asmara. Meski begitu jika tak
berhati-hati memegangnya maka hal serius bisa menimpa. Bukan tentang frustasi
atau depresi yang membuat hirau. Semua itu hanya pemantik. Sedangkan api akan
mewujud segera. Semula setinggi tiga senti. Kelamaan menjadi kebakaran yang
memberangus apapun di sekitarnya.
Aku
lelaki tak taat beragama. Bisa dibilang pembangkang kalau berurusan dengan
perintah dan larangan Tuhan. Berbeda dengan pemuda-pemuda di samping kananku.
Mereka tak luput dari ibadah di hari-harinya yang damai. Namun kupikir setelah
ini kata “damai” di kamus dan lingkungan kami akan berubah menjadi onar yang
tebal setelah berjam sebelum ini “jalan yang benar” telah tergarisbawahi.
“Jalan yang benar” tersebut adalah melaksanakan perintah Tuhan. Jihad fi
sabilillah.
Tiga
pemuda di sebelah kananku semuanya kukenal ‘alim. Terlebih mereka berkecimpung
di dunia “ngaji” ilmu agama. Satu di antaranya sempat “nyantri” di sebuah
pondok pesantren dengan kultur yang condong kepada dogma-dogma eksklusif. Dua
yang lain hanya belajar di kampung mereka tanpa ada pendalaman lebih lanjut.
Dan ketika diceramahi Ustadz Imron di depan kami, semua mengaku paham dengan
ayat-ayat seruan berjihad, dalam arti yang se-tekstual mungkin seperti apa yang
pernah dibaca lewat pengajian dan buku bacaan sejauh ini.
“Pemerintah
negara ini kafir,” tutur Ustadz Imron usai menaruhkan kotaknya di lantai.
“Sebagai umat Islam adalah wajib kalian memerangi orang-orang kafir...
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Itu sudah jelas tertulis di dalam
al-Qur’an.”
“Matinya
umat Islam dalam melawan orang-orang kafir itu syahid. Dan surga adalah imbalan
bagi para syuhada. Lalu apakah kalian hanya akan diam dan tidak melaksanakan
perintah-Nya?”
Siapa
yang tak menginginkan surga? Tiada satu pun. Termasuk yang tiada taat sekalipun
seperti aku ini. Tapi sungguh bukan itu yang lebih kuinginkan sekarang.
***
Tidak
sekonyong-konyong keberadaan kami di sepetak ruangan ini, di antara almari kayu
bercat coklat tua tempat menyimpan buku-buku, dan beberapa ornamen merekat di
setiap sisi dindingnya.
Kami
berempat teman karib. Berasal dari keluarga baik-baik di kampung nan religius. Di
sana setiap hari adzan berkumandang dari mushola peninggalan sesepuh kampung
yang juga telah mewariskan kepada keturunannya ilmu-ilmu agama untuk diteruskan
kepada masyarakat agar tetap terjaga suasana kampung dalam saputan syariat. Di
mushola itu pula pengajian digelar. Setiap hari tak pernah kosong. Dari usia
kanak hingga lanjut usia masing-masing telah terjadwal waktu ngaji.
Ilmu
yang diajarkan antara lain berkaitan dengan al-Qur’an dan Hadits. Namun
sebagaimana telah diketahui bahwa pelajaran yang ada didominasi oleh unsur
tekstual tanpa melibatkan pemikiran lebih jauh tentang apa yang ada di balik
teks-teks tersebut. Syahdan, kemarin di mushola kampung kedatangan Ustadz Imron
yang tampil amat bersahaja. Berjubah sederhana. Kepalanya digelung sorban.
Sebagaimana bayangan kami tentang orang-orang suci dari jazirah seperti apa
yang diceritakan oleh Ustadz Soleh dan potret-potret lukisan yang tertempel di
dinding rumahnya.
Namun
seusai angin siang mengembus kami berempat bersama Ustadz Imron di selasar
mushola, aku merasa ada suatu hal yang tak mampu diadaptasikan oleh nalarku.
Dari lisannya yang fasih ia tuturkan ayat-ayat yang tak pernah aku dengar,
sebab pengetahuanku hanya sampai pada juz amma, pun tidak khatam. Namun ketiga
temanku menyimaknya dalam. Hingga diajukan pertanyaan-pertanyaan sangkalan atas
nash-nash yang baru saja dilontarkan, ...
“Kami
menganut kyai kami. Kyai kami menganut ulama-ulama penerus Nabi.”
“Siapa
imam daripada kalian dan kyai kalian?”
“Tentu
saja yang tergabung dalam mazahib. Imam Hanafi, Imam Syafii, Imam Maliki, Imam
Hambali.”
“Keempat
Imam tersebut sepakat bahwa Imamah (Khilafah)
adalah wajib… Bacalah Al-Fiqh ‘ala
al-Madzâhib al-Arba’ah, Juz lima.”
“Kata
kyai kami jihad tidak harus dengan berperang?”
“Nabi
bersabda: Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada
imam/khalifah), maka ia mati jahiliah. Hadis riwayat Muslim,” imbuh
pria itu, “Lalu siapa yang lebih kalian percaya, Pak Kyai atau Nabi Muhammad
manusia yang ma’shum?”
***
Sejenak
usai Ustadz Imron membongkar kotak yang dibawanya dan menerangkan apa isinya
dan bagaimana aku dan ketiga temanku harus menjalankan “syariat” ini, kami
diantar menggunakan Kijang hitam ke medan jihad masing-masing. Aku yang pertama
kali diturunkan, di sebuah pasar dekat alun-alun kota aku harus meletakkan tas
berisi bahan peledak yang telah diracik sedemikian rapi lengkap dengan timer.
Sebagaimana pesan Ustadz Imron, kurang dari 30 menit tas ini harus sampai di
titik yang aman dari kecurigaan siapa pun.
Namun
aligator yang tersembunyi di bawah genangan yang tenang tetap mengincar
buruannya sendiri.
Tak
jadi soal Ustadz Imron menahan ponselku, karena temanku di sekitar sini tidak
pelit meminjami miliknya untuk aku mencari tahu di mana keberadaan lelaki yang
menghalangiku mendapatkan Nik.
[posisi
di mana sekarang?]
[masih
di luar kota, ada apa?]
Nik 1 https://merahmuzaki.blogspot.com/2020/05/nik-sebuah-cerpen.html?m=1
Nik 2 https://merahmuzaki.blogspot.com/2020/06/nik2artifisial.html?m=1
Nik 3 https://merahmuzaki.blogspot.com/2020/08/nik-3-modus-operandi.html?m=1
Comments
Post a Comment