Mahakarja #2 (Sebuah Cerpen)



"Pak, kalau kampus tidak bisa membiayai lebih baik acara HUT tidak usah diadakan."
Tangan rektor memukul meja dan berujar keras, "Kalau kamu tidak bisa menjalankan tugas sebagai ketua, mundurlah! Kampus masih bisa mengandalkan mahasiswa lain yang lebih baik darimu."

Perwakilan mahasiswa yang tergabung dalam panitia Hari Ulang Tahun (HUT) kampus keluar ruangan meninggalkan rektor dan beberapa dosen yang masih melanjutkan diskusi. Sedang Pak Untung menyusul langkah para mahasiswanya.
"Dar, kamu harus maklum mengenai pendanaan kampus ini," kata Pak Untung sembari melangkah beriringan dengan Darwis dan di belakang tiga orang mahasiswa; Ery, Fera, dan Galang mengikuti.
"Tapi saya tidak mau minta-minta Pak," Darwis meremasi tangannya. Emosinya masih bergejolak.
"Minimal kampus bisa memberikan 50 persen, Pak," sahut Galang dari belakang. Pak Untung menoleh singkat.
"Saya minta tolong kepada teman-teman mahasiswa khususnya yang jadi panitia... Kita berusaha." Dari nada bicaranya sekarang, Pak Untung nampak amat mengiba. "Nanti saya ikut membantu dalam pendanaan," sambungnya.

***

Semilir angin sesekali saja datang bersirkulasi di ruangan rapat mahasiswa. Tapi panas lebih lama singgah. Galang dan rata-rata mahasiswa sintal di ruangan yang tak luas-luas sekali ini agaknya seperti mandi keringat. Basah punggungnya membekas jelas di kain baju mereka. Teman-teman mereka yang perempuan memilih keluar mencari angin.
"Mereka sudah pada keluar tuh, Lang... katanya mau buka baju," singgung Darwis.
"Bentar..." Galang memeriksa keadaan. "Kayaknya sih aman." Jari-jarinya bergerilya melepaskan kancing baju mulai dari paling atas. Namun baru terlepas tiga kancing pintu terketuk. Ery tegak berdiri menebar luas pandangannya pada onggok-onggok daging basah dihujani panas yang menghantam dari banyak arah. 
"Ayo, teman-teman. Masuk," seru Ery pada teman-temannya yang tadi keluar.
Galang merengut. Upaya membebaskan panas di badannya gagal.
"Masih lama nggak Er mulai rapatnya?"
"Kita mulai sekarang aja. Yang lain kayaknya nggak bakal pada datang."
"Oke deh."

Ery memimpin rapat dan mengucap salam. Rapat pun dimulai. Meski tak ada yang tidak sambil mengusir gerah. Yang laki-laki mengibas kemeja, yang perempuan mengambil buku di tas mereka untuk mengipasi badan masing-masing.

"Langsung saja kita tentukan siapa ketuanya," ujar Ery.
"Waduh panas banget ini," Galang mengeluh.
"Makanya cepetan... siapa yang mau jadi ketua...? Atau kamu saja?"
"Setuju. Aku setuju Galang jadi ketua panitia," Darwis masuk memperkuat usulan.
"Apa alasannya?"
"Karena dia jago ngalah-ngalahin."
Seisi ruangan tertawa. Kecuali Galang sendiri memanyunkan bibir.
"Sudah. Kita voting aja daripada lama kepanasan di sini," himbau Ery.

Voting dikakukan. Hasilnya dari tujuh orang peserta rapat, dua orang memilih Galang, lima orang memilih Darwis. Namun Darwis menolak. Semua alasan ia sebutkan demi tidak menjadi ketua. Termasuk karena ia tidak punya pengalaman menjadi ketua.
"Masih banyak yang lain yang mampu dan ada pengalaman di organisasi. Masih ada Iwan, Rio, Setiaji, dan lain-lain. Mereka kemana?" ujar Darwis ketus.
"Yang ada di sini aja, Dar," Ery menanggapi.
Pintu terketuk tiga kali disusul salam. Pak Untung masuk. Semua merundukkan kepala mempersilakannya.
"Sudah dimulai dari tadi ya?"
"Baru saja, Pak. Baru mau menetukan ketuanya."
"Oh. Saya kira sudah ditentukan."
"Tadi kami memvoting Pak. Darwis yang terpilih."
"Oh begitu. Baguslah saya setuju."
"Tuh Dar.. Pak Untung aja setuju kamu yang jadi ketua."
"Tapi kan..." Darwis hendak berdalih lagi.
"Tidak apa-apa Dar... Kampus itu tempat mahasiswa belajar. Tidak hanya masalah kuliah. Tapi juga soal skill mengorganisir." Begitu nasihat Pak Untung. Hanya ia yang sangat peduli dengan mahasiswa meski bukan bagian kemahasiswaan di kampus ini. Pak untung ini orangnya sederhana, tidak banyak gaya, dan mau melebur ke dalam organisasi kampus di saat tidak ada pembina yang mau turun lapangan.

***

Seratus persen dimulainya dari nol. Semua unsur kepemimpinan Darwis pelajari dan memraktikannya langsung. Mulai dari mental sampai skill memimpin. Acara besar ini tergantung kepemimpinannya. Mau sukses atau hancur, Darwis yang akan jadi sorotan utama di “akhir kisah”.

Tersisa satu bulan lagi menuju peringatan HUT kampus. Rangkaian acara yang tengah dipersiapkan antara lain: bazar produk UMKM selama 2 hari, besoknya healthy cycling, malam harinya puncak acara, do'a bersama dan pegelaran seni. Cukup mewah. Dan pastinya tidak sedikit dana yang harus dikeluarkan. Sedangkan pemasukan tidak jelas dari mananya dan berapa nominalnya. Dalam kondisi yang seperti itu tak disangka malah terjadi pemborosan cukup berarti. Hampir 20 persen dari pemasukan sementara.

"Fer, banyak sekali pengeluaran buat dekorasi...?"
"Kak Ery yang minta, Kak." jawab Fera lirih dengan sapa tabiknya pada Darwis sebagai kakak tingkatnya.
"Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku, Fer?"
"Fera nggak tahu, Kak. Fera cuma ikutin kata Kak Ery." Fera tak berdaya. Matanya sudah berkaca-kaca. Lalu lekas dia pergi. Sementara Darwis tak menghiraukan, ia merasa masih tertimpa musibah, walaupun sebenarnya ingin mengatakan "tenang saja" kepada Fera yang pasti sekarang sedang menyembunyikan air mata bercucuran di pipinya.

Sore itu Darwis tersisa seorang diri di kampus. Badannya lemas. Di dalam sekretariat mahasiswa dia duduk mencangkung. Beberapa jenak kemudian ia merebah. Duduk lagi. Merabah lagi. Sampai tidak terasa di luar sudah gelap. Kepalanya hanya dipenuhi pertanyaan "bagaimana bisa?". Sampai lama-lama ia menyerah memikirkan itu. Dan tertidur.

***

Pukul 2 siang. Darwis menanti Ery. Ia pikir Ery lah kunci jawaban atas kegalauan yang menyiksanya semenjak kemarin. Jam itu kampus masih sepi mahasiswa. Namun Darwis akan selalu bersabar dan siap sedia di bangku kantin yang masih kosong dari dagangan pun pedagangnya. Ia melihati layar ponsel sembari jarinya lincah mengetikkan pesan.

Pesan masuk muncul di jendela chatting: [Sebentar lagi sampai. Aku ke situ sama Dini, anak manajemen]. Dua kalimat berisi 15 kata yang diketikkannya tadi ia hapus. Diganti dengan: [iya, aku tunggu di kantin]. Lalu kirim.

Pukul 02.03 siang. Sepeda motor matic berhenti di halaman kampus. Terlihat oleh Darwis seseorang melepas helmnya, turun dari sepeda motor. Dan ia tahu itu Galang.

Melihat Darwis duduk di kantin, Galang seperti diembus angin untuk tiba di depannya. Ia menyodorkan tangan sembari menyapa "Lagi apa sendirian di sini?". Darwis meraihnya. Galang duduk menyebelahi. Namun gaya duduknya berbeda. Ia tak lupa barusaja menunggangi sepeda motor. Sehingga satu kakinya melompati bangku panjang kantin.
"Nunggu Ery," Darwis menjawab lesu.
"Ery?"
"Iya."
"Tapi kok mukamu kayak nggak bahagia."
"Biasa... Lagi pusing."
"Mikirin acara HUT kampus?"
"Mungkin."
Galang menjeda obrolan. Tak lama berselang ia awali lagi. "Dar, aku kemarin denger dari pihak dosen, katanya mereka butuh konsep yang agak mewah."
Darwis menoleh dan menatap penuh selidik pada Galang.
"Salah satunya dekorasi. Mereka minta panggung pagelaran seni ditata sementereng mungkin."
"Terima kasih atas informasinya, Lang," ujar Darwis seraya melepaskan Galang dari tatapannya.
"Sama-sama, Dar."

Pukul 02.20 Ery yang dibonceng Dini sampai. Dini melenggang menuju kelasnya. Sedang Ery bertolak menuju Darwis dan Galang. Namun sesampainya Ery di depan mereka Galang pamit.
“Ke mana Lang?”
“Kelas dulu, Er.”

Galang enyah, Ery ganti menemani Darwis duduk di seberangnya.
"Gimana Dar?"
Darwis meletakkan ponselnya. Menatap Ery dengan wajah yang tak jauh beda sejak kemarin hingga tadi.
"Apa benar kamu minta uang ke Fera buat keperluan dekorasi?"
Ery membentuk lipatan berjumlah tiga di antara alisnya. Matanya menusuk raut wajah Darwis yang tak kalah tajam.
"Itu jelas tidak benar..." ujar Ery ketus.
"Terus siapa?"

***

Usai bertemu Ery kepala Darwis belum kunjung ringan untuk memikirkan hal lain. Kini di dalamnya malah berputar mencari siapa yang dengan seenaknya mengambil dana--kalau bukan Ery?
"Huwah...! Lama-lama stress betulan aku..."
Fera yang sedang melintas di depan kelas Darwis tak sengaja mendengar luapan kesalnya dari kursi paling belakang. Fera canggung melirik ke sebelah kanan. Langkahnya patah-patah dan cenderung cepat dan bergegas menjauh dari ruangan itu. Namun matanya tak sempurna menatap ke depan. Tak dilihatnya Ery dan gerombolan anak Ekonomi yang biasa bersamanya berjalan dari arah berlawanan. Melihat Fera, Ery seperti teringat sesuatu, "tapi apa?" gumamnya.
"Oh iya..." ia tiba-tiba tersentak sadar. "Kalian duluan, gais, aku mau ngejar Fera." katanya pada teman-temannya. Lalu berlari menyusul Fera yang sudah cukup jauh bertolak.

Darwis keluar dari ruangkelasnya. Berpapasan dengan anak-anak ekonomi teman Ery yang kebetulan melintas di depan ruangan kelas itu. Merasa kenal beberapa, Darwis sedikit menyapa mereka. Tak ketinggalan menanyakan Ery. Mereka menunjuk ke belakang. “Mau mengejar Fera katanya.”

Di halaman parkir Darwis mendapati Ery dan Fera beradu hadap di antara satu sepeda motor. Baginya ini tepat sekali. Tapi alih-alih ingin mempertemukan mereka berdua, ia malah mendapati dua temannya itu sedang saling emosi.

"Fer, kamu kok tega gitu?"
"Maafin Fera, Kak..."
Darwis langsung menyela, "Ada apa?"
"Dar, kalau maafin dia aku udah. Sekarang keputusanmu, terserah kamu, sebagai ketua, mau diganjar apa Fera yang ngeluarin uang acara sembarangan?"
"Jadi..." Darwis hanya melongo mendengarkan faktanya.
"Iya, Dar, Fera..." ujar Ery dongkol. "Dan dia justru menuduhku."
"Bu Dina mendesakku Kak. Terus aku berpikir cuma itu alasan yang bisa aku katakan," terang Fera sembari terisak.

Satu persoalan terjawab. Meski begitu dana yang telah melayang tak bisa kembali. Lalu ke mana lagi panitia mencari tambahan pemasukan? Darwis menjadi orang terpusing di kampus ini sekarang.

***

Sepeda ontel hitam berlalu di jalan utama suatu kampung. Pengendaranya seorang pria paruh baya yang sangat sederhana. Dengan setelan kemeja biru – bawahan celana panjang sewarna semen, ia menengok ke kanan dan kiri. Menelisik setiap papan nomor rumah. Kemudian berhenti. Mengambil lipatan kertas dari saku celananya. Lalu ia memutar pandang lagi ke belakang, menyamakan nomor yang tertera di kertas dengan yang tertempel di dinding depan rumah.

"Itu rumahnya."
Bergegas ia berbalik arah bersama ontelnya menuju sebuah rumah yang dicari. Dindingnya bercat kombinasi hijau telor asin dan putih. Di halaman ada cukup banyak bebungaan yang berkembang di lingkaran dalam ban-ban mobil bekas yang diwarnai. Sampai di batas lantai keramik putih rumah itu ia melepas sandal. Berjalan mendekati pintu kayu coklat tua dan mengetuknya tiga kali. Tak lama seorang wanita menyahuti. Kalau dari suaranya si pria menerka usia wanita itu berkisar 50 tahun. Beda 1 dekade dari usianya sendiri.
“Iya sebentar...” Sahut si wanita sekali lagi. Ketuk dan salamnya berangsur senyap.

Wajah mereka bertemu di antara ambang pintu. Si pria berucap permisi lalu ia menanyakan keberadaan seseorang yang dicarinya. Tuan rumah mempersilakan masuk. Namun setelah sang tuan rumah berjalan ke dalam hendak memanggilkan siapa yang diminta, ia baru ingat kalau lima belas menit yang lalu ada pamit dari anaknya. Ia putar balik ke ruang tamu. Di depan pria yang tengah duduk ia membungkukkan badan. Berujar maaf pada pria itu yang kemudian bangkit dari kursi. Siapa yang dicarinya ternyata baru saja pergi. Si pria menggumam, membuat lawan hadapnya menjadi tambah bingung mesti bagaimana. Sampai si Pria dari saku celananya mengeluarkan bungkusan kertas berwarna putih. Cukup tebal. Dan ia hanya bilang, “Titip buat Darwis, Bu. Untuk membantu acara kampus yang sedang ia jalankan. Sampaikan salam saya padanya.”
Raut muka wanita itu berganti heran. Namun tak begitu dipedulikan tamunya. Malah selepas itu ia langsung berpamit pulang. Melontar salam pisah di antara mereka.
“Mohon maaf, Pak...” Si Pria urung melangkah keluar. “Siapa nama Bapak?” Ia tersenyum, “Saya dosennya Darwis, Bu.”

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)