Mahakarja #3 (Sebuah Cerpen)

PUKUL 9 malam suasana telah sunyi lagi sepi. Di depan gedung kampus yang satu-satunya ini, aku terpikir untuk mengingat sekarang KKN* hari ke berapa. Dan ternyata sudah selesai. Empat puluh lima hari sudah aku memikirkan tentang KKN. Mulai dari merencanakan (kegagalan), mengadu malu, sampai rupiah 900 ribu yang tidak ada artinya. Empatpuluh lima hari itu pula yang telah terlewati tanpa ada satu tanda bahwa aku ini sedang KKN. Sampai dua minggu yang lalu dosen pendamping melakukan pantauan pada mahasiswa, dan aku cuma bisa melaporkan “aku tidak ngapa-ngapain”.

Sedikit curhat ini. Bukan maksudku mengabaikan satu hal penting macam KKN. Hanya saja aku bukan tipe orang yang gampang menyesuaikan (dengan hal yang enggak aku banget). Dan mengapa pula KKN mesti sendiri-sendiri di desa sendiri? Aku sudah terasing dari lingkungan sejak pertama tinggal di rumah sekarang. Ada yang bilang aku introvert; abai; aneh; dan aku yakin di sana ada yang mengatakan “pemalas”. Tidak salah kok. Pemalas lah yang mungkin paling tepat. Tapi sayang, sebutan-sebutan itu sudah bagai angin lalu saja.

Suatu hari, teman yang tak bisa kusebutkan namanya menyambangi dudukku di gazebo kampus suatu sore, dan karena ini fiksi, kuberi saja nama sembarang. Namanya Peter. Dan dia menyeletuk melihatku yang mengenakan jas KKN, “KKN beneran apa boongan tuh?” sesudahnya ia terkekeh sendiri.

“KKN itu pengabdian kepada masyarakat untuk mencari nilai akademik. Aku lebih memilih mengabdi pada mahasiswa dan aku tidak mencari juga mengharap apapun kecuali berdayanya organisasi mahasiswa kampus ini,” ucapku dengan tatap berpaling. “Kau lihat sendiri bagaimana keadaan banyak UKM** di sini, seperti kehilangan pemimpin.”

***

Kampus Mahakarja kini adalah kapal yang lusuh dengan segelintir kelasi saja meski geladaknya luas. Kelasi-kelasi itu waktu demi waktu ada yang berputus asa atas ketiadajelasan arah tujuan kapal, kemudian memilih menyeburkan diri ke tengah lautan. Ada pula yang tak mampu lagi bertahan dengan bekal yang semakin menipis hingga akhirnya habis. Namun ada kelasi-kelasi yang tak kenal menyerah, terus menatap ke depan. Setia pada keyakinannya yang dibawa sejak dari dermaga. Keyakinan itu juga hinggap di sebagian mereka kala bersama-sama menerjang badai.

Peter sekali lagi mengejekku mendengar aku menuturkan perumpamaan yang baginya itu aneh. Lalu terkekeh sendiri. Namun aku mencoba memasukkan sosok kelasi yang menyeburkan diri ke lautan itu ke dalam sosok mahasiswa yang belakangan gelisah karena tidak kuat lagi dengan krisis finansial yang menimpanya. Aku bilang, “Dia udah nyiapin pelampung belum ya mau nyebur itu?”

 “Haha... ada-ada saja kau sang hiperbolis amatir,” tawanya makin membuncah.

“Lalu kau mengategorikan dirimu sebagai kelasi yang mana?” ujarnya sambil menuntaskan tawa.

“Dasar bodoh kau, Pet,” ucapku jemawa. “Dari awal kan sudah kubilang bahwa aku bertahan di kampus ini sebab pengabdian kepada mahasiswa. Bisa kau kira sendiri aku sebagai yang mana...”

“Hahaha... Kau ini lucu sekali. Kuliah habisin duit aja. Buang-buang waktu. Demi apa, pemirsa? Pengabdian kepada mahasiswa...” Peter tertawa habis-habisan menyorakiku.

***

Sandy--Bukan nama samaran. Ini hanya fiksi. Benar ada atau tidak bukan urusan--dengan ban sepeda motor Supra X 150 ia lincah menyibak debu depan gazebo. Alhasil aku dan Peter kocar-kacir menghindari amukan debu yang terganggu oleh sibakan Sandy. Mata kami agak kelilipan. Tanpa jelas melihat rupanya, sontak Peter menyemprot Sandy dengan kata-kata makian level sedang.

“Maap teman-temanku...”

“Maapmu itu lho empuk banget!”

“Tapi keren kan barusan?”

“Keren gundulmu!”

Peter tak usai-usai memarahi Sandy. Dia orangnya penghibur. Namun sayang, terlalu pragmatis. Lebih peduli pada diri sendiri daripada harus berkorban demi organisasi mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa pragmatis di kampus ini tidak radikal pemikirannya menyangkut ilmu yang jadi program studinya. Rata-rata hanya mengejar lulus cepat. Dan mungkin begitu semestinya mahasiswa Mahakarja. Sudah kerja buru-buru lah lulus, mau buat apa sih lama-lama kuliah, wong yang dibutuh cuma gelar saja kan?

“Pet, si Dudung udah bulat mau berhenti kuliah,” ujar Sandy.

“Apa dia sudah menyiapkan pelampung?” Peter dan Sandy kompak memandangiku. Yang satu sinis, satunya melongo. Bingung.

***

Sebuncit-buncitnya, Kampus Mahakarja seharusnya paham pasal 76 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 yang mengatur salah satu hak mahasiswa yaitu menyelesaikan pendidikan tinggi meskipun dia tidak mampu secara ekonomi. Sehingga mahasiswa-mahasiswa seperti Dudung tidak sampai harus hengkang dari almamater. Iya kalau cuma Dudung, kalau semuanya bagaimana?

Tapi untunglah Dudung dan kawan-kawan senasibnya masih dilindungi Undang-Undang. Walaupun kampus tidak menggubris paling tidak mereka punya alasan sah mengundurkan diri. Sedangkan aku terpaksa hanya bisa meratap di bawah atap selasar kampus ditemani kucing yang beringsut mengorek sisa makanan di dalam tong sampah sebelah pot bunga; “Andai saja pemerintah mengeluarkan Undang-Undang juga untuk mahasiswa semacamku ini yang tidak mampu kuliah karena tekanan pikiran.”

Omong-omong, meski tidak umum, persoalan ini penting di kampus seperti Mahakarja. Utamanya bagi mahasiswa dengan pekerjaan pokoknya yang memaksa untuk eksploitasi otak untuk bekerja sangat keras. Sebab ancamannya bagi kampus serupa dengan persoalan yang sudah tercantum di dalam Undang-Undang tersebut di atas.

Dan persoalan ini pula yang mengganggu KKN-ku.

Aku periksa lantai di belakangku; cukup bersih. Aku ingin membaringkan kepalaku dan mencurahkan isian-isian yang buat resah. Tentang KKN, tentang kuliah, tentang organisasi mahasiswa, tentang Mahakarja, tentang Dosen killer yang tadi sore kami dipertemukan di gazebo kampus.

“Mana laporanmu hei pemalas?!”

Bukan labrakannya yang meresahkanku. Aku shocked ketika ia bilang, “Orang tuamu sudah tahu.”

*) Kuliah Kerja Nyata

**) Unit Kegiatan Mahasiswa

 


 

Comments

  1. Mntp,mampir bang ditunggu,https://muhammadwiratmaja.blogspot.com/2020/09/sikapnya-lembut-seperti-kapaswataknya.html?m=1

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)