Nik 3 : Modus Operandi (Sebuah Cerpen)


Rencana ini sudah pasti tak terpikirkan oleh siapapun. Tak aneh ketika aku pagi-pagi sekali telah memanasi sepeda motor kemudian mengeluarkannya dari dalam bagasi. Seperti biasa pula aku mengunci semua pintu. Hanya lelaki tua tetangga samping rumah yang matanya mengikuti gerakku mulai dari depan garasi sampai lenyap di tikungan. Anak-cucunya pasti belum sedikitpun meriapkan mata meski pagi akan segera habis.

Pukul 05.00 aku meluncur menuju kediaman orang yang kubidik nyawanya. Dengan mengenakan helm cakil hitam, menyisakan kedua mata, jaket kulit sewarna capucino. Satu lagi yang paling inti dari semua ini; sarung tangan.

Andai tanpa halangan yang berarti, perjalananku akan berlangsung sekitar 15 menitan dengan melewati alun-alun, pasar tradisional, dan pusat keramaian lain.

Di pinggir pasar tanpa sengaja aku mendapati seorang wanita tua penjual bebuahan di sisi seberang. Kuperlambat laju sepeda motorku. Lantas berhenti. Sejenak aku terpaku kepadanya yang tengah menata dagangannya di atas meja. Ada sedikit gundah menggelitiki pikiran. Dengan sadar aku menanggapi...

“Aku tidak sasar orang lain termasuk orang-orang tua yang lemah. Hanya laki-laki itu yang jadi bidikanku. Tidak ada yang lain. Namun bila takdir tak sesuai rencana, aku tidak bisa berbuat lebih.”

Sesaat kemudian aku kembali melesat kencang menyalip kendaraan-kendaraan yang belum seberapa banyaknya. Kutengok arloji di pergelangan tangan kiri. Memastikan aku masih tepat waktu. Masih satu lampu merah lagi aku akan sampai di salah satu komplek elit yang terhampar di distrik ini.

Setibanya di depan gerbang berdiri menyambut; seorang satpam komplek dengan semangatnya yang menyala-nyala meskipun hari masih belum terang sepenuhnya.

“Selamat pagi!” seru Satpam paruh baya yang amat berdedikasi ini.

“Pagi, Pak.” Aku menjawab seperti biasanya. Singkat.

“Hendak ke manakah?”

Kuturunkan maskerku sampai dagu. “Blok C nomor 19.”

“Rumahnya Pak Irwan?”

Aku mengangguk dengan memberi senyum sepura-puranya dari balik masker. Satpam yang satu ini agak senang berbasa-basi. Dalam benakku: harusnya komplek dengan petugas keamanan seperti Anda akan jauh dari kekacauan yang berarti. Tapi semua orang tidak akan pernah bisa menduga bahaya apa yang sedang mengancam. Utamanya setelah hari ini. Satu pesan penting: hindari pengabaian. Karena mimpi buruk pun bisa jadi kenyataan.

***

 

Sebelum ini telah kusadari bahwa kenyataan adalah cerita yang utuh. Sedangkan mimpi hanya potongan-potongan dari keutuhan yang tak selesai. Sebab sadar selalu terburu menjemputku kembali pada alam yang sebenarnya tak jauh berbeda. Jika di dalam mimpi aku merasakan getir, di alam ini, alam yang nyata aneka rupa ciptaan Tuhan “terbentuk” oleh pikiran, pun sama. Aku percaya bahwa mimpi memberi bocoran atas apa yang akan terjadi, sebagaimana dulu aku di dalamnya disajikan peristiwa untuk pertanda wanita yang kucintai telah dimiliki.

 

Wanita itu kupanggil Nik[1]. Ia tak nampak sebagai wanita berkekasih. Tak pernah diumbar pula siapa kekasihnya. Namun Nik berkata, ia telah dimiliki. Hanya itu. Pernyataan yang sempat sebelumnya tersampaikan kepadaku secara bawah sadar—lewat mimpi. Selentingan kabar ada yang sampai kepadaku, kalau si Ini, si Itu yang membersamainya. Tapi ketika kutanyakan benar atau salah, Nik tak memberi jawaban apa-apa. Ya sudahlah, yang terutama aku sangat yakin Nik bukan seorang pembohong. Meski begitu, aku tak lepas penasaran. Kebenaran akan kucapai sampai sedekat-dekatnya. Entah secara nyata atau bawah sadar.

Kebenaran bawah sadar!

Aneh memang ketika manusia ingin menemukan bukti pada sesuatu yang “halus” dan jauh dari penginderaan. Namun faktanya ini bukan bualan. Isyarat mimpi atas jawaban Nik yang kutanyakan esok harinya menjadi salah satu yang kupercaya sebagai bocoran atas kenyataan yang bakal terjadi. Kupikir, teori ini bekerja.

Maka darinya saat sore itu aku bangun dari tidur siang, pikiranku sontak tertuju pada orang yang kutemui dalam mimpi tentang siapa yang telah memiliki Nik: sahabatku sendiri—tanpa bertanya apakah benar dia atau bukan. Sebab mimpi bagiku adalah dasar yang kuat. Kapanpun waktunya.

Saat itu juga aku langsung menyusun modus operandi yang mungkin bagi siapapun terlampau picik. “Tapi apa peduliku?” aku melenguh menentang bisik lirih sisi terpuji.

*** 

Pukul 05.45, meleset lima menit dari perkiraan awal, aku sampai di rumahnya. Kuparkir sepeda motorku di halamannya yang lumayan luas. Lebih luas jika kubandingkan dengan rumah di sisi kiri dan kanannya. Ada dua kursi dan satu meja di terasnya. Usai mencabut kunci kontak aku duduk di sana. Sembari menanti dia yang dapat dipastikan tak ada lima menit lagi akan membukakan pintu—bukan untuk kedatanganku, tapi untuk udara di hari Minggu ini. Jelas paham sekali. Tak cuma sekarang, berkali-kali rumah ini kusambangi.

Perkiraanku selalu benar. Dia pasti keluar dan mengatakan, “Selamat pagi, dunia!” sebuah kebiasaan yang tak pernah absen dari rutinitasnya. Berdasar perkiraanku yang jarang sekali salah; “mungkin hari ini adalah terakhir kali hal itu terjadi. Karena aku sedang mengantarimu sesuatu yang tak pernah kau bahkan kota ini temui sebelumnya.”

*** 

Siang hari, tiga hari yang lalu aku bertemu seseorang. Pakaiannya rapat sekali meskipun waktu itu siang hari. Bahkan panas matahari menyengat tak terkira. Di sebuah halte ia tengah duduk. Tentu saja, dengan pakaian yang mencolok perbedaannya itu siapa yang perhatiannya tak tertarik. Namun kebanyakan justru melengos usai sebentar melihat seseorang yang kutaksir usianya sekitar 30-an tahun itu.

Aku sedikit bisa membaca apakah dia menyambutku dengan baik atau sebaliknya. Hal yang dapat kutahu dari segaris celah di antara tepi penutup kepala dan maskernya. Ia melirikku cukup lama. Naik-turun tatapnya mengikuti gerakku hingga ia terpaksa duduk kusebelahi. Sampai akhirnya ia memilih untuk menghirau. Menyibukkan diri dengan hal lain seperti memandangi lampu lalu-lintas yang bergantian menyala. Kikuk nampak tergambar dari gerik kepalanya.

Dalam hati aku merasa iba sekali. Pasti tidak enak rasanya jadi dia. Dibungkus pakaian tanpa celah, di saat matahari terlihat sangat perkasa dengan sebaran panasnya ke seluruh penjuru kota.

“Makin hari makin panas bumi ini,” aku menyeletuk.

Orang berpakaian rapat itu menoleh ragu... Ragu dengan siapa laki-laki di sebelahnya bicara. Aku membalasnya dengan lirikan gesit. Ia mengembalikan tatapnya ke muka.

Aku merogoh saku kemeja. Ada dua permen mint kembalian belanjaku tadi di minimarket. Aku menawarinya satu. Ia hanya menoleh. Lalu menggeleng. Aku menjeda sebentar untuk kembali menawarinya, “Apa Anda mau dua-duanya? Ambillah, tidak usah sungkan.”

“Apa Anda tidak melihat, saya pakai masker?”

Ia mengeluarkan suaranya. Dan dapat kupastikan bahwa ia laki-laki.

“Apa tidak bisa dibuka sebentar?”

“Nanti Anda bisa tertular virus lewat mulut saya.”

Aku hanya mengangguk. Ya sudahlah. Lagipula aku tidak berhak memaksa.

“Saya sedang mencari fotografer untuk acara pernikahan. Apa Anda bisa membantu?”

“Ya, saya seorang fotografer.”

“Kebetulan sekali. Ada kartu nama?”

*** 

Rumahnya tidak besar. Terangnya rumah ini tipe 36 dan hanya berkamar satu. Lokasinya tak jauh dari salah satu kawasan industri kota. Dua hari yang lalu ia tinggal di mess bersama karyawan perusahaan tambang lainnya. Ia telah beristri dan memiliki tiga putri yang masih belum dewasa. Tapi saat ini mereka tinggal jauh di Tiongkok. Karena memang ia warga Tiongkok, yang dipekerjakan di negeri ini di sebuah perusahaan tambang. Ia tidak sendiri. Banyak kawannya dari negeri seasal bekerja di perusahaan itu.

“Kami hanya ingin bekerja. Tapi kenapa orang-orang seakan hendak mengusir kami dari negaranya?”

Aku tak memberi jawaban untuk pertanyaannya itu. Karena sebenarnya aku sendiri tidak senang mendengar isu ribuan tenaga asing yang menggeser tenaga kerja lokal.

“Sudah berapa lama Anda di sini?”

“Kalau di rumah kontrakan ini sendiri baru dua hari. Tapi jika dihitung sejak pertama kali saya landing, sudah dua tahun. Waktu yang cukup lama itu membuat saya cukup mengerti bahasa sini. Tidak seperti mereka yang baru di sini lalu tidak bisa bicara saat ditanya pakai bahasa Inggris sekalipun.”

Aku memandangnya erat saat ia menjelaskan detil-detil kehidupannya dari K hingga Z. Aku yakin tak semua ia ceritakan. Yang jelas sejak seminggu lalu ia didiagnosa telah positif tertular virus yang sangat mematikan. Ia diperkirakan membawa virus itu dari negerinya empat hari yang lalu setelah pulang dari sana dan kembali lagi ke sini. Salah satu wilayah negerinya sedang ramai diberitakan karena di sana ratusan jiwa meninggal dalam beberapa hari saja. Perusahaannya kemudian merumahkannya. Melarangnya pergi ke luar kecuali memakai pakaian yang menutupi seluruh badan.

Sedikit telah kupelajari tentang virus itu. Utamanya bahwa virus itu menyerang pernapasan. Menular lewat percikan yang berasal dari hidung dan mulut. Virus itu tinggal di tubuh manusia dengan tanpa harus menimbulkan gejala-gejala. Seperti yang terjadi pada Lelaki Tiongkok ini. Ia merasa diperdaya oleh teori yang “ambigu”. Bukan fisik yang kena, justru psikisnya terganggu. Pikirannya tak mampu meranggeh fakta yang dikatakan oleh medis. Fakta yang memaksanya mengisolasi diri. Ia stress. Dan aku lekas memanfaatkan situasi mental lelaki itu.

“Tak usah terlalu dipikirkan, paman. Berlakulah normal dengan perlahan,” kataku sembari menjulurkan tanganku, dan ia menyambutnya. Kami bersalaman. Berdasarkan informasi yang aku dapat, berjabat tangan artinya menularkan virus yang telah sukses membuat kematian masal.

*** 

Bagai memiliki pusaka yang terbungkus warangka yang siap kuserangkan kepada musuh. Namun pusaka ini bukan sembarang pusaka. Pusaka ini lembut. Kekuatan membunuhnya perlahan namun pasti. Sebentar lagi akan kutanggalkan warangka lalu menghunuskannya. Sederhana, aku hanya perlu menyetuhkan senjata ini ke telapak tangannya. Jika ini tak berhasil menghabisi nyawanya secara langsung karena mungkin sistim pertahanannya bagus, paling tidak ia habis diterkam tuduhan yang akan teramat menghancurkan hidup. “Matilah. Atau semua orang akan berpikir kaulah biangnya, sang calon suspect.”



[1] Cerpen Nik dan Nik 2 dapat dibaca di merahmuzaki.blogspot.com


Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)