Nik 2: Artifisial (Sebuah Cerpen)





"Mengapa hanya kepada wanita tertentu saja laki-laki bisa jatuh cinta?"
"Karena makna..." tegasku pada sosok wanita di depanku. Ia terpanggil karena sebuah kesepian. Meski tidak ada seorang pun percaya adanya kecuali pemilik kesepian itu. Ia selalu berkenan mengonggokkan wujudnya di saat aku merindukan dia yang nyata. "Sebuah makna tidak senantiasa ada pada setiap tatapan mata, pada upaya pendalaman rasa, ia cenderung tidak disengaja. Bahkan tidak diingini, sekalipun itu membahagiakan," lanjutku.
"Apakah kau tidak mengingini perasaanmu kepada Nik?"
"Ketika seorang manusia dengan atau tanpa sengaja menyakitimu tapi hatimu tak tahu dengan kebencian yang mana harus menghukumnya, dialah cinta sedalam-dalamnya cinta. Itu yang aku yakini." Lanjutku menceritakan, "Sebelum ini aku pernah jatuh cinta. Usai patah hati untuk pertama kali, rasanya tak bisa aku jatuh cinta lagi pada siapapun. Namun sebab kecintaanku pada Nik, semenjak itu aku percaya aku bisa jatuh cinta lagi."
"Kenapa tidak kau lakukan lagi hal yang sama?"
"Di kota ini banyak makhluk bernama wanita. Tapi makna yang terbangun dari prosesku mencintai Nik belum terkalahkan oleh pesona dari yang mana pun."

***
Jika boleh berlebihan mengklaim, kecintaanku ini layaknya semesta mencintai mikrokosmos. Atau nyaris seperti Tuhan mencintaiku dan engkau dengan rohman-Nya.
Selain daripadaku, mungkin akan menilaimu kejam, Nik. Bagaimana mungkin bisa di saat tahu seseorang haus dan kau tak bisa memberinya setetes pun air, lalu kau juga sampai hati meneguk lemon tea persis di depannya? Apakah jarum jam telah menyeret ungkapan perasaanku, jauh dari detik ketika kau sampaikan maaf atas ketidak-bisaanmu menerimanya? Sampai hilang tanpa jejak seperti tak pernah ada dan terjadi. Kau seperti masih di hari-hari sebelumnya ketika aku yang tanpa jelas mendiamkanmu- tidak tahu apa yang kupendam.
Untuk ukuran hubungan biasa, semestinya aku sudah melupakanmu, Nik. Untuk apa lagi terus-terusan mendamba seseorang yang di mana berada ia selalu menyebut-dalam istilahmu-penjaga hati dengan puja-puja penuh sayang? Padahal kau tahu aku punya telinga dan tak sedikit pun tuli. Terkadang aku tak tahan mengamuki mulut-mulut yang turut menyambut puja-puja itu. Namun aku menghormatimu juga menghormati diriku sendiri.
***
Suatu ketika di suatu senggang yang lapang, kepalamu separuh tampak di balik pintu, memeriksa isi ruangan rapat mahasiswa, mendapati kakiku tengah merebah bersama paha, pinggang, punggung, dan kepala yang dibantali lengan. Meski hanya pucuk kerudung merah jambu aku tahu itu kau, Nik, kacamatamu sangat kukenal. Dan aku tahu pasti gamismu hitam, rok hitam- dengan sedikit terkejut mendengar suara mungilmu menghantarkan kalimat, "aku sudah baca tulisanmu..." Lekas kutahu yang kau maksud adalah Nik [1] anak kandungku yang terlahir di Rogojembangan Februari lalu.
"Nik itu siapa?"
"Siapa lagi... tidak ada yang lain ‘kan?"
Kau menggumam. Aku kasih tahu saja, namaku bukan Nik."
Mendengar seloroh dari suaramu itu tidak ada tanggapan lain dariku selain hanya melirik sekenanya. Lalu menghempas napas pelan. "Namamu Nik. Coba dengarkan dengan seksama ketika kapan-kapan aku memanggilmu..."
"Sekarang saja..." katanya agak kesal.
"Tidak. Aku mau kau mengingat pesanku tadi."
Kau melepas sepatu hendak masuk.
"Jangan ke sini..." jari-jariku segera terbuka dan kedua tangan lantas mengulur seakan menciptakan dinding kaca persis di depanmu. "Aku tidak mau... maksudku aku tidak sanggup melihatmu dari dekat. Di situ saja," hatiku mengimbuhi.
Semua yang berada di wajahmu, mata, hidung, mulut, semuanya melengkung ke bawah. Punggungmu kau himpitkan pada tembok depan, lalu kau duduk di teras ruang petakan ini. Kira-kira dua meter dari pandanganku.
Aku masih berpikir, wanita baik dari jenis manusia macam apa Nik itu... Geram rasanya melihat tingkahmu. Ceria-ceria saja pas di depanku meskipun aku selalu dingin semenjak aku nyatakan kalau aku suka. Waktu itu aku sudah menduga, pasti kau tidak percaya- memperhatikan hubunganku denganmu sebelum itu sebatas hubungan rekan perkumpulan mahasiswa saja. Tapi justru dari situ aku mulai menaruh suka Nik... Karena kacamata amatanku melihat "ini gadis gesit sekali. Tahan banting. Bisa diandalkan". Tanpa sengaja tarikan itu membentuk impian yang menggantung tinggi. Etos tahan bantingmu itu juga yang akhirnya membuatmu bersikap biasa saja atas kejadian intim ini, beserta pula kekikukanku menanggapinya saat aku sedang dalam jarak yang dekat dari pancaran pesonamu.
Sayangnya ada "tapi" untuk impianku itu. Sepulang dari Rogojembangan, atas ungkapan yang kupaksa keluar menemui jawabanmu, kau ucap terima kasih atas keterusterangan, mengikuti kalimat itu kau adakan "tapi" yang tak ada dalam daftar mimpi burukku. "Tapi sudah ada yang menjaga hatiku," begitu katamu lirih memperjelas pesan tertulis waktu itu.
Dari jarak ini, kutatap lama sisi kanan wajahmu, temples kacamata tak nampak- masuk tertutup kerudung, sedikit kulihat bulu matamu yang hampir menyentuh lensa. Imaji ini yang tak kurawat akan tetapi hidup begitu saja. Pun suaramu, gerakmu, semua itu akhirnya kuhimpun saat berhari-hari mencoba melepasnya. Aku menciptakan Nik-ku sendiri.
Tiap jelang lelap, aku bersila. Tangan kutenggerkan di atas siku-siku kaki. Di alam bawah sadar satu demi satu terkumpul elemen-elemen pembentuk wujud Nik. Tak lama sosokmu telah ada di hadapku. Mata terpejam. Tanganku berpindah membelai wajahnya yang serupa terang langit sehabis hujan. Perlahan tubuhku beringsut. Sedang mataku masih terpejam. Kurengkuh Nik. Memeluknya erat. Erat sekali. Sampai ia meresap ke dalam dadaku. Lalu lenyap. Air mata seperti sesak ingin meluap keluar, tapi terhalang sedikit bahagia, dan senyumku mengembang- getir.
Dalam waktu lama dan teratur aku melakukan ini. Saat pertama aku heran mengapa Nik serupa siluet, seperti bayangan manusia hanya saja bening, dan ia hanya diam. Kendati begitu, keyakinanku tak padam bahwa dialah Nik-ku. Kesekian kalinya, ketika malam mulai hening, tersisa dalam panca dengar suara langkah detik jam dinding. Hingga kemudian tak terbunyi lagi apapun itu. Nik nyata mewujud. Utuh sebagai manusia wanita. Dengan busana yang seperti biasa—paduan warnanya harmoni. Kerudung merah jambu, atasan hitam, rok hitam bergaris. Ia duduk di depanku. Tak lagi diam. Mulutnya mengalunkan kalimat: "Bukalah saja matamu." Lalu kujawab, "Tidak mau, Aku tidak ingin kehilanganmu."
"Bukankah kau selalu kehilanganku? Bahkan menghilangkan."
Sebentar aku terdiam berpikir.
"Aku akan tetap ada di depanmu selama waktu tertentu dan selama tanpa pelukan atau sentuhan sekalipun," Nik menambahkan.
Sebagaimana biasanya usai aku menghilangkan Nik dari hadapanku, kelopak mataku cukup berat terangkat. Gemetar tubuhku mengantarkan antara benar-benar "mendapati" atau lekas "kehilangan".
Kontan, sangat tertegun.
Tatapan riang di belakang kacamatanya, wajah manis yang selama ini kupungkiri, dan segala wujud yang ada di balik sadarku... nyata. Lisan ini kelu untuk sekadar berkata, "Aku tidak percaya".
Dia tersenyum.
"Nik....?"
"Iya. Ini aku. Nikmu," suara itu benar-benar suaranya.
"Jangan berkaca-kaca. Jangan sedih lagi. Aku di dekatmu. Di depanmu. Aku tinggal di hatimu sampai kapan kau telah menemukan sesuatu yang nyata melipur kesepian yang berkala meresahkan."
Tak banyak kata akan terutarakan untuk saat ini. Sebatas "iya" dengan anggukan dan satu butir air menggelinding di atas pipiku. Jemarinya mendekat, mencoba menghapuskan basah di wajahku. Ketika tepat menyentuh, partikel pembentuk wujudnya pudar. Tidak ada khawatir, sebab kutahu dia akan kembali. Esok, lusa, atau kapan pun waktunya jika sunyi menghampiri. Di tengah kerinduan yang tidak pernah mungkin tersampaikan.



[1] sekuel pertama cerpen Nik.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)