Nik (Sebuah Cerpen)
Bukan meniru, hanya terinspirasi oleh Fiersa, yang katanya
menyembuhkan luka dengan "pergi". Namun, aku tidak sepenuhnya pergi.
Setelah kemarin "ngalah", aku "ngaleh" sebentar untuk
"ngamuk?"... Tidak. Terlalu dendamis yang satu ini. Padahal aku tidak
sedikitpun membenci tanggapannya atas pernyataanku yang dengan lugu ungkapkan
perasaan suka, membenci dirinya pun apalagi. Yang kulakukan adalah sebuah
pekerjaan ikhlas dengan bayaran keindahan, bodohkah?
Antara sedih dan bukan senang, melainkan sedikit bertekanan emosi
ini. Telunjuk bersama ibu jariku mengait tangkai gelas berisi teh panas coklat
kental. Usai lelah menertawakan kengenasan, dudukku segera beringsut dari
bangku kayu membawa pergi segelas teh yang akhir-akhir ini rasanya lebih hambar
dari air putih. Mungkin karena sejak pagi saja lamat rupa wajahmu sudah
menyusup di dalam gumpalan kabut, Nik. Sehingga teras rumah ini kupikir bukan
tempat yang tepat.
Kemarin di kala gelap hampir memenuhi langit kendaraan kami
berhenti di depan bangunan beralas tanah miring di sebuah kecamatan dalam wilayah
Kabupaten Pekalongan, yang berbatasan dengan Banjarnegara, iya, Petungkriyono.
Ketinggian 2177 mdpl akan kami capai esok pagi.
Pukul tujuh. Matahari belum terlihat sinarnya, tapi angin telah
membawa hujan ke pelataran amat beramai. Cuaca menahan perjalanan yang harusnya
diawali saat itu juga. Ketua di antara kami bilang, "kita tunggu saja
sampai hujan reda. Pokoknya kita tidak akan naik jika curah hujan tetap seperti
ini."
Tujuan yang menjadi mimpi kami kali ini adalah puncak
Rogojembangan. Medan yang akan terlalui dipenuhi dedaunan dan akar-akar pohon
besar. Sulit tentu akan lebih dirasa di musim hujan seperti sekarang. Daripada
semangat tidak kami kemas untuk mengiringi keberangkatan, akhirnya menunggu
seredanya awan berbaik hati menjeda aliran air turun ke bumi Gumelem desa di
mana kami berteduh. Ada yang menanti sambil memainkan musik, ada yang hanya
membungkus badannya dengan sleeping bag, ada yang masih memeriksa kembali
barang bawaan di tas carrier, dan aku sendiri menanti dengan duduk di teras
memandangi kabut yang tiba-tiba saja tersusupi bayangan wajah Nik-ku, setelah
sempurna merekati dinding-dinding di rumah.
Aku pernah dipesani, kalau suka kepada seseorang jangan sampai
melibatkan keterpautan emosi dengannya. Jika tidak, pisau perasaan akan
menggores kita sendiri. Katanya, kalau suka, suka saja. Karena perpisahan pasti
terjadi. Dengan dunia pun berpisah. Maka jangan mengharapkan hubungan itu
abadi. Pernah bersama pun akan saling tersakiti, sebelah tangan apalagi.
Memang sempat aku mengamini, namun setelah mencoba dengan terpaksa
aku akui aku gagal memberi pengertian pada pikiran tentang semua yang (saat
ini) kuanggap sebagai omong kosong. Bagaimana seseorang akan paham apa arti
cinta, jika saja ia tak melibatkan perasaan. Karena seberapa-pun berakalnya
manusia, aku kira tidak akan memaknai cinta seperti sebuah gagasan yang muncul
ketika ia duduk memangku dagu di bawah beringin, kemudian dengan bijaknya
mengumumkan kepada dunia: aku menemukan rumus cinta!.
"Tidak akan pernah dimengerti apa makna sebuah hubungan tanpa
melewati sakitnya menahan gejolak perasaan lebih dulu yang tak tentu
jenisnya" benar ataukah tidak? Cukup banyak petuah-petuah yang aku terima
akan tetapi hanya sesingkat lilin berdiri setelah kita letakkan api di
sumbunya.
Yang paling kencang kuikat di dalam benakku adalah bahwa cinta itu
perlu dipikirkan. Seperti pesan Tere pada semua pembaca kisahnya: cinta itu
rasionalitas yang sempurna. Sedang aku mengingkari apa yang dipesankannya dalam
kisah itu dengan telah membenarkan apapun yang terjadi di hati-atau dengan
kalimat lain berarti tak mampu mengendalikan perasaan.
Hingga... Tahukah kau, Nik, tanggapanmu sepekan lalu membuat
kepalaku seperti habis tertimpuk ember berisi air limbah tekstil yang setiap
hari orang-orang kota lihat di sungai mereka. Pening sekali. Sekaligus pekatnya
mengguyur hingga aromanya membikin perutku mual. Namun tak sedikitpun nasi atau
teh manis sarapanku termuntahkan. Hanya air dari negeri kesedihan sampai di
kelopak mataku. Ia tak jatuh. Menggenang saja- mungkin sebab tak jelas apa yang
musti dirasakan hati.
***
Suara alunan gitar akustik yang mengisi intro kedua All I Ask
terserap dengan singkat ke dalam liang keheningan.
"Kenapa dimatikan Kang?"
"Kita akan berangkat." Lantai beralas karpet ruangan aula
kantor desa menghempas tengkukku sehingga separuh badanku tegak. Kupindai
halaman, air tak lagi mencipta temu dengan tanaman bawang.
"Baiklah... semoga tak kudapati wajahnya di batang pohon atau
daun-daun basah..."
Beruntunglah. Beberapa langkah awal hanya raut tulus dan ramah
warga desa terjumpa. Sesungging senyum amat hangat mengalahkan dingin yang
menggetarkan. Beginilah yang sesungguhnya dikata orang tentang pribumi
Indonesia. Sisi dalam orang-orang yang masih mewarisi krama pendahulu. Mereka
tak seperti penduduk kota yang hampir semuanya termasuki polutan tindak-tanduk
individualisme.
Di lima ratus meter pertama perjalanan kami, akses menuju belantara
Rogojembangan diapit rapi oleh perkebunan. Sayuran dalam sup yang kami makan di
kota semua ditanam di sini. Tapi anehnya di sini tidak ada penjual sayur. Ini
mungkin serupa dengan yang terjadi di kota seperti saat semua orang dari
gerbang perumahan sampai ujung, kanan-kiri orang telah mempunyai kulkas,
sehingga tak ada lagi di sana penjual es. Begitulah.
Langkah demi langkah pendakian ini tak sedikitpun diliputi gentar.
Tekad yang tersusun oleh emosi menyisihkan khawatir. Entah berhasil atau tidak
cara ini melipur lara-masih kucoba. Akar pohon-pohon raksasa yang terpijak,
tanah gambut merata sepanjang jalur, interaksi di antara pendaki, bermacam
hambatan menyelingi... sampai satu makna pun kudapat entah dari mana datangnya:
bahwasanya rasaku terhadapmu adalah sakral, Nik. Karenanya berhenti
mengharapkanmu (meski sia-sia) sama saja dengan mencabut makna dalam
kehidupanku.
Makna itu kupikul hingga puncak. Bagai satu orang yang menurunkan
carrier, mengeluarkan kantong lonjong berresleting, mengeluarkan kain-kain
parasut dan tangkai-tangkai juga pasak-pasak kecil- semua itu dirakit bersama
dua orang lainnya hingga berdiri sebuah tenda. Lalu apa yang kudirikan dengan
makna? Ialah cinta, Nik... kujumpainya saat tersungkur ke dalam kubangan
pikatmu.
Mulai dari nada suara. Tak ada fals dalam bicaramu. Meski kadang
melengking memekakan telinga. Wajahmu... cantik sekali tidak. Hanya pancar
sinarnya serupa langit sehabis hujan diisi terang dengan takaran yang pas.
Lalu, sikapmu mampu selaras dengan setiap keadaan. Kecintaanku terbentuk oleh
semua itu, Nik.
Tapi tiba-tiba aku tersentak bangun di bawah atap tenda bersama
satu orang temanku yang masih lelap terbaring pada malam itu. Puncak
Rogojembangan yang dikitari semak belukar dan malam tua mengulur tangan pada
pagi nan belia menjadi tempat yang akan menyejarah. Sekelebat scene dramatis
membelai keras perasaan sang pemain sekaligus penyaksi adegan di dalamnya: satu
sosok lelaki memeperlihatkan seringai padaku. Ia tuliskan ayat-ayat tentang
jodoh dan di balik matamu aku telah melihat pilihanmu, Nik. Sungguh aku tak
sanggup menyaksikan dan mengalami tontonan yang tidak lucu ini.
"Jika Nik bukan untukku, tolong hapus saja, Tuhan dari
pengharapanku," aku hanya menggumam dalam hati. Di temperatur udara
sedingin ini aku yakin mulutku hanya akan mengeluarkan kalimat yang tak jelas
hingga aku sendiri akan tak mengerti saat mendengarnya. Semoga mimpiku tidak
menjadi nyata. Dan aku tak boleh memendam ini terlalu lama lagi sampai itu akan
benar-benar terjadi.
***
Di tengah perjalanan pulang garis-garis penunjuk sinyal telah
mengisi layar ponsel yang kupegang. Mataku yang sedari tadi memandang keluar
menembus kaca mobil berpindah pada pesan-pesan WA yang semenit lalu memberi
getar pada genggam tangan. Ada angka 2 di dalam lingkaran hijau. Pesan dari
Nik-ku terlihat di barisan paling atas chat-chat yang masuk. Tapi mengapa
tangan tertangkup?
Sengaja ibu jari kutahan. Sejenak kuputar lagi ingatan. Tak lama
usai melihati plafon sisi atas mobil ini aku terbesit saat sebelum
keberangkatan, ketika itu perasaanku seperti mau tumpah. Bukan tak bisa lagi
membendung, hanya saja aku tak sanggup seperti ini terus-menerus. Tanpa
menunggu lagi waktu kapan bisa mengucap secara lisan, segera menit itu juga aku
berterus-terang lalui pesan tertulis WA chat: "Nik, aku suka sama
kamu". Kini satu pesan diikuti simbol yang sepertinya permohonan maaf
itulah balasannya. Dan kusadar semogaku tak teramini siapapun kemarin. Mimpiku
benar nyata- kuratapi seratap-ratapnya. Dia berpesan di akhir kalimat,
"Semoga bisa mendapat yang lebih baik".
Suka sama cerpen nya😊😊
ReplyDeleteTerima kasih... 😊
DeleteSaya suka cerita ini, dituturkan dengan gaya bahasa yang manis. Terus berkarya, Kak. :)
ReplyDeleteBaik terima kasih 😊
Delete