Posts

Libur?

Aku suka duduk di atas pasir di tepian pantai, melihat dan mendengar ombak, mengamati perahu yang berlayar. Pun aku suka air terjun, sungai mengalir tenang dengan gemericiknya, berada di sekeliling bebatuan besar, memandangi warna hijau flora di pinggir-pinggir sungai. Dan tak lupa jika berada di tempat itu aku pasti berfoto lalu aku bagikan di media sosial dengan caption ala orang berlibur. Namun, entah bagaimana bisa aku menghindari semua itu. Setiap aku melihat orang membagikan fotonya sedang menikmati pantai, bermain-main di bawah air terjun, justru ada pertanyaan yang terlontar dari dalam hatiku, "Bagaimana bisa mereka melakukan itu?" Kiranya mereka tak berada pada kondisi sedang berpikir seputar pekerjaan dan persoalan di dalamnya, tentang hal-hal yang berantakan, tentang taraf hidup yang berada di level miskin. Dan bahwa lingkaran setan itu masih menjadi "penyakit" yang sulit "tersembuhkan". Bersyukur? Bukan soal bersyukur. Tapi tidakkah a

Lebaran, Pangling

Sedikit banyak, momentum Lebaran pasti mencuatkan gejala pangling level paling. Yakni pada orang-orang yang tidak pernah ditemui lama namun ketika Lebaran tiba-tiba kita melihatnya. Impresi yang ditimbulkan antara lain tidak mengenali sama sekali disertai perasaan takjub dan tercengang. Rupa orang-orang yang kita lihat itu berbeda dengan visual yang ada dalam sisa ingatan yang mungkin berasal dari puluhan tahun silam. Saya dalam hal perubahan generasi tidak pro dengan status quo. Karena saya tergolong orang yang kehilangan masa lalu dan menyayangkan tidak hadirnya saya menyaksikan proses perubahan pada setiap orang- meskipun hal demikian sulit terjadi. Saya sulit menerima bahwa Paman A yang wajahnya segar sekarang menjadi berkeriput. Yang dulu rambutnya hitam sekarang beruban. Pun begitu kepada anak-anak kecil yang sekarang sudah tumbuh sebagai remaja. Dalam ucapan paling saya hanya bisa menampakkan bahwa saya pangling melihat mereka sudah besar. Tapi, sesungguhnya ada perenungan ya

Keberangkatan Kekasih

Hampir penuh. Aku tidak tahu persis apa saja yang terkandung dalam ranselnya. Tampak mengemuka satu plastik sedang berisi keceriaan, lalu agak besar lagi: keramaian, terbungkus kardus kecil warna terang: sebingkah kebersamaan. Dan aku tahu yang tersebar di setiap sela tumpukan semuanya, ukurannya besar dan kecil namun kerap. Itu pasti kelimpahan rezeki. Masih banyak isi ranselnya. Aku tak melihat yang lebih dasar. Tapi katanya, aku akan tahu setelah ia melambaikan perpisahan, berlalu dari hadapku. Saat di mana kehilangan baru terasa. Ia akan berangkat Maghrib ini. Cuma satu yang ia tinggalkan. Dengan tatap harap sembari kedua sisi pundakku ditepuknya keras ia mengeja, "ber-ta-han." "Sampai aku kembali," sambungnya. Tersisakan berapa kantong bahagia dalam Lebaran, jika kekasih telah pulang? Tak ada walau setengah kata nama kampungnya. Namun ungkapnya, aku pasti tahu harus ke mana bilamana rindu. Atau, katanya, "Kurung dulu rindu itu dalam sekotak kayu, l

Pengabdi Negara

Jika bukan negara yang mempersulit, maka para pengabdi negaranya yang pikirannya terkurung dalam penjara ketakutan. Ketakutan itu bermotif egosentris, mementingkan dirinya. Yang penting dirinya dan pemasukannya aman sampai pensiun nanti. Peduli setan dengan kesusahan orang. Pikiran mereka berjarak dengan logika. Benar atau salah menurut intruksi. Bekerja sesuai juklak. Enak memang seperti itu. Kebaikan yang mereka kenal hanyalah pahala. Yang bisa didapat dari sujud, derma untuk masjid, pokoknya menyukai hal-hal berbau akhirat. Mereka senang berlari-lari mengejar Surga. Pengen hidup enak pikirnya, hidup sejahtera, berkecukupan, aman (lagi) di sana karena semasa di dunia rajin menjalankan perintah Tuhan dan atasan juga barangkali. Tentu saja aku tidak bisa menentukan akan masuk Surga atau tidaknya seseorang. Hanya saja, realitanya sekarang adalah dunia, bukan akhirat. Yang berisi banyak manusia, yang sebagian mereka sedang mengalami kesusahan dalam suatu hal. Bisa jadi ekonomi, bisa

Sekeliling

Sekeliling tampak seperti kejauhan. Para lakon yang telah berkerut. Bocah-bocah tanggung yang datang dari lapisan waktu anonim. Perjaka serta perawan yang menjelma makhluk dengan beban sembilan bahan pokok dalam kepalanya. Sekeliling lainnya- tak kusebut sebagai kebaruan, karena ini telah menyatu dan galib dalam keseharian- sangat dekat. Nyaris tak berjarak. Jika mulai lamat kita bisa mengusapnya hingga tampak jelas. Semuanya terkendali. Tapi tidak dengan soal bahwa.... Mereka terbingkai secara masing-masing. Jika yang terpisah kemudian berhimpun, maka akan tercipta kemasing-masingan lagi. Senang, sedih, kesal mereka ada di dalam pikiran mereka sendiri. Dus, ekspresi dan apresiasi bebas diolah sesuai selera. Tapi tidak juga, sepertinya itu lebih ke halusinasi.

Tafsir Melankolia

Obeng, gunting, pisau seperti menghela tanganku untuk menggapainya. Bujukan mereka hanya tiba pada batas sebelum memasuki ruang sadar dengan berbagai referensi tentang akibat buruk dari, semisal ujung tajam besi itu kutekan perlahan di atas perut sisi kiri. Yang pertama sudah terang yaitu kesakitan dengan lirih-keras jerit. Lalu, orang-orang terdekatku akan turut terguncang jiwanya setelah aku dipastikan mengalami guncangan selepas melakukan itu. Terakhir, penyesalan maha dahsyat sudah bersiap, untuk menakuti dengan memberikan bayangan dosa. Entah kapan bagian itu diterima, kala separuh melayang atau ketika gelap memenuhi sekitar. Obeng, gunting, pisau tetap rebah di atas masing-masing peraduannya, setelah aku campakkan dengan kekosongan yang terisi melankolia, sehabis ruang utama dalam kepala dipenuhi semut bersayap yang terbang ke sana - kemari. Sampai bertanya, apa ini mimpi? Karena kenyataan seharusnya tak seabnormal sekarang. Minimal ukuran normalitas (atau lebih mirip ekspekt

Mensyukuri Dulu

Sampai hari ini sejak lima tahun lalu aku melalui waktu khususnya waktu Senin-Jumat hampir sebagian besarnya dengan beban pikiran yang laten. Soal pekerjaan. Yang bagi ukuran orang normal ini tidak biasa. Ada sesuatu yang salah. Entah dari diriku atau pekerjaan di tempat itu. Problem-problem yang ada saling bersusulan datang. Kau pasti tahu, masalah ada untuk diselesaikan. Dan aku sedikit takut untuk mengatakan kalau jenis masalah yang aku hadapi adalah yang belum selesai tapi sudah 'mendarat' masalah baru. Apesnya, ini berkaitan dengan uang. Nah, itu mungkin pangkal masalah sebenarnya. Semua orang butuh uang. Ketika orang mengeluarkan uang dalam proses transaksi artinya ia berhak mendapatkan sesuatu dari sejumlah uang yang telah ditukarkan dengan sesuatu tersebut. Lalu bagaimana jadinya jika orang itu tidak atau belum mendapatkannya? Ada banyak kemungkinan. Paling ringan ia mengelus dada, mencoba sabar. Paling berat ia marah dan membawa polisi. Artinya, aku tergolong p