Posts

Berhipotesis

Sebelum menikah bisa dibilang kita membuat hipotesis pada pasangan kita. Sepanjang periode pacaran kita tidak tahu bagaimana watak, kebiasaan, dinamika emosi pasangan secara sesungguhnya. Sebagian melakukan eksperimen dan menghasilkan kesimpulan. Namun percayalah pengujian variabel-variabel tersebut di masa pacaran tidak valid. Untuk itu, saat ini aku selalu menjaga kesiagaan, tidak mudah mempercayai utopia rumah tangga yang penuh ketenangan. Apalagi sinawang kepada Denny Caknan bersama istri-anaknya yang berlibur ke Jepang. Aku lebih percaya pada apa yang diperdengarkan kedua orang tuaku. Cemooh yang sama sekali menyapu kebaikan-kebaikan yang pernah. Dibalas bentak yang meluruhkan senda-gurau di kala hati sementara sejuk. Bunyi pintu yang tak pelan bertemu ambangnya. Semua itu terekam abadi dalam memori otakku. Mengerak dan tak pernah mudah terkikis. Aku tidak percaya kedamaian rumah tangga namun pada saat yang sama aku adalah manusia pendamba kedamaian. Aku tidak suka dengan perkata...

Farid dan Benaya Hanya Berhenti

Berhenti di lampu merah Ponolawen dari arah utara itu rasanya tidak nyaman. Menunggu lampu hijau di perempatan yang mempertemukan truk-truk besar tersebut hampir seperti menunggu kereta api lewat kemudian portal pembatasnya naik ke atas. Lama. Dan itu juga yang akhirnya membikin cemas. Karena truk-truk besar tadi. Sesekali aku menengok spion, memastikan di belakang truk-truk yang searah mengaspal dengan aman. Berhenti tidak sama dengan selesai. Begitu yang kudapat dari Goenawan Mohamad dalam buku Pada Masa Intoleransi . Kecepatan kendaraan 0 km/jam di lampu merah tidak berarti perjalanan pengendaranya sudah selesai atau sampai tujuan. Namun bukan perhentian macam itu yang mau kumaksud. Sebelum aku melintasi perempatan Ponolawen, hadirku baru saja mengisi ruang belajar bersama di Bumi Suja: bedah buku Reset Indonesia karya empat jurnalis yang tergabung dalam ekspedisi Indonesia Baru. Namun, belum rampung acara itu aku berhenti menyimak paparan dari Farid Gaban dan Benaya Harobu (salah...

Ramah-Tamah di Hari Kematian

Tak cuma dalam pernikahan, manusia pun di hari kematiannya butuh ramah-tamah. Terdengar tidak masuk logika berpikir dalam lingkup kultur masyarakat sini. Tapi bisa jadi ada dalam tradisi masyarakat sana. Misal pun tidak, maka premis tersebut biarlah jadi perenungan kita. Jika tak cukup patut sebagai bahan merenung, tidak apa-apa, biarkanlah berlalu seperti obrolan pelipur sedih oleh tamu yang datang semalam sebelum seonggok jenazah di ruang depan itu dikuburkan. Saudaraku, sepupu dari ibu, meninggal dunia kemarin. Perempuan muda belia, kata bapak kyai penyambung lidah empunya musibah di masjid menjelang jenazah disholatkan. Saudaraku itu perempuan pendiam yang baik. Karena kata bapak kyai ada orang pendiam yang di dalam hatinya menyimpan rasa dengki. Aku ini jarang melayat orang meninggal khususnya di kampungku sendiri. Namun berbeda ketika yang meninggal selama hidupnya cukup dekat denganku. Tanpa diminta aku akan melayat dan mendoakannya di hari kematiannya. Kala itu pula aku yang te...

Profesionalitas yang Lain

Kantor tempatku bekerja tidak seperti kantor pada umumnya dengan segala aturan-aturan tertulis dan tegas yang wajib dilaksanakan dan pantang ditinggalkan, meskipun ada pengecualian-pengecualian sebagai ketentuan tambahan. Di kantor lain mungkin jika karyawan ada keperluan keluarga yang urgen ia diperbolehkan izin meninggalkan pekerjaannya sebentar, asalkan tidak terus-terusan. Mungkin terdengar agak fleksibel. Namun di kantorku lebih fleksibel dari itu. Kondisi yang lebih fleksibel itu berubah menjadi terlalu fleksibel, dan menurutku tidak sehat untuk keberlangsungan kantor. Misal, aku yang kadang di suatu pagi bingung ketika ada kerjaan yang perlu diselesaikan dan butuh rekan kerjaku, sedangkan ia belum datang ke kantor, dan menunggunya tidak sebentar. Padahal pagi hari waktu masih semangat-semangatnya. Namun, hal ini aku bahas di lain tulisan saja. Kali ini ada fenomena lain yang unik mau aku ceritakan. Ada teman laki-laki di kantor yang telah berkeluarga, ia berangkat cukup siang da...

Fasilitasi

Langkah berjalan mundur cepat, waktu tergulung, tahun-tahun terlipat, lalu berhenti di masa ketika aku duduk di bangku paling depan mengerjakan soal ujian tengah semester kelas 3 SMP. Hanya ada beberapa benda yang legal berada di atas meja; kertas folio bergaris, pulpen, penghapus pena, dan lembar soal ujian. Namun aku kecewa berat, karena soal yang tercantum di lembar itu berbeda sama sekali dengan apa yang sudah aku pelajari (atau hapalkan?) semalam. Kesal; merpati dari kertas yang biasanya dibuat dari lembaran buku yang tidak terpakai, saat itu kubuat dari kertas soal ujian. Pikirku dahulu mungkin: membuat kertas soal itu menjadi merpati adalah lebih baik daripada meremasnya. Namun, ibu guru pengawas tetap saja tidak respect dengan perbuatanku. Pesannya: hargailah yang mengetik soal di kertas itu. Aku merasa bersalah, menyesal telah melakukannya. Padahal kalau dipikir-pikir sekarang waktu itu aku kecewa dengan sesuatu yang tidak begitu berkualitas dalam proses pendidikan seorang ma...

Kereta Terlambat

Kabar baik, sakit tenggorokanku sudah tidak kurasa seharian. Kabar buruknya, itu hanya berlangsung saat aku ditemani kekasihku hari ini. Selepas beberapa jam sehabis keretanya berangkat aku mulai merasakan ludah seperti menghantam lagi pada sebelah kiri jakun. Tidak pernah aku lihat sebelumnya stasiun seramai tadi. Parkiran mobil sesak dan teras stasiun dipenuhi orang-orang yang menunggu keretanya datang. Bisa sedikit kumengerti relasi paling berharga mereka dari masing-masing pengantarnya. Seorang gadis mencium bocah laki-laki yang mungkin masih duduk di bangku PAUD. Seorang gadis yang lain dirangkul laki-laki yang lebih tinggi darinya. Seorang laki-laki yang dipeluk wanita paruh baya dengan hangatnya. Dan aku, tanganku digenggam oleh gadis di sampingku. Ia mengira, pasti karena besok Senin. Sebagian besar penumpang kereta malam ini pasti mereka adalah pekerja yang punya hari kerja pertama: Senin. Atau mahasiswa yang baru saja melipur rindu di kampung Pekalongan dan esok sudah mulai a...

Nyelonong dan Tiba-Tiba

Pikiranku kalut. Tenggorokanku sakit berlarut. Sudah seminggu lamanya tidak mereda sakitnya, aku sebut sakit saja walaupun ini tidak seperti batuk yang teramat mengganggu aktivitas sehari-hari. Namun, aku jadi selalu kepikiran karena di hari pertama bulan November kekasihku akan datang. Sakit tenggorokan ini kenapa sih nyelonong dan tiba-tiba? Malam Kamis. Hampir pukul sembilan malam. Aku masih di kantor. Niat mau makan di warung Pak Dhirin, dekat bangjo Ponolawen itu. Tapi tidak jadi, karena ketika aku ke sana lempeng-lempeng kayu penutup jendela masih menghalangi apa yang ada di dalam warung. Tanpa putar balik, sepeda motor aku bawa ke arah barat melewati bangjo, kemudian belok ke arah lapangan Mataram dan tiba di tempat makan alternatif, Warung Lingsir Wengi. Menu sudah kupesan. Nasi megono pakai telor ceplok santan. Kusantap. Makanan masuk mulut, lalu kutelan, tidak ada angin tidak ada hujan, kok sakit ya tenggorokanku waktu menelan? Seketika aku tidak tenang. Tidak habis pikir sak...