Ramah-Tamah di Hari Kematian
Tak cuma dalam pernikahan, manusia pun di hari kematiannya butuh ramah-tamah. Terdengar tidak masuk logika berpikir dalam lingkup kultur masyarakat sini. Tapi bisa jadi ada dalam tradisi masyarakat sana. Misal pun tidak, maka premis tersebut biarlah jadi perenungan kita. Jika tak cukup patut sebagai bahan merenung, tidak apa-apa, biarkanlah berlalu seperti obrolan pelipur sedih oleh tamu yang datang semalam sebelum seonggok jenazah di ruang depan itu dikuburkan.
Saudaraku, sepupu dari ibu, meninggal dunia kemarin. Perempuan muda belia, kata bapak kyai penyambung lidah empunya musibah di masjid menjelang jenazah disholatkan. Saudaraku itu perempuan pendiam yang baik. Karena kata bapak kyai ada orang pendiam yang di dalam hatinya menyimpan rasa dengki.
Aku ini jarang melayat orang meninggal khususnya di kampungku sendiri. Namun berbeda ketika yang meninggal selama hidupnya cukup dekat denganku. Tanpa diminta aku akan melayat dan mendoakannya di hari kematiannya. Kala itu pula aku yang tengah di teras rumah duka dikelilingi sekitar selusin laki-laki yang begadang memikirkan beberapa hal. Pertama, aku bertanya mengapa para laki-laki itu begadang begitu saja, mengobrol berkelompok di malam terakhir jasad seseorang berada di atas bumi? Apa mungkin mereka menjaga jenazah agar tetap di tempat dan agar ia tidak kenapa-kenapa?
Kedua, sambil melirik ke dalam rumah di mana jenazah dibaringkan dan di bawahnya dua perempuan duduk sedang membaca(-kan) ayat suci, aku gelisah karena manusia yang meninggal itu jadi seperti sedang punya acara dengan tamu undangan yang hadir seperti halnya ramah tamah.
Di sini, beberapa hari sebelum akad nikah biasanya manusia menggelar ramah tamah buat menjamu tamu undangan yang terdiri dari teman dan atau saudara. Tamu undangan tersebut datang untuk memberi selamat (ada sebagian sangat kecil yang mendoakan), menyalami amplop berisi uang (tidak ditentukan berapa nominalnya, yang jelas kalau nominal besar tidak boleh lupa untuk ditulisi nama), dan di antara itu yang paling penting adalah menampakkan diri agar ketika diri sendiri menikah nantinya juga dihadiri oleh si punya hajat. Hal terakhir ini juga penting bagi empunya hajat, karena tanpa kehadiran tamu acaranya akan sepi.
Namun, manusia yang meninggal tidak mengharapkan ucapan selamat (selamat tinggal), apalagi amplop, atau sekadar tamu yang menampakkan diri. Maksimal yang manusia meninggal harapkan adalah doa dari mereka yang masih hidup.
Sebelum jam 1 pagi aku pulang. Dan entah sampai jam berapa para lelaki yang begadang tadi berada di teras (tanpa mendoakan). Dan semoga dua perempuan yang duduk di bawah jasad tadi setia membaca(-kan) ayat suci. Agar saudaraku, seorang manusia yang kini sudah tak bernyawa lagi itu tak hanya mati dalam tatanan biologis akan tetapi juga tatanan kemanusiaan dan agama sebagai harkat makhluk yang mulia. Sebab manusia makhluk yang mulia, baik selama hidup pun ketika saat matinya.
Comments
Post a Comment