Fasilitasi
Langkah berjalan mundur cepat, waktu tergulung, tahun-tahun terlipat, lalu berhenti di masa ketika aku duduk di bangku paling depan mengerjakan soal ujian tengah semester kelas 3 SMP. Hanya ada beberapa benda yang legal berada di atas meja; kertas folio bergaris, pulpen, penghapus pena, dan lembar soal ujian.
Namun aku kecewa berat, karena soal yang tercantum di lembar itu berbeda sama sekali dengan apa yang sudah aku pelajari (atau hapalkan?) semalam. Kesal; merpati dari kertas yang biasanya dibuat dari lembaran buku yang tidak terpakai, saat itu kubuat dari kertas soal ujian. Pikirku dahulu mungkin: membuat kertas soal itu menjadi merpati adalah lebih baik daripada meremasnya.
Namun, ibu guru pengawas tetap saja tidak respect dengan perbuatanku. Pesannya: hargailah yang mengetik soal di kertas itu. Aku merasa bersalah, menyesal telah melakukannya. Padahal kalau dipikir-pikir sekarang waktu itu aku kecewa dengan sesuatu yang tidak begitu berkualitas dalam proses pendidikan seorang manusia, yaitu menghapal materi. Pun materinya berasal dari sumber yang itu-itu saja. Kita menyebutnya LKS.
Letak musababnya bukan pada siswa saja, melainkan sekolah dan tetek-bengek sistemnya yang berperan dalam perkembangan diri siswa. Aku berdiri di tulisan ini sebagai satu contoh (tentu banyak contoh dari orang lain). Sewaktu SMP aku punya beberapa minat atau hobi: sepak bola, menggambar, musik, dan komputer. Yang terakhir sempat mau dikembangkan, tapi tidak kesampaian. Sebabnya yang utama adalah fasilitas, baik di keluarga pun di sekolah tidak ada yang dapat membaca minatku dan kemudian memfasilitasi, hal mana yang sekarang aku pikir penting dilakukan, untuk menunjang kemampuan diri di masa setelah lulus dan menghadapi "kehidupan di dunia yang sesungguhnya".
Sebuah video muncul di beranda Youtube-ku, video dengan tema pendidikan (praktis), tema yang termasuk jarang muncul ketika aku menggeser ke atas layar HP-ku. Tak ada tokoh yang aku kenal dalam video itu. Namun topik yang dibicarakan sangat menarik.
JURUSANKU nama channelnya. Aku menyimak sebuah podcast tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sebuah topik yang tidak akan dikupas cukup dalam kalau tidak di channel khusus dunia pendidikan. Obrolan Ina Liem, hostnya, dengan narasumber Dr. Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO 2021-2025 sangat menarik untuk disimak. Dari sana aku menemukan apa yang salah dari proses pendidikanku di SMP bahkan sampai SMK.
Banyak problem yang turut menjadi faktor buruknya kualitas pendidikan di Indonesia, salah satunya adalah penerapan RPP oleh para guru yang tidak tepat. RPP secara sederhana adalah deskripsi tentang apa yang akan dilakukan oleh guru di dalam kelas bersama siswa. Tidak sedikit guru yang pandai membikin RPP tapi sebenarnya tidak paham esensinya. Apa yang dipraktikannya di dalam kelas itu sebenarnya buat apa? Arahnya ke mana? Terkadang hal yang mendasar demikian tidak terpikirkan oleh guru. Hal itu akan terkait juga dengan cara pandang guru terhadap kurikulum.
Kurikulum merupakan istilah yang hampir tidak akan dijumpai kecuali dalam dunia pendidikan, walaupun sebenarnya kalau dibedah kurikulum itu berasal dari kata kurir, bahasa Latin, yang artinya pelari. Dahulu digunakan dalam dunia olahraga pada masa Yunani Kuno. Para guru harusnya paham juga tentang ini. Karena kurikulum dunia pendidikan sebagaimana kita kenal sekarang dianalogikan sebagai tempat pacu lari seperti di zaman Yunani Kuno. Hal ini aku pahami dari keterangan Dr. Itje Chodidjah bahwa ada tangga-tangga menuju kompetensi yang hendak dicapai. Ada landasan pacu yang merentang dari garis start hingga finish. Itulah kurikulum.
Ina Liem yang juga seorang konsultan jurusan itu menceritakan temuannya: ada orang tua yang tidak tahu anaknya di sekolah suka membaca buku tertentu di perpustakaan, malah ia berkata, "anak saya ngga suka baca." Apakah itu salah orang tuanya? Mungkin iya. Tapi jauh lebih besar kesalahannya ada pada sekolah dan guru-gurunya.
Melihat diriku yang sekarang menggeluti buku dan suka menulis, aku hanya bisa berandai aku melakukannya dari dulu. Walaupun tidak bisa dipastikan akan sukses dengan buku dan menulis, setidaknya aku tahu aku bisa lebih baik dari sekarang. Begitu pun dengan bidang lain seperti musik. Aku masih bermimpi menjadi musisi ulung.
Comments
Post a Comment