Berhipotesis
Sebelum menikah bisa dibilang kita membuat hipotesis pada pasangan kita. Sepanjang periode pacaran kita tidak tahu bagaimana watak, kebiasaan, dinamika emosi pasangan secara sesungguhnya. Sebagian melakukan eksperimen dan menghasilkan kesimpulan. Namun percayalah pengujian variabel-variabel tersebut di masa pacaran tidak valid.
Untuk itu, saat ini aku selalu menjaga kesiagaan, tidak mudah mempercayai utopia rumah tangga yang penuh ketenangan. Apalagi sinawang kepada Denny Caknan bersama istri-anaknya yang berlibur ke Jepang.
Aku lebih percaya pada apa yang diperdengarkan kedua orang tuaku. Cemooh yang sama sekali menyapu kebaikan-kebaikan yang pernah. Dibalas bentak yang meluruhkan senda-gurau di kala hati sementara sejuk. Bunyi pintu yang tak pelan bertemu ambangnya.
Semua itu terekam abadi dalam memori otakku. Mengerak dan tak pernah mudah terkikis. Aku tidak percaya kedamaian rumah tangga namun pada saat yang sama aku adalah manusia pendamba kedamaian. Aku tidak suka dengan perkataan bahwa pertengkaran suami-istri itu hal wajar, bumbu pernikahan, bla bla bla. Bagiku, tidak sepatutnya orang menikah untuk bertengkar apalagi mewajarkan pertengkaran.
Maka, untukmu kekasihku, di kapal yang nanti akan terombang, dengan cara apa pun aku akan menciptakan kedamaian, meski kadang kala harus mengorbankan diri sendiri. Pengorbanan itu dalam sementara waktu tidak akan terlihat, namun aku yakin akan terakumulasi dan kelak tampak setampak-tampaknya. Tenang saja, aku akan selalu baik-baik saja. Anggap saja dinamika itu keniscayaan yang tak dapat dihindari.
Memang agama menjadi stimulan yang mendorong manusia buat menikah, dan obat penenang paling mujarab untuknya mempertahankan pernikahan. Tapi, sebagai makhluk berakal dan punya dimensi materi, aku sebagai manusia berhak memberikan makna pada pernikahan dan rumah tangga yang kelak aku jalani bersama kekasihku.
Di tengah badai yang menghadang kapal kita, kejayaan menjadi visi dalam hidupku. Oleh karenanya kamu menjadi alasan untuk aku mengejar kejayaan di dunia ini. Sebab, kamulah perempuan dengan cita-cita besar, tidak akan urung aku menjadi tangga untukmu menggapainya. Meski saat ini aku cuma laki-laki lemah yang tergolong kelas menengah dan berisiko tersungkur, setidaknya aku masih punya akal, tenaga dan waktu. Denganmu aku menjadi lebih kuat. Aku pasti bisa jauh lebih baik dari sekarang. Keyakinan itu menjadi motor penggerakku, tentu saja sambil berhipotesis.
Comments
Post a Comment