Farid dan Benaya Hanya Berhenti
Berhenti di lampu merah Ponolawen dari arah utara itu rasanya tidak nyaman. Menunggu lampu hijau di perempatan yang mempertemukan truk-truk besar tersebut hampir seperti menunggu kereta api lewat kemudian portal pembatasnya naik ke atas. Lama. Dan itu juga yang akhirnya membikin cemas. Karena truk-truk besar tadi. Sesekali aku menengok spion, memastikan di belakang truk-truk yang searah mengaspal dengan aman.
Berhenti tidak sama dengan selesai. Begitu yang kudapat dari Goenawan Mohamad dalam buku Pada Masa Intoleransi. Kecepatan kendaraan 0 km/jam di lampu merah tidak berarti perjalanan pengendaranya sudah selesai atau sampai tujuan. Namun bukan perhentian macam itu yang mau kumaksud.
Sebelum aku melintasi perempatan Ponolawen, hadirku baru saja mengisi ruang belajar bersama di Bumi Suja: bedah buku Reset Indonesia karya empat jurnalis yang tergabung dalam ekspedisi Indonesia Baru. Namun, belum rampung acara itu aku berhenti menyimak paparan dari Farid Gaban dan Benaya Harobu (salah dua dari empat jurnalis yang hadir di Bumi Suja). Mengapa?
Alasan pertama, karena aku sudah bilang ke Yosa, kekasihku di kejauhan sana, untuk tidak pulang terlalu larut malam. Sebelum beranjak ke alasan kedua aku ingin mengatakan kalau acara itu dilimpahi pengetahuan. Seperti yang dikatakan Farid Gaban di sana kalau gagasan hasil dari ekspedisi mereka yang dituangkan dalam Reset Indonesia menggabungkan sumber primer yaitu empirik dan sekunder (data-data).
Aku mantap memutuskan berhenti menyimak dan pulang setelah Benaya mengungkap bahwa investasi kawasan industri di Indonesia yang digadang menyerap banyak tenaga kerja itu pada kenyataannya makin ke sini kuantitas serapnya justru terjun bebas. Dalam buku Reset Indonesia halaman 78 menyebut Kajian Kamar Dagang Indonesia pada 2013 menunjukkan bahwa setiap Rp 1 triliun investasi bisa menyerap 4.500 tenaga kerja. Namun pada 2021 turun menjadi 1.300 orang.
Di sisi lain, sektor pertanian dan kelautan sudah tidak menjadi idaman sebagian besar anak muda di Indonesia. Itu alasan kedua.
Dari limpahan pengetahuan di dalam forum itu aku memilih tidak mengambil semua. Atau sebaliknya, tidak semua dapat aku ambil. Terlalu banyak pengalaman yang dua jurnalis itu punya untuk dibagikan. Bahkan ketika mereka malam ini selesai memaparkan gagasan Reset Indonesia, terlalu naif untuk mengatakannya selesai. Aku berhenti. Mereka hanya berhenti.
Comments
Post a Comment