MAPALA dan Kesan Pendakian Bukit Pawuluhan (Sebuah Catatan)

foto: Eko Sup

Di pendakian keduaku ini aku tidak akan bercerita tentang Nik. Bukan beralasan aku sudah tidak lagi mendambakannya, atau sudah terkikis rasa yang pernah terbentuk oleh masa yang terus mengalir. Semua itu masih menggantung di atas kepala, terngiang di sisi pendengaran, tidak tahu akan sampai kapan. Sebab Nik telah tanpa sengaja membuat setangkai mawar merah yang telah memudar menjadi kecoklatan tiba-tiba merona merah kembali. Apa maknanya kau bisa menafsirkan sendiri.

Usai. Cukup satu paragraf saja kusinggung ia. Selebihnya aku akan bercerita tentang salah satu hari penuh kesan yang pernah terjadi di hidupku.

Dimulai dari detail pendek destinasi pendakian keduaku. Ialah Bukit Pawuluhan. Terletak di Klesem, Kecamatan Kandangserang, Kabupaten Pekalongan. Berada pada ketinggian kurang lebih 1176 mdpl. Itu saja kukira sudah cukup memberi informasi padamu barangkali belum pernah ke sana dan ingin mendirikan tenda di atas rerumputannya.

Aku adalah seseorang yang tanpa sengaja tergabung ke dalam kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA STIKAP) di kampusku. Pada 2019 di dalam DIKSAR (Pendidikan Dasar) MAPALA tersebut ketidaksengajaan itu terjadi. Yang awalnya aku di sana sebagai tamu undangan, tanpa dikehendaki dan tidak tahu apa-apa sebelumnya di acara inti, yakni semacam acara penobatan sebagai anggota kelompok tersebut, aku ikut bersama peserta DIKSAR didapuk sebagai anggota MAPALA. Padahal tidak sedikitpun aku berminat pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang satu ini. Namun setelah melihat percikan semangat yang tampak lamat tapi tajam aku mencoba beringsut dari ketidakberminatan dulu.  

Pada suatu ketika aku dihinggapi jatuh cinta pada seorang wanita yang ternyata telah ada yang punya. Tak perlu kusebut namanya, karena kau pasti telah tahu siapa. Juga di awal aku telah mengatakan tidak akan bercerita tentangnya. Dalam DIKSAR berikutnya (2020) pada saat itu berdestinasi di Rogojembangan perasaan galau akibat jatuh cinta yang menjatuhkan mendorongku pada aksi mirip Fiersa Besari yang memilih pergi ketika hatinya dirundung lara oleh karena cinta.

***

Pada perjalanan menuju titik pemberangkatan ke Bukit Pawuluhan aku mengendarai sepeda motor matic memboncengi teman perempuan. Dan hal yang tak kukatakan kepada pembonceng ialah bahwa kedua rem tidak berfungsi dengan normal—kepadanya aku sampaikan maaf, harap maklum ya (dengan sedikit seringai).

Jalan yang kami lewati jika kumiripkan seperti sirkuit Moto GP, bukan main sungguh memacu adrenalin. Yang paling membuat ketar-ketir adalah ketika jalanan turun dan jalan berlubang atau keduanya. Hanya bisa berusaha sekuat tenaga mengendalikan laju roda dengan rem seadanya. Sambil menahan napas. Kadang sampai mengumpat juga.

Pendakian kali ini kami berlima belas. Tiba di titik pemberangkatan pukul 6 sore. Mulai mendaki pukul 7 malam. Belum sampai sepertiga jalan fisikku sudah kelelahan. Hal ini membuat yang lain harus menungguku sejenak istirahat. Wajar saja, sebab aku sudah tidak pernah olahraga. Untuk saran saja bagi teman-teman yang ingin melakukan pendakian, meskipun sudah jarang olahraga, sebelumnya harus ada persiapan fisik minimal dengan jogging. Agar tidak terjadi kaget pada tubuh ketika memulai pendakian. Memang sih tidak berlangsung sepanjang jalan menuju puncak, akan tetapi ini akan menambah waktu tempuh yang seharusnya dapat lebih singkat.


foto: Caqil


Gelap kami terabas. Banyak menanjak, sedikit menurun, sesekali landai, begitulah perjalanan ketika berangkat.  Dengan sorot senter berbagai jenis trek terlihat, mulai dari yang sudah cor-coran hingga jalan setapak yang sebelah sisinya jurang. Harus hati-hati betul. 

Kami sampai di puncak bukit sekitar pukul 9 malam. Langsung kami mencari lahan yang aman dan nyaman. Kemudian mendirikan tenda di atasnya. Sebentar malam itu kami isi dengan canda tawa selepas-lepasnya. Lalu makan bareng. Tidur bareng (cowok-cewek terpisah ya). Ada yang pulas tidur, ada yang tidak bisa tidur karena hirau pada flysheet yang seperti mau fly beneran. Anginnya gede, guys. Baru mulai mereda jelang Subuh. Tapi kalau saat itu kau melihat ke atas, langit malam sungguh mempesona. Bintang gemintang bertebaran bagai pecahan berlian. Sayang tidak ada kamera yang memadai untuk menangkap pemandangannya.

foto: Merah

Keesokan harinya giliran keindahan pemandangan gunung menjelang sunrise yang memesonakan mata kami. Beberapa gunung yang nampak siluetnya antara lain gunung Sindoro dan Sumbing. Juga di sisi yang lain nampak gunung Slamet. Warna-warna langit terlukis begitu indah pagi itu. Di titik inilah titik yang para pecinta alam cari. Lalu mereka mengambil banyak-banyak gambar diri di sana tanpa kemudian memperlakukan alam dengan baik (aku melihat di sekitar tenda kami masih banyak ditinggalkan sampah-sampah plastik). Apakah demikian sikap pecinta alam yang mencintai alamnya? Kalau iya, tidak berbeda dengan seorang lelaki yang mencampakan wanita saat ia telah menikmati keindahan tubuhnya. Alam memberi manusia tanpa berharap menerima. Maka apresiasi apa yang patut manusia lakukan?

***

Sebentar kami sarapan sebelum berbenah dan akhirnya menempuh perjalanan turun bukit.

Tidak seperti berangkat, perjalanan pulang ke titik pemberangkatan terasa lebih baik. Karena terang melingkupi dan otomatis jalanan yang kemarin terlihat samar-samar kini jelas terpampang. Di sisinya terkadang kami menjumpai warga desa sekitar tengah makarya (bekerja). Ada yang bercocok tanam atau sekadar mengawasi tanamannya, ada yang mengangkut kayu, dan yang paling jarang kami jumpai di tempat lain ialah ibu-ibu yang tengah menghimpun tangkai-tangkai tanaman yang banyak berjejer sepanjang perjalanan menjadi semacam sapu sorgum. Sapu lantai tradisional yang masih eksis hingga sekarang.

Yah, trip ini amat berkesan bagiku. Sepulang dari Pawuluhan aku seperti kehilangan sesuatu, yakni kebersamaan selama perjalanan.

Itu saja ceritaku tentang pendakian ke Bukit Pawuluhan. Semoga di lain waktu masih diberi kesempatan untuk mendaki ke destinasi yang tidak kalah mengesankannya. Dan lewat ini aku titip sayang untuk Nik. Semoga ia membacanya.

Salam lestari!

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)