AI Keren!
Terdengar baik bahwa AI akan masuk kurikulum di tahun ajaran baru mendatang. Harapannya anak-anak yang digadang sebagai generasi emas 2045 itu bisa menciptakan AI-AI baru. Sekarang aku yakin kalau memasukkan AI ke dalam pelajaran di sekolah tidak arif dan sangat belum tentu membawa kegemilangan bagi negeri ini.
AI bagi sebagian kalangan dianggap buruk. Banyak tren AI yang menuai kontra. Seperti belum lama kemarin warga Indo yang memakai style Ghibli Studio dari Jepang untuk foto rupa mereka sehingga tampak sebagaimana manga tanpa harus menggambarnya dengan susah. Dan betul ramai pula yang menaikkan simpatinya terhadap seni di media sosial berikut foto dan hasil karya seniman Ghibli, Hayao Miyazaki yang dibuat bertahun-tahun. Orang-orang seakan bersenang-senang dengan hasil kilat AI meng-generate foto mereka sementara sang seniman dengan dedikasinya tetap menciptakan karya dengan pikirannya sendiri tanpa bantuan AI. Begitu kira-kira yang simpatisan itu suarakan.
Memasukkan AI ke dalam kurikulum pendidikan negeri ini termasuk lompatan yang secara strategis sulit menghantarkan subjeknya ke titik yang dituju. Sebab pemerintah sepertinya tidak mau melihat kenyataan bahwa sistem pendidikan yang sudah berjalan tidak meningkatkan literasi para siswa. Bahkan belakangan dalam hal kemampuan dasar seperti menghitung pun banyak siswa yang tidak cakap.
Cania Citta di channel Malaka pernah memaparkan sebuah analisa tentang level pendidikan di Indonesia. Ada 5 level dan Indonesia masuk di level 1. Cania menamakannya level "poor". Iya, terendah. Dan apa yang perlu dilakukan saat ini bukan menerapkan pendidikan seperti di negara yang sudah maju (pendidikannya). Tidak tepat. Cania mengumpamakannya seorang yang membangun rumah yang masih pada tahap fondasi tapi melirik tetangganya yang sudah pasang genting lantai 2 lantas ia meniru. Tidak make sense.
AI itu identik dengan kemajuan tapi sebenarnya dekadensi pengetahuan banget. Sapiens-nya Yuval Noah Harari adalah sindiran untuk perilaku mengelu-elukan AI apalagi sampai mau diajarkan di sekolah. Pengetahuan orang-orang pemburu-pengumpul, di zaman yang terpaut puluhan ribu tahun dari sekarang jauh lebih luas. Harari menilai sosok seperti guru sejarah saja di masa modern ini pengetahuannya sempit. Apalagi tukang AI. Secara kolektif peradaban sekarang jauh lebih maju. Tapi secara individu kalah dengan manusia pemburu-pengumpul yang dapat mempelajari banyak hal di sekitarnya pun internal dirinya sendiri sehingga menunjang kemampuan bertahan hidup. Bukankah literasi itu kemampuan dalam mengolah pengetahuan untuk kecakapan hidup?
Comments
Post a Comment