Senin, Selasa, Sedih
Mengapa ya harus ada perasaan sedih? Demikian sedihnya sehingga aku memikirkan hal itu. Padahal ada hal lain yang pasti mendesak untuk dipikirkan.
Jadi, dua hari lalu, pagi-pagi langit sewarna kain bernoda. Keruh. Namun tak menurunkan satu tetes air pun. Aku memandanginya di teras sebuah rumah sakit.
Ibuku di ruang IGD. Bapakku sudah turut masuk ke sana. Aku menunggu di luar. Langit pandai meningkahi perasaanku yang bahkan tak kuungkap.
Saat aku sedang terpaku di kursi kayu dengan alas duduk busa dekat meja security, temanku mengirim chat berisi video tempat kerja barunya. Aku menjawabnya dengan melempar candaan, "Sekarang kerjanya sudah enak, ya."
Baru empat hari ia tidak lagi menjadi teman kerjaku. Entah kenapa aku kehilangan momen-momen yang pernah kami lewati bersama. Waktu temanku (ada beberapa) yang lain dulu meninggalkan kantor, aku tidak merasa sesedih ini. Sampai-sampai tak kuasa menahan air mata.
Entah kenapa. Pasti ada hal yang istimewa. Sependek ingatanku, ialah teman yang selalu dengan senang hati aku ajak bermotoran, bergantian membonceng, pergi mengurus sesuatu di tempat jauh.
Sependek ingatanku, ialah teman yang mendengar ceritaku meski matanya sibuk mengamati layar HP di waktu sore yang katanya sebagai hiburan selepas siang yang ada saja "ancamannya". Aku tak lupa ia selalu menambahkan air ke kopinya berulang kali setelah habis ia seruput. Aku heran bagaimana bisa.
Namun kali ini aku tidak lagi heran, pun tidak lagi melihatnya. Tepatnya di kursi kayu reot dekat dispenser. Tidak hanya di situ. Hatiku sesak juga ketika berada di ruangan yang berisi komputer yang biasa ia pakai. Padahal ruangan itu belum lama ia tempati. Juga di mushola aku teringat ia sholat di belakangku dua hari lalu. Sendu sekali suasana sampai aku tak betah.
Inilah isi hatiku sedalam-dalamnya. Aku tidak tahu harus menceritakannya ke siapa. Dan aku tak mau juga menangis di depan orang lain.
Comments
Post a Comment