Suatu Ketika di Sebuah Konser Iwan Fals


Sesak sekali jalan-jalan dipenuhi manusia. Kebanyakan anak muda. Entah, aku tidak tahu mengapa musisi setua Iwan Fals penggemarnya anak-anak muda. Tapi, suasana konser jadi mengesankan: orang tua sampai anak kecil semua gegap gempita menyambut lagu "Bongkar".


Manusia-manusia bertebar di mana-mana. Ada yang bertengger di masjid, warung lesehan sego megono, angkringan sing bakule ayu, di bazar buku depan Perpusda, seperti aku yang malam ini bersengaja memburu novel-novel murah, yang berkisah tidak jauh dari persoalan asmara.

Gema sound system menyebar ke seluruh penjuru alun-alun. Pembawa acara menyerukan pada semua penonton untuk menyambut kehadiran Iwan Fals di panggung. Dua novel yang sudah di tangan segera saja aku larikan ke meja pembayaran.

Keluar dari bazar buku aku dihadang berhimpit-himpit orang yang berjalan dengan arah masing-masing. Beberapa kali langkahku terhenti oleh anak muda bersepatu yang melintas. Rekaman suara pedagang tahu bulat yang berulang-ulang beradu dengan sayup-sayup suara Iwan Fals di kejauhan. Aku semakin terburu-buru, ingin segera hadir di tengah riuh penonton.

Himpitan manusia tambah sesak ketika sampai di lapangan. Orang tua menggendong anaknya, anak muda bergerombol dengan teman-temannya, penjual minuman yang memikul penampan di atas kepalanya. Juga pasangan kekasih, salah satu mereka duduk di tepian. Aku bergeming melongok wajah Iwan Fals di layar plasma.

Satu lagu usai dimainkan. Penonton bersorak. Aku urung menerabas, berdesak-desak, dan memilih duduk di samping perempuan yang bersama kekasihnya itu.

Sepasang kekasih ini tak peduli mereka menyaksikan pertunjukan musiknya atau tidak. Toh, dunia hanya tentang mereka berdua. Orang-orang di sekeliling menjadi pengiring kemesraan. Dan tembang "Kemesraan" sendiri kelak mengiringi kemesraan mereka.

Kepala perempuan yang terbalut kerudung cokelat muda menyandar di bahu si pria. Mereka sama-sama berpadu suara melantunkan reff "Yang Terlupakan" yang sebenarnya tak cocok maknanya buat sepasang kekasih.

Hanya saja, suara si perempuan mengingatkanku pada suaramu. Kecil, cempreng, lucu, manja. Andai saja kamu dulu menerimaku, mungkin sekarang aku tak ke sini sendiri. Tapi apa kamu mau? Karena kesukaanmu itu musik rebana. Kamu lebih suka datang ke majelis sholawat apalagi ada Az Zahir.

Mungkin salahku juga, menyukai perempuan dengan lingkungan agama yang kuat sepertimu. Seorang pengajar di pesantren. Sangat Islami. Mencintai ilmu-ilmu agama yang penuh dengan dalil dan petuah dari bahasa Arab. Aku tak melihat diriku yang menyukai lagu religi saja tidak.

Malam Minggu. Aku jadi teringat sebuah momen di mana pertama kali perasaan sayangku merambat.

Hujan gerimis tak kunjung berhenti. Sedangkan kamu ingin menemui temanmu di tempat yang jaraknya tak dekat. Cukup ramai mahasiswa di ruang organisasi. Baru selesai rapat. Lalu entah apa alasannya kamu memintaku mengantarkanmu.

Kita berangkat naik sepeda motormu. Aku mengenakan jas hujan, kamu berlindung dari hujan di belakang punggungku. Entah spontan atau bagaimana, lengan kananmu menggelung tulang rusukku. Sebelumnya tak pernah aku memboncengi perempuan. Dan kamu jadi yang pertama.

Esoknya aku memberanikan diri menanyaimu perihal perasaan. Jawabanmu, "hatiku sudah ada yang menjaga."

Kembang api meluncur menggapai-gapai langit tanpa bintang.

Ibu-ibu nglemprak di atas tikar. Beberapa penonton yang berhambur meninggalkan konser. Dan perempuan itu, ternyata ia sudah beringsut dari bahu kekasihnya.

Ketika aku menoleh tak sengaja aku melihat wajahnya. Dan di waktu itu pula aku melihatmu. Bukan wajahnya mirip wajahmu. Melainkan aku telah memastikan itu memang kamu.

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi t'ramat banyak untuk disebutkan
Hentikan hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian
Dan keserakahan


Lirik-lirik lagu terus bergulir menerabas ribuan manusia. Ada yang sadar. Pun tak sadar; terhuyung-huyung dipapah keluar dari kerumunan. Pun tak sadar; terkesima hanyut dalam musik dan lirik tanpa makna. Seperti sehari-harinya tenggelam dalam tumpukan citra kerakyatan rezim yang ilusif.

Untuk apa punya pemerintah
Kalau hidup terus terusan susah


Suara pedagang siomay di belakangku sumbang menirukan nyanyian keresahan itu. Nyanyian sarat kritik di tengah kantor-kantor pemerintah yang sudah tutup semenjak Jumat sore.

Tak begitu hirau. Pedagang itu tetap menusuki tahu dan pare dengan riang lantas memasukkannya ke plastik. Dan tak lupa bertanya pada kostumernya, "Pakai sambel tidak?" Mungkin nyanyian sumbangnya tadi sekadar serta-merta saja dari pikiran yang terbiasa penuh akan kebutuhan pokok keluarga. Belum lagi anak-anaknya yang sekarang baru masuk tahun ajaran baru.

Lagu satu habis, berganti lagu lain. Suara Iwan Fals tak habis dikuras berpuluh lagu-lagunya.

Keramaian mulai berkurang. Jalan-jalan tak lagi sesak orang. Sedang hatiku kini sesak oleh kenangan. Dan seharusnya aku tak datang. Jika akhirnya aku pulang dengan ngiang lirik kesedihan.

Rasa sesal di dasar hati diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari kenyataan ini
Pernah ku mencoba tuk sembunyi
Namun senyummu tetap mengikuti

Comments

  1. Episode terbaru tentang Nik?

    ReplyDelete
  2. keren mas aku suka baca tulisan mas, semangat terus berkarya!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mimpi

Keusilan Hujan

Baskara dan Suicide Idea