Mensyukuri Dulu

Sampai hari ini sejak lima tahun lalu aku melalui waktu khususnya waktu Senin-Jumat hampir sebagian besarnya dengan beban pikiran yang laten. Soal pekerjaan. Yang bagi ukuran orang normal ini tidak biasa. Ada sesuatu yang salah. Entah dari diriku atau pekerjaan di tempat itu.


Problem-problem yang ada saling bersusulan datang. Kau pasti tahu, masalah ada untuk diselesaikan. Dan aku sedikit takut untuk mengatakan kalau jenis masalah yang aku hadapi adalah yang belum selesai tapi sudah 'mendarat' masalah baru.

Apesnya, ini berkaitan dengan uang. Nah, itu mungkin pangkal masalah sebenarnya. Semua orang butuh uang. Ketika orang mengeluarkan uang dalam proses transaksi artinya ia berhak mendapatkan sesuatu dari sejumlah uang yang telah ditukarkan dengan sesuatu tersebut.

Lalu bagaimana jadinya jika orang itu tidak atau belum mendapatkannya? Ada banyak kemungkinan. Paling ringan ia mengelus dada, mencoba sabar. Paling berat ia marah dan membawa polisi.

Artinya, aku tergolong penjahat. Begitu aku merasa. Seperti sudah siap menanggung hukuman. Rasanya itu kira-kira "hidup segan mati tak mau". Dalam kepalaku tergambar adegan menusuk dada atau terdengar teriakan putus asa, "bunuh saja aku!". Tapi, kejadian tempo hari pas jantung berdegup kencang dan aku sulit mengendalikannya, sudah takut bukan kepalang. Takut kalau sampai mati saat itu.

Kemarin ada persoalan dalam pekerjaan yang sudah lama tidak terselesaikan karena sulit dalam tataran administrasi dan birokrasi eksternal, yang mulai terang. Artinya selangkah lagi akan selesai. Dalam hati aku membujuk dan memohon kepada diriku sendiri untuk mensyukuri dulu beban apa yang sekarang berkurang--di tengah kubangan beban holistiknya.

Terima kasih.

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)