Bohong, Bohemian (Sebuah Cerpen)



“Iya, aku memang pengecut. Bukan merayunya, aku justru bernyayi,” ucapnya pelan namun terkandung perasaan yang berat sekali. Pandangannya hanya tertuju pada karang-karang imitasi di sekeliling kolam ikan depan rumah. Namun bukan benda itu yang tergambar di dalam pikirannya. Melainkan acara pentas seni musik di SMA Tunas Bangsa yang menampilkan grup-grup musik seantero SMA dengan beragam jenis musik, unjuk kemampuan memeriahkan event itu.

Bohemian mempersembahkan pertunjukan musik akustik dengan gitar bolong dan satu set drum kecil yang dimainkan seorang siswa lainnya. Sebagaimana yang memang senang ia mainkan, alat musik itu dianggap sebagian orang sebagai penunjang pesona seorang pria di mata para wanita. Konon.

“Cewek itu suka sama cowok yang main gitar, Yan,” ujar Yudi teman sebangkunya saat sedang berlangsung jam pelajaran matematika. Perlu diketahui pengajar matematikanya ialah Pak Sugeng “sang monster”. Demikian siswa SMA Tunas Bangsa menjuluki. Tak satu pun siswa yang pernah terjauhkan dari “aumannya”. Lebih-lebih Bohemian, siswa paling pelamun di kelas. Persis usai Yudi menyatakan kalimat yang seakan telah menjadi sebuah aforisma itu pikiran Bohemian bersafari di alam khayal. Membayangkan bagaimana suasana ketika dirinya berada di sebuah padang sejuk di bawah pohon nan rindang ia memetik dawai-dawai dengan merdunya, kemudian sang gadis idaman pun menghampiri dan berdecak kagum. Sampai penghapus papan tulis meluncur ke arah jidadnya-- Bohemian kembali di kelas matematika Pak Sugeng dengan jantung berdentum.

Ia dihukum, lari mengelilingi lapangan basket 10 kali, karena lamunannya.

Pak Sugeng mengawasi sampai separuh “lap”. Bohemian pun tak mau kalah, ia melirik setiap langkahnya sampai di sudut lapangan yang berada di depan kelasnya. Keduanya saling mengawasi. Bukan tak beralasan, Mata Bohemian melirik hanya untuk memastikan Pak Sugeng masih di ambang pintu kelas ataukah beranjak masuk. Dan ketika separuh “lap” telah dilaluinya ia berhenti. Lalu diam-diam meninggalkan hukuman itu—pulang ke rumah.

**

"Sekarang panggung-panggung itu diisi tarian impor"

Beruntung ayah Bohemian bukan seorang polisi pamong praja. Ia hanya sedikit terkejut saat anaknya membuat gerbang rumahnya berderit dan terdorong ke dalam. Semula ia yang tengah terpaku pada tanaman cangkokannya sontak beringsut menghampiri bocah berseragam SMA yang juga tengah bergegas menghampiri sang ayah.

“Secepat ini?” Raut muka ayahnya menggambarkan kebingungan namun Bohemian justru nampak bersemangat. “Ini masih jam 9,” ujar ayahnya setelah melirik jam dinding yang terpampang di sisi luar rumah. Di sana jam dinding itu tidak sendiri. Terdapat beberapa ornamen yang sengaja dipajang oleh ayah Bohemian antara lain lukisan alam pegunungan dan alat musik seperti biola dan gitar yang sudah tidak terpakai.

“Tadi ada rapat guru, Yah. Dipulangkan.”

“Masih jaman ya?”

Nggak apa-apa, Yah. Yang penting Mian dan temen-temen bagus-bagus nilai ulangannya,” tukas Bohemian selagi duduk di kursi teras, melepas sepatu.

“Ayo latihan sekarang, Yah.”

Ayahnya semakin mengernyitkan dahi. Ia mulai curiga dengan kepulangan Bohemian yang tidak biasa itu. Lantas berdirinya beranjak menuju duduk di kursi teras satunya. Tatap matanya masih lekat kepada wajah tirus si Bohemian yang sedari tadi menyimpan hasrat besar. Dan ayahnya tahu sekarang semangatnya telah berbeda dengan kemarin sewaktu diajak oleh sang ayah untuk berlatih memainkan gitar yang tampak sangat malas-malasan. Tapi apa yang membuatnya berubah?

“Kemarin Mian sedang capek, Yah... jadi maaf kalau tidak semangat. Sekarang ayo latih Mian lagi,” dalihnya sembari tersenyum penuh rayu.

“Terus terang Ayah senang melatihmu. Tapi semangat Ayah sekarang seperti semangat kamu kemarin,” Bohemian merengut mendengar perkataan ayahnya itu. “Ayah mau tahu dulu kejujuranmu. Ada apa kamu pulang jam segini?”

Demi bisa berlatih bermain gitar akhirnya Bohemian menceritakan kepada ayahnya apa yang terjadi padanya di sekolah sejam yang lalu. Mulai dari hukuman sang guru sampai tindakannya sehingga ia dihukum, dan pernyataan Yudi yang memicu tindakan itu. Pernyataan yang membuatnya pulang secepat ini. Pernyataan yang juga disepakati ayahnya.

 “Tapi perlu kau tahu, Mian, musik, juga seni-seni yang lain, sering tidak punya tempat di masyarakat arus utama. Terutama seni dari seniman sejati.” Ayahnya menarik napas dan mengalihkan pandangnya pada foto di bawah jam dinding. Nampak potret klasik dirinya berkostum ala tokoh pewayangan bersama kawannya tengah mempentaskan suatu tarian. “Dulu ayah pentas di atas panggung. Sekarang panggung-panggung itu diisi tarian impor. Jika pikiran ayah telah berada di jalan buntu ayah mungkin akan seperti kawan ayah itu... membuat panggung sendiri di tengah jalan raya, saat orang terpaksa berhenti, dan kebanyakan mereka enggan melihat tarian tradisional yang tersaji dengan musik seadanya.”

“Tak perlu risau memikirkan sisi buruk selagi sisi menariknya masih ada. Sewaktu muda ayah pernah disukai lima wanita dalam satu waktu,” sang ayah mengimbuhi. Bohemian semakin menggebu mendengarnya. Ayahnya mendorong pintu harapan hingga semakin terang ia terlihat. Namun tak muluk-muluk sampai lima wanita. Bohemian hanya berharap satu yang menyukainya, ialah sang ketua OSIS SMA Tunas Bangsa. Raden Ajeng Kartini yang nampak di bola matanya ketika suatu Senin karisma sang ketua OSIS tampil sebagai pemimpin upacara. Sejak saat itulah Bohemian jatuh cinta—untuk pertama kali. Dengan cara apa pun ia ingin mendapatkan hati sang pujaan hati. Namun apa daya seorang Bohemian sang empunya hening di antara keramaian. Terbatas geraknya meraih perhatian Kartininya itu.

***

Bohemian melangkah menuju panggung. Dan hari itu adalah saat yang tepat pikirnya. Untuk menyanyikan lagu cinta yang sering didengarnya di malam-malam tertentu dari speaker tape dari kamar sang ayah. Dua minggu siang malam belajar dari nol, Bohemian telah kuasai chord-chord dasar. Itu cukup untuk mengiringi suaranya yang bisa dikata lumayan merdu.

Sikapnya yang pendiam tak menjadi halangan langkahnya naik ke atas panggung lalu bernyanyi penuh cinta. Barangkali cinta itu pula yang memberinya keberanian lebih. Benar-benar tak disangka seluruh pasang mata di bawah sana. Bocah pendiam itu turun menyibak penonton: siswa-siswa SMA yang setia menyaksikan satu demi satu penampilan grup musik sekolahnya hari itu. Bohemian melirik sang Kartini yang tengah berdiri. Tak lama sebelah tangan lelaki meranggeh tangan indahnya. Bobi, si raja rayuan di sekolah itu pemiliknya.

***

Dari balik jendela ayah Bohemian melihati dan terpaku pada anaknya yang jatuh hati lantas jatuh pula perasaannya setelah terbang setinggi elang. Kaca di hadapnya menyerap kata-kata maaf untuk “selorohnya” seminggu silam. “Ayah hanya ingin mengatakan pada diri ayah sendiri bahwa lagu itu bukanlah pengantar hati menuju remuknya.” Ia berlalu memasuki kamarnya yang sudah 5 tahun ditinggal oleh kekasih, teman hidup, wanita terakhir yang dipintanya dengan lagu itu. Sepotong liriknya merambat di sela udara hingga sampai ke telinga Bohemian.

Kuingin jalani bersamamu coba dengan sepenuh hati

Kuingin jujur apa adanya ....

Dari hati [*]

 

Tak seperti saat-saat yang telah lalu, kali ini lagu romantis itu terdengar bagai sorakan: “pengecut... pengecut... pengecut...”

 

[*] Club Eighties - Dari Hati

 

Comments

  1. Cerpennya bagus, main gitar demi sang pujaan hati. Ayahnya juga bijak ya, semangat nulis cerpen lagi ya!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih... 😊 Subcribe bwt dapatin update terbaru merahmuzaki

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)