Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)
Mendung lama sekali bertahan di langit. Menjelang tengah hari, gelap masih bergelantungan, sedikit gerimis tetesnya jatuh di pelataran. Perlahan hujan tumpah. Ia menyerah. Rencana pertama di hari sulung tahun 2020 bersama gadis pujaan hati yang telah dilukis rapi, luntur oleh hujan.
Rencana bermula
kemarin, saat senja mulai menegur sapa, tiba-tiba datang menghampiri sebuah
pesan WA dari kontak yang setiap malam satu 'ping' pun tak pernah ketinggalan dikirim ke nomor itu dan tak
pernah pula mendapat balasan.
["Besok tahun baruan bareng, yuk."]
Di senja yang sukar
dikenal karena parasnya yang tak cerah itu sampai ke dalam hati si Pemuda
tertegun, "Oh Tuhan, mimpi apa aku semalam? Seorang yang selama ini
melirikku saja tidak, sekarang mengajakku tahun baruan?" gumam Pemuda itu
seolah tak percaya. Akhirnya hanya kata"iya" yang ia balaskan, dengan
emoticon senyum termanis menghias di
sampingnya. Kemudian puluhan obrolan bersambung hingga hari ini.
***
Dunia memang menjadi tak terbatas lagi dengan mewabahnya internet, meski begitu seyogyanya membaca tetaplah dijadikan sebagai jendela dunia.
Bukan semata untuk
menunggui hujan berhenti, atau menanti balasan perasaan dari gadis pujaan
hatinya, tidak pula tengah meratapi kegagalan akan rencana mereka. Tapi memang ia seakan betah
berlama-lama di tempat itu. Ruangan itu tidak mewah, luasnya juga tidak sampai
melebihi luas ruang kelas di mana ia sekolah dulu. Bila musim hujan seperti
sekarang lantainya basah sampai digenangi air karena bocor. Berantakan pun iya.
Tapi di tempat ini entah mengapa tidurnya bisa lelap. Punggungnya seperti merebahi
kasur hotel, padahal kenyataannya itu hanya kasur bekas yang dibeli di pasar
loak, tipis setipis bokong orang dewasa dengan berat badan 35 kilo. Kenyamanan
ini sudah teruji. Tapi si pemuda malah merasa diuji. Ketika jam bangun tiba
tubuhnya berat untuk sekadar duduk dan menyalangkan mata. Ketika akan melangkah
keluar kakinya seperti digenggam entah oleh suasana atau mungkin benar kata
temannya, kalau di sini singgah sewujud demit? Ia ingin pulang. Tapi tubuhnya
berat ketika jiwanya mengajak pulang. Ia rindu rumah walau itu untuk sekadar
makan masakan ibunya.
***
Nama ruangan ini ialah
Ruang Penggapai Mimpi-singkat saja RPM. Berdiri di sudut timur, bersebelahan
dengan pintu di sisi yang dekat kamar kecil milik sebuah kampus. Ruangan ini
berisi satu lemari, satu meja, satu dispenser, satu kipas angin, dua kasur
tipis, dan banyak kardus beserta berkas milik organisasi mahasiswa Juga ada
buku-buku yang tidak pernah terbaca. Sudah jadi kewajaran, anak muda sekarang
lebih suka nonton video musik cover,
video informasi semacam acara televisi On
The Spot, video makan-makan, dan lainnya di Youtube. Atau bermain game
online macam Mobile Legend, atau PUBG
di HP mereka masing-masing. Dunia memang menjadi tak terbatas lagi dengan
mewabahnya internet, meski
begitu seyogyanya membaca tetaplah dijadikan sebagai jendela dunia.
***
Beruntun, dua motor
tiga orang berhenti di depan. Di bawah kanopi satu demi satu helm ketiganya
dilucuti beserta jas hujan yang kemudian mereka sampirkan di atas motor mereka.
Wajah-wajah yang tak asing namun juga tak begitu akrab. Tanpa kabar, beberapa
senior hari ini datang berkunjung. Senior-senior inilah yang dulu
menginisiasikan RPM sampai eksis hingga sekarang. Dan mereka tidak kaget usai
tahu tempat yang dulu susah dibangun sekarang jadi tempat menginap, sebab
mereka pun dulu melakukan hal sama. Tapi, ada perbedaan yang terlampau cukup
jauh.
"Gimana kabar
kampus ini?"
"Baik, Kang."
"Sekadar baik
saja?"
"Ya, seperti yang Kangmase lihat."
Mata mereka memandangi
gedung kampus dan sekitarnya lalu saling berkata lirih, "sekarang sudah
banyak ya ruang kelasnya."
"Iya, Kang,
begitulah." sambung si Pemuda, "mahasiswa sekarang sudah pada rajin
membayar."
Pemuda itu tahu kalau
dulu banyak mahasiswa yang tidak mampu membayar. Berbeda dengan sekarang di
mana mahasiswa kebanyakan dari kalangan orang-orang yang sudah bekerja dan
membayar uang kuliah dengan sebagian upah mereka.
"Gimana organisasi
mahasiswa? lancar?"
Agak ragu jawabnya.
"Lancar..."
"Kami dengar kalau
kegiatan mahasiswa sekarang kendor. Apa benar...?"
"Iya, Kang,"
rautnya mulai cemas. "Kami terkendala waktu. Waktu kami tersita lumayan
banyak di pekerjaan."
Para senior tidak
sontak mencecar. Hening menyela sejenak. Ada rasa prihatin di hati mereka.
"Tidak seharusnya
kalian bekerja sekarang."
Si Pemuda mengangkat
kepala, ditatapnya senior itu dengan perasaan yang tiba-tiba bercampur. Marah,
tersinggung, malu, bersalah jadi satu.
"Saya membayar
biaya kuliah dengan kerja. Lalu, bagaimana saya kuliah kalau saya tidak
kerja?!"
Hening kembali menyela.
"Tolong jawab
pertanyaanku," yang lain mencoba memecah hening dengan kata dan tatapan mata yang amat
serius. "Apakah kau merasa sangat betah di sini sampai ada rasa susah
meninggalkan tempat ini?"
Pemuda itu cukup
terkejut mendengarnya. Dalam benaknya ia bertanya-tanya, bagaimana bisa dia
tahu?
"Saya hanya
menjalankan tugas dan pengabdian di sini. Saya terus tinggal karena saya merasa
berkewajiban tinggal."
"Berapa orang di
sini?"
"Satu orang."
"Baiklah tidak
apa." Meski tidak apa-apa, pemuda itu tahu seniornya pasti kecewa karena
tahu kalau RMP ini sepi.
"Mas, saya mau
mengutarakan sesuatu, tapi setelah ini, tolong kamu jangan takut," lanjut
laki-laki yang dulu menjabat sebagai ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa)
Pers.
"Iya."
"Kamu pasti tahu,
di dalam sebuah organisasi dengan anggota 50 orang, tidak akan ada 30 yang
benar-benar aktif. Tidak semua orang berpikir transformatif. Kami tahu, dari
era kami hingga sekarang belum ada perubahan yang signifikan dari kampus ini.
Bahkan sekarang seperti menurun geliat organisasi mahasiswanya." Sesap
kopi susu di mulutnya menjeda penjelasan yang si Pemuda kira akan panjang.
"Organisasi akan
berjalan optimal jika sudah ada keterikatan antar anggotanya. Dulu kami
berpikir seperti itu dan mengupayakan agar itu terwujud . Sedikit ekstrim
memang cara kami mengupayakannya..."
Hujan belum mau
mengurangi debit air sejak sejam yang lalu. Petir masih menggelegar seakan
meningkahi cerita yang terlontar dari lisan senior.
"Ada ular di sini.
Ular itu dijaga seorang pria sepuh. Ular itu yang terkadang melilit kakimu,
terkadang pula melilit tubuhmu hingga kamu tidak bisa bangkit dari
rebahmu."
Ada yang ia tanyakan, bagaimana setiap
hari ia bisa lepas dari lilitan dan pulang untuk kemudian pergi bekerja?
"Pria sepuh itu yang mengawasi tingkah laku ular tersebut. Ketika kakimu dililit namun kamu berniat akan pulang karena akan kerja, pria itu yang menyuruh ularnya melepaskan diri dari kakimu." sang senior melanjutkan, "Mas, bagaimanapun prestasimu, kamu sebagai orang yang berada di sini adalah mahasiswa pilihan. Daripada mereka-mereka yang menjauh dan tidak ikut mengabdi demi kemajuan kampus. Hanya yang sudah masuk dan tinggal selama tiga jam lebih empatpuluh menit lima detik saja yang akan menjadi penghuni tempat ini."
***
Malam hari. Gadis
pujaan hatinya datang (Sejak awal dibangun pintu RPM tidak pernah dikunci.
Bermaksud agar ruangan ini ramai. Namun sepanjang perjalanannya, hanya tiga
periode saja keramaian dialami. Tidak sebatas banyak orang, tapi penuh antusias
pula aktivitas-aktivitas yang dijalankan. Unit-unit kegiatan mahasiswa tanpa
terkecuali berhasil menghidupkan kampus). Ditariknya gagang daun pintu ke
bawah, satu sisi pintu kayu model lawas bercat hijau tosca mengizinkan gadis
itu masuk, meski semula ia enggan sekali memasuki RPM. Anggapannya hanya
laki-laki jorok yang betah di dalam sini. Sayang, sepertinya fenomena tahun
baru telah mengubah asumsinya itu. Hanya karena satu alasan...
"Aku gabut,"
begitu keluhnya. "Kamu lama banget tidurnya..."
Masih setengah sadar si Pemuda mendengar
suara gadis itu. "Jam berapa ini?"
"Setengah
sebelas."
Si Pemuda mendudukkan
tubuhnya. Aktivitas bangun tidurnya sama seperti kebanyakan orang. Menguap.
Kucek mata. Dan menggeliat.
"Sejak kapan kamu
di sini?"
"Jam tujuh
tadi."
Pikiran pemuda itu
langsung tertuju pada percakapannya dengan para senior waktu siang.
"Kau tahu,
impianku akan terwujud."
"Impian apa?"
"Impianku dengan
kamu."
Gadis itu tak
menanggapi. Si Pemuda melanjutkan, "Kita akan hidup bersama... di
sini."
Comments
Post a Comment