Perlahan Lahan Jelma Kenangan (Sebuah Cerpen)

 

Foto oleh Zaky Zaff


Rembulan tampak memukau di pertengahan Sya’ban ini. Imaji langit malam menjadi hangat serupa paras Dewi—teman gadis masa kecilku yang dahulu rambutnya selalu dikuncir dua dan tentu saja tampilannya lusuh ala anak kampung. Kini ia menjelma perawan pujaannya para jejaka era modernisasi dunia. Sebuah era yang tengah mengalir deras menghanyutkan jauh tawa kanak-kanak menuju lautan remaja yang sarat gelombang penggoyah jiwa. Dan tak satu pun dari kami tahu akan seperti apa nanti ketika sampai di pantai senja; dengan cucur tangis atau gelimang senyum. Yang kami sadari, semuanya telah berubah kecuali satu; kepastian atas keberubahan itu.

Si kecil—ingin segera menjadi dewasa, namun ketika dewasa membaluti harinya, ‘dewasa’ pun seakan tak pernah dingini. Menjadi dewasa itu—pikirnya—dapat membeli mainan mahal sekehendak diri, karena “bisa cari uang sendiri”. Tapi sekarang justru kerinduan akan bermain permainan-permainan lawas menjadi lebih besar daripada sekadar keinginan polos itu.

Juga dulu si kecil ingin tubuhnya cepat tinggi, karena pikirnya menjadi tinggi itu adalah hal terbaik. Namun setelah benar-benar tinggi, malah ingin lebih pendek. Alasannya karena Dewi sang wanita pujaan hati tak terlalu tinggi. Kiranya agar bisa serasi bila suatu saat duduk di pelaminan bersamanya. Indah sekali memang mengkhayal itu.

Di bawah rembulan yang tampak memukau di pertengahan Sya’ban ini, aku berjalan menyusuri bentangan aspal yang baru tuntas digarap. Masih berserak di atasnya kerikil-kerikil halus yang hampir serupa debu. Kunikmati setiap pemandangan yang terdapati mata; ladang-ladang yang telah menghilang ditimbun tanah merah, rumah-rumah yang hampir semuanya bergaya sama, dan sepintas telingaku mendengar suara-suara manusia yang hanya menggema dari dalam rumah-rumah itu. Dalam pikirku mencuat anggapan: mungkin dasarnya masyarakat memang dari dulu lebih suka berkumpul dengan keluarga kecil mereka sendiri—mungkin hanya sebab waktu itu televisi masih belum terjangkau oleh tiap keluarga, kebersamaan antar rumah tangga jadi amat terasa. Ku jadi ingat masa di mana sekampung hanya ada satu televisi. Aih, rindu.

Tanganku mengayun seirama langkah kaki. Di genggaman kanan terselip sebuah buku kecil bersampul tebal. Isinya catatan-catatan harianku sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Perlahan kecepatan langkahku melambat, dan berhenti di seberang rumah Pak RT.

“Apa kau sudah lama menunggu?” tanyaku pada seonggok bambu yang diubah Pak RT menjadi bangku panjang tempat biasa aku mencangkruk.

“Di mana yang lain?” kembali aku bertanya.

“Ari sedang main game online di warnet, Romi muncak dan belum pulang dari kemarin, Mamat tadi ke sini tapi pulang karena tidak ada satu pun dari kalian di sini.”

Meski belum terlalu malam, tapi jika suasana sepi seperti ini lalu terdengar suara tapi tak nampak orangnya, siapa yang tidak terkejut? Awalnya tentu saja aku berpikir itu suara gaib. Tapi beberapa jenak kemudian, ya Tuhan... ternyata Pak RT. Aku menarik napas dan mengembuskannya lega.

“Pak RT lagi apa di situ???”

“Ini... lagi nyari kodok.”

“Buat apa Pak?” aku mendekat.

“Ngasi makan ular.”

“Pak RT miara ular?”

            “Enggak...” jawabnya seraya tertawa. “Saya enggak lagi nyari kodok. Ada sampah lumayan banyak ini, di sini. Jangan bengong. Ayo, bantuin ngambil.”

“O, iya, Pak!” segera tanganku beraksi.

“Siapa sih Pak yang buang sampah sembarangan di selokan seperti ini?”

“Siapa pun orangnya, kita doakan saja semoga dia sekarang diberi kesehatan.”

“Nggak bisa gitu dong, Pak,” tukasku.

“Maksudnya kita doakan semoga dia diberi sehat badannya, supaya bisa membersihkan sampah-sampah ini. Dan juga sehat pikirannya, supaya besok-besok bisa lebih berpikir lagi, membuang sampah sembarangan itu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab.”

“Nah...” anggukku menyetujui ucapan Pak RT.

“Sudah, cukup, ayo cuci tangan di dalam. Setelah cuci tangan bolehlah kau lanjutkan menunggu kawan-kawanmu itu. Aku pikir kau akan sampai pagi menunggu mereka. Hahaha.” Pak RT tertawa aku pun menyambutnya. Kami masuk rumah beriringan dengan tawa yang masih tersisa.

 

Pak RT adalah salah satu penghuni perumahan seberang kampung. Antara kampung dan perumahan dipisahkan oleh jalan desa yang dulu tak rata seperti sekarang setelah perumahan itu dibangun. Selaku warga asli, tentu aku senang akses jalan jadi lebih baik. Tapi lebih sedih karena harus mau tidak mau menerima lapangan tempat anak-anak kampung kami bermain ditimbun tanah merah dan fondasi, lalu bangunan rumah. Karena apa yang bisa anak kecil perbuat untuk mencegah proyek itu? Menangis dan merengek saja tentu tak akan cukup.

 ...kita doakan semoga dia diberi sehat badannya, supaya bisa membersihkan sampah-sampah ini. Dan juga sehat pikirannya, supaya besok-besok bisa lebih berpikir lagi, membuang sampah sembarangan itu adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab.

Dan salah satu rumah yang tertanam tepat di atas lapangan kami ialah rumah Pak RT. Tentu tak adil jika aku harus membencinya karena ia tinggal di atas bangunan yang membuat hilang tempat bermain kami. Ia pun kukenal cukup akrab sebab pribadinya yang senang membaur dengan kami, para remaja kampung. Lalu aku suka dengan sikapnya yang peduli lingkungan—di saat aku juga membenci rumah tinggalnya yang menyingkirkan lapangan kami. Juga membenci karena kuanggap hadirnya perumahan itu menjadikan lingkungan sekitar kampungku menjadi turun kualitasnya. Udara pun turut terpengaruh—lebih panas.

***

Karena rindu. Rindu yang membuat mata ini ingin selalu memandangi apa yang saat ini tengah aku pandangi. Karena duduk di bangku ini artinya aku tengah menghadap pada sebuah tayangan hitam putih, rupa tanah lapang yang punya suasana hangat meski di bawah terik pun hujan.

Jemariku membelah tumpukan lembar-lembar buku kecil di genggaman tanganku. Terbuka dan kubaca catatan pada sepuluh tahun yang telah lalu.

Mengapa lapangan itu harus menghilang? Aku benci orang-orang itu.

Kuhadapkan lagi pandanganku pada tayangan hitam putih itu, tanah lapang yang punya suasana hangat meski di bawah terik pun hujan. Tapi yang kulihat bukan tayangan hitam putih. Sejenak aku pejamkan mata, dan saat kubuka yang kulihat tetap seperti itu—nyata. Tanah lapang itu kembali. Rumput-rumput nan hijau beserta persawahan di samping kanan dan kiri mampu menyegarkan mata, melebihi ketika memandang beningnya paras Dewi.

 

Aku menggumam dengan tatap mengerucut pada seorang gadis kecil dengan kuncir dua di atas kepalanya, “Bukankah itu Dewi?

Lalu suara teriakan beberapa anak laki-laki menarik kesimaku. Hanya sejenak. Mataku kembali meriap. “Romi, Ari, Mamat, dan ...” ucapku terpotong kemuskilan yang tak habis dipikir; aku bagai bercermin dan semuku lebih kecil dari nyata. Apa yang terjadi?

Lalu lalang manusia kusaksikan di perkampungan ini masih berjalan di atas tanah coklat muda dengan permukaan yang jauh dari rata, serakan batu ukuran sedang tersebar di sepanjang jalan dengan lebar sekitar sepuluh depa pisahkan diamku dan gerak berlarian mereka di atas rerumputan nan hijau.

Di tengah aku menikmati pandangan yang tak biasa ini, sebuah minibus hitam mengkilap berhenti di depanku. Disusul sebuah lagi di belakangnya. Orang-orang dari dalamnya turun dan saling bertemu. Mulailah mereka bercakap-cakap.

“Itu, Pak, lokasinya. Di seberang.”

“Mana saja Pak yang akan dieksekusi?”

“Ujung sana ke ujung sana.”

“Wah, cukup luas, Pak. Oh ya, selain hunian yang modern, rencana akan kami bangun juga taman bermain. Apa semua pemilik lahan bersedia melepaskan haknya?”

“Sudah saya atur. Anda lebihi sedikit saja harga belinya. Saya sudah katakan kepada mereka bahwa ini demi kepentingan umum. Wilayah ini akan menjadi rapi, sedap dipandang, dan ramai. Bukankah begitu?”

“Ya, betul sekali. Sepertinya mereka sudah sering melihat Jakarta lewat televisi-televisi mereka.” Serempak orang-orang itu tertawa.

 

Dalam hatiku aku merasa ada api yang tersulut. Tak bisa kutahan satu emosi mendengar kalimat-kalimat culas yang orang-orang necis itu cakapkan. Terbakar sekali rasanya. Tak bisa aku cegah langkah emosi menghampiri mereka.

“Jangan seenaknya menghilangkan lahan di depan kalian itu!” semua pasang mata sontak tertuju kepada sosokku.

“Siapa dia?” tanya seorang yang nampak seperti otak dari rencana.

“Saya warga pribumi. Dan saya tidak setuju lahan itu ditanami dengan bangunan,” kataku menahan sabar sebisa mungkin. Meskipun geligiku gemeretak saling beradu.

“Apa yang tidak kau setujui?” sanggah seorang lelaki paruh baya berseragam dinas.

“Dengan dibangunnya perumahan di sana, maka wilayah ini akan menjadi kawasan yang lebih modern dari ini. Juga nantinya pasti banyak pendatang dari kalangan wirausahawan yang akan menciptakan lapangan pekerjaan untuk orang-orang di sekitar sini,” terangnya.

“Jangan Anda bodohi para warga dan jangan membodohkan diri Anda sendiri,” sergahku lantang. “Orang-orang di sini bisa bertani. Mereka tidak kekurangan pekerjaan.” Mulutku tak sanggup bila harus diam. Aku keluarkan semua pembelaan untuk mempertahankan tanah lapang dan persawahan sumber kepermaian kampung ini.

“Cobalah adek tanyakan kepada mereka, atau orang tua adek sendiri, apa mereka rela jika anak-anaknya menjadi seorang petani?”

Aku terbelalak mendengar ucapannya. Separuh hatiku menentang, namun separuh lainnya membenarkan.

“Mereka lebih butuh biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Agar mereka sukses mengejar cita-cita mereka yang tentu saja itu bukanlah menjadi seorang petani,” lanjutnya semakin menusuk.

“Pak, lebih baik kita pergi. Kita hanya akan membuang-buang waktu untuk mengurusi urusan yang tidak terlalu penting ini.”

“Mau ke mana kalian?! Aku belum selesai!” Kukejar dan mencoba menarik lelaki sang otak rencana tapi tubuhku didorong salah seorang yang lain.

“Jangan pernah coba-coba menghilangkan lahan hijau kami!”

Tiba-tiba pandanganku menghitam. Gelap. Dan kulihat lapangan dan sawah-sawah di sampingnya telah lenyap.

Pekalongan, 17 Mei 2018


 

Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)