Reffaneda (Sebuah Catatan)
Sebuah Catatan Oleh Amir Muzaki
Tidak
menghitung ini perform ke berapa
kali. Yang jelas dari awal sampai sekarang aku belum merasa bermain seperti
gitaris idolaku, Ezra Mandira. Tapi lumayan bungah
juga karena melihat rekaman video sebuah penampilan terkini. Dari rekaman itu
aku sadar bahwasanya mendengarkan permainan musik sendiri itu berbeda rasa
dengan mendengarkannya sembari memainkan dalam waktu yang sama. Bagi pemusik
yang belum sadar, sadarilah sekarang. Sebelum kalian berputus asa karena selalu
merasa tak becus bermain musik. Yah walaupun tak sejitu gitaris-gitaris idola
kalian yang sudah maestro kayak Dewa Bujana, Andra Ramadhan, Eros Chandra, dan
lain sebagainya, paling tidak ada perasaan bersyukur telah dianugerahi
kecerdasan musikal.
Sejak kecil
aku senang musik. Waktu kecil impianku adalah manggung seperti grup band yang
terkenal pada waktu itu seperti Peterpan, Radja, Ungu dan lain-lain. Sekarang
impian manggung itu telah terwujud bahkan berkali-kali lebih banyak daripada
sekadar angan-anganku dulu bernyanyi di pentas lomba Agustusan SMP atau pentas
seni acara pelepasan kelas XII SMK. Di awal tulisan ini aku ucapkan terima
kasih kepada Reffaneda yang telah mewadahi passionku di musik yang mana belum
bisa tersalurkan di masa sebelum ini yang tersebut tadi.
Tulisan ini
aku tulis untuk catatan sejarah. Barangkali generasi penerus di masa depan mau
membacanya. Tentu saja sebagai bahan refleksi bagi mereka dan koreksi bagi
kami, para punggawa grup musik Reffaneda Akustik yang sedang aktif sekarang
ini.
Reffaneda.
Nama itu cukup unik. Dan andai kau tahu bahwa artinya amat mewah. Nama tersebut
diberikan oleh salah dua punggawa kami, Baron dan Dwi pada 2017. Tutur Dwi, Reffaneda dibentuk dari
dua kata “Reff” dan “Aneda”. Reff,
tentu kalian sangat akrab dengan kata ini dalam dunia musik. Reff atau
Reffrain, sebuah part dalam sebuah lagu yang paling menonjol dan mudah diingat
dibanding part lain. Dan Aneda
berasal dari bahasa Arab yang berarti ‘yang menggugah jiwa’. Kalau digabungkan akan
menjadi “Sebuah reff yang menggugah jiwa”. We o we, bukan...? Pada intinya
Reffaneda ingin menjadi grup musik yang menonjol, mudah diingat, dalam arti
dikenal banyak orang. Dan musik atau lagu-lagu yang dibawakan bisa menggugah
jiwa para pendengarnya.
Tapi aku
sendiri ingin mengartikan Reffaneda lain dari itu. Reffaneda bagiku panggilan
jiwa. Sebuah cara bermusik berdasar pada panggilan jiwa. Ya, panggilan jiwa.
Sebab nyaris tidak ada motivasi lain selain itu. Lalu apa yang memantik jiwa
para punggawa Reffaneda?
Akan aku
runut dari mana Reffaneda bermuara. Grup musik yang sementara mengusung konsep
akustik ini tidak berdiri sendiri, melainkan ada badan yang menaunginya.
Pertama, Reffaneda adalah merupakan divisi dari Unit Kegiatan Mahasiswa Seni
(UKM Seni) Sekolah Tinggi Agama Islam Ki Ageng Pekalongan atau disingkat
STAIKAP. Sudah tahu kan sekarang dari kota mana Reffaneda berasal? Kedua,
otomatis Reffaneda bertalian dengan perguruan tinggi tersebut. Dan cukup untuk
kalian ketahui saja bahwa STAIKAP adalah perguruan tinggi swasta yang saat ini
belum cukup dikenal bahkan di kotanya sendiri. Sehingga kami, para punggawa
Reffaneda tergerak untuk membuat ‘orang tua kami’ tersebut dikenal oleh setiap
warga Pekalongan khususnya tentu saja melalui penampilan musik di berbagai
daerah di Pekalongan dan sekitarnya.
Namun,
sebagai grup musik pemula, kami belum cukup mumpuni (bila dibandingkan dengan
yang lain yang profesional). “Selalu ada kisah” kalau kata ketua UKM Seni
periode 2017-2018, Pi’on. “Kisah” itu ada di setiap penampilan pun ketika pra
penampilan. Yang tidak terlupakan ialah kali pertama kami manggung di Batang.
Segala ketidaksiapan melingkupi. Mulai dari skill
hingga mental. Beruntung yang mengundang kami adalah alumni dari STAIKAP
sendiri (sampai saat ini pun mayoritas hanya alumni STAIKAP yang mengundang).
Keinginanku
dan kawan-kawan sangat kuat waktu itu. Frekuensi latihan bisa dibilang sering.
Waktu persiapan cukup panjang. Namun apalah daya sekelompok pemula ini. Hanya
berbekal vokalis dengan suara yang bagus namun tidak diimbangi instrumen musik
yang cukup skill kami bagai
melanglang dengan sayap yang tak normal sebelah. Ditambah tidak adanya alat
yang dibutuhkan seperti gitar bass. Salah satu dari kami bilang akan
meminjamkan akan tetapi tidak mendapatkannya di hari H. Sudah begitu kami telat
sampai di lokasi. Belum selesai persoalannya, gitar akustik elektrik yang
dibawa didapati tidak ada baterainya. Dua orang di antara kami pergi ke
minimarket terdekat yang jauh dari situ untuk membeli baterai. Aku yang hanya
menanti duduk di kursi tamu hajatan pernikahan menahan rasa sabar sekuat
tenaga. Sampai terbesit keinginan untuk pulang saja daripada nanti tampil di
atas panggung hanya menunjukkan malu.
Kekhawatiran
akan malu tersebut yang sampai sekarang masih mengikuti. Apalagi ketika
mendapat kabar Reffaneda mendapat undangan tampil. Dalam hatiku: untuk apa sih
tampil lagi kalau hanya untuk mengulang malu? Malu kalau lagi-lagi
ketidakprofesionalan yang akan disuguhkan ke penonton.
Terus
terang impianku tinggi tentang Reffaneda, yakni menjadikannya layaknya grup
musik profesional dengan pemain dari mahasiswa STAIKAP sendiri sepenuhnya.
Dengan cara apa? Pengkaderan jawabannya. Sebab selama ini kita hanya comot
sana-sini mahasiswa-mahasiswa yang gemar musik dengan skill terbatas meski tidak semua. Kalau pas menemukan yang memang
punya skill mumpuni itu adalah
keberuntungan yang patut disyukuri dan dijaga.
Lalu
terhadap mahasiswa dengan skill
terbatas itu apakah harus diperlakukan sebaliknya? Alias dibuang? Tidak. Selama
mereka mau berproses.
Dan
pengkaderan itulah salah satu jalannya. Sehingga Reffaneda selain sebagai media
pengenal kampus, di dalamnya juga terdapat pelatihan yang mana nantinya akan
bermanfaat untuk mereka sendiri terutama setelah lepas dari Reffaneda bisa
menggunakan skill yang diajarkan sebagai
additional skill di luar keahlian di bidang yang didapat dari kuliah sesuai
program studinya, pun bermanfaat bagi Reffaneda selama mereka masih aktif di
dalamnya.
Satu lagi
impian besarku setelah adanya pengkaderan adalah membuat pentas sendiri. Di
mana Reffaneda dan divisi UKM Seni lain dengan segala kreativitasnya
mempersembahkan karya mereka, di rumah sendiri. Kita yang mengundang
orang-orang tidak lagi seperti biasanya kita yang diundang.
Oke, itu
dipikirkan nanti. Yang perlu Reffaneda pikirkan sekarang adalah bagaimana
caranya agar lebih kompak, lebih giat latihan, tepat waktu dalam menghadiri
undangan perform, lebih sadar akan
profesionalitas, meningkatkan kualitas, tidak setengah-setengah dalam bermusik.
Belajar terus, sementara otodidak dulu. Suatu saat nanti pasti ada pelatihan
khusus untuk menunjang skill bermusik
anggota Reffaneda. Dan tidak lupa untuk memaksimalkan penampilan, dresscode itu
penting sebagai tanda profesionalitas kita.
Jayalah
Reffaneda!
Comments
Post a Comment