Pesantren [dan] 4.0 (Sebuah Esai)
sumber gambar : nupinggiran.com
Mengapa pesantren?
Pertanyaan tersebut serupa dengan yang dimunculkan
oleh Kyai Said Aqil Siraj pada pembuka tulisannya, Kembali ke Pesantren. Akan tetapi berbeda dengan yang terkandung di
sana, tulisan yang sedang Anda baca ini secara tidak langsung akan menjawab
pertanyaan itu dengan satu sisipan isu terkini yang kemudian akan menjadi
variabel yang lain, juga kemudian akan kita cari tahu bagaimana keduanya saling
terkait? Isu tersebut ialah Revolusi Industri 4.0.
Pesantren sendiri merupakan lembaga pendidikan Islam
yang tidak terikat pemerintah. Artinya pendidikan yang dijalankan lembaga ini
termasuk ke dalam pendidikan non-formal. Meski begitu, jangan diragukan peran
serta eksistensinya. Jika kita melihat secara mendalam maka akan nampak bahwa
melalui pesantrenlah peradaban Indonesia warisan nenek moyang bangsa ini dapat
terwariskan. Hal itu belum tentu bahkan tidak bisa dilakukan oleh lembaga
pendidikan lain.
Pesantren
disebut-sebut menjadi subkultur bangsa Indonesia. Kehidupan pesantren memiliki
keunikan ketika kita melihat kebudayaan masyarakat di luar itu. Yang paling
nyata terlihat adalah bagaimana para santri berpakaian. Sarung dan peci mereka
menjadi kekhasan yang sebetulnya patut bangsa Indonesia banggakan.
Di
era globalisasi ini banyak sekali budaya-budaya baru dari luar yang masuk ke
Indonesia. Lalu bagaimana dengan budaya lama? Sebagian besar tidak mampu
dipertahankan. Sedikit demi sedikit bergeser. Lalu terlupakan. Hal itu
dikarenakan tidak adanya wadah yang menjadi semacam benteng sebagai protector oleh masifnya gempuran
budaya-budaya baru tadi.
Berbeda dengan para santri. Lewat pendidikan dan juga sekaligus kultur yang terus dibangun di dalam pesantren, mereka tetap berada dalam keindonesiaan yang berkebudayaan luhur. Kita berharap pemerintah sadar akan ini. Tidak lain sebagai bekal dalam mengahadapi revolusi teknologi, revolusi industri 4.0.
Dehumanisasi industri
Revolusi
industri 4.0--bagi sebagian orang merupakan barang baru. Ya, karena memang ini
istilah yang tergolong baru. Meskipun pada dasarnya proses revolusi industri
ini sudah berlangsung sejak lama. Sejak ditemukannya mesin uap. Akan tetapi
orang-orang, khususnya warga negara Indonesia mulai santer membicarakannya sekitar
tiga tahun lalu.
Dikutip
dari binus.ac.id, istilah tersebut mulai dicanangkan 2011 silam di acara
Hannover Trade Fair, oleh sekelompok orang asal Jerman yang ahli dalam berbagai
bidang. Sedangkan sumber lain mengatakan Ketua
Eksekutif WEF di Jenewa, Klaus Schwab lah sosok yang pertama kali mengemukakan
istilah itu kepada publik pada 2016 dalam bukunya "Revolusi Industri
Keempat" melalui Pertemuan World
Economic Forum di tahun yang sama (CNBC News, Januari 2019). Schwab
mengatakan, revolusi teknologi sedang berlangsung dan mengaburkan batas antara
bidang fisik, digital dan biologis.
Industri sendiri
identik dengan kegiatan pengolahan barang atau produksi. Yang mana dari masa ke
masa mengalami perkembangan. Dari menggunakan tenaga manusia sepenuhnya (dulu),
tenaga mesin yang dioperasikan manusia (sekarang), sampai tenaga mesin
sepenuhnya yang sedang dicanangkan sekarang khususnya di Indonesia. Artinya
akan ada yang kemudian disebut dengan dehumanisasi industri, tenaga manusia
akan alpa dari kegiatan produksi. Otomatis hal tersebut berdampak sekali pada kehidupan
di muka bumi ini.
Selama ini, secara
umum, manusia hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja memanfaatkan
tenaganya. Namun proses “kemajuan” teknologi tiba-tiba harus menggeser itu. Sungguh
tantangan besar bila benar terjadi. Bahkan mungkin bagi sebagian orang ini
mengkhawatirkan.
Akan tetapi Romzi
Ahmad, seorang pemuda era milenial, pembina Arus Informasi Santri Nusantara
(AISNUSANTARA) dalam sebuah seminar di Pekalongan berkata lain. Ia tidak
mengedepankan kekhawatiran. Bahkan cenderung menyambut dehumanisasi industri ini
dengan “suka cita”. Karena dirinya memang bersemboyan: apa yang orang pikirkan,
pikirkan sebaliknya. Sehingga ketika orang lain sedang gelisah-gelisahnya menerima
kabar buruk dari satu isu yang sebenarnya masih tergolong netral-netral saja
ini, ia malah mencoba mengambil dampak positif dan menakar dengan perbandingan
lebih besar untuk positif daripada negatifnya. Apa yang sebenarnya yang
dipikirkan seorang Romzi Ahmad tentang dehumanisasi industri?
Singkat saja,
“manusia akan kembali pada fitrahnya” sebagai khalifah fil ard. Manusia sebagai pemimpin di muka bumi. Makhluk
Tuhan yang mengatur apa yang ada di bumi. Tanpa harus menjadi pekerja yang
menguras tenaga. Manusia hanya perlu berpikir bagaimana agar kehidupan di alam
ini berjalan dengan baik dengan memanfaatkan apa yang melingkupi dirinya
termasuk robot-robot pada saatnya nanti.
Manusia kembali
kepada menata apa yang berada di sisi innernya. Manusia fokus kepada status
mereka sebagai hamba yangmana tidak ada tujuan diciptakannya selain untuk
beribadah, menyembah Tuhan. Karena selama ini kita melihat dan bahkan
merasakan, alokasi waktu bekerja sering mengambil waktu peribadatan. Apabila
dehumanisasi industri versi ini benar diterapkan, maka bukan hanya waktu
peribadatan itu akan kembali, bahkan lebih banyak waktu akan tersedia untuk
menambah kuantitas ibadah, jika kita mempunyai niat kuat ke arah sana.
Namun, di sisi lain ada hal yang perlu diwaspadai oleh
manusia terutama warga negara Indonesia. Sebagai masa kecanggihan, era 4.0
sudah pasti akan memberi dampak negatif. Di era 3.0 sekarang ini saja telah
bertebaran di sana-sini bentuk-bentuk penyimpangan yang ditimbulkan oleh teknologi
yang ada. Dekadensi moral tak terbendung, kejahatan menjadi bertambah
variannya.
Kompetisi Untuk
kompetisi
Seharusnya ini dipahami oleh pesantren sebagai
peluang. Di tengah tantangan moralitas revolusi teknologi 4.0, lembaga
pendidikan Islam tradisionalis mampu mengimbangi ingar-bingar kecanggihan
daripada kehidupan fisik-material yang terselubung kemungkinan-kemunginan buruk
yang orang tidak melihatnya. Tidak ada aksi terbaik selain mencegah semua itu.
Dan kembali lagi sebagaimana lebih dulu dikatakan bahwa budaya luar yang masuk
begitu saja kemudian menggeser budaya lama—yang kebanyakan kurang baik bagi
bangsa Indonesia—disebabkan tidak adanya wadah, tempat berlindung, tempat
menyaring. Dan pesantrenlah wadah itu.
Namun sejauh ini terdapat kelemahan pesantren
khususnya yang bercorak tradisional bila dikaitkan dengan revolusi industri
4.0. Pesantren-pesantren tersebut mungkin akan sulit bersaing ketika dihadapkan
dengan dunia luar yang pasti lebih dinamis.
Mengingat adanya tantangan seperti itu, ada baiknya
pesantren mengambil langkah yang disarankan oleh Kyai Said Aqil Siraj dalam
tulisannya Kembali ke Pesantren,
yakni tamadun dan tsaqafah. Tamadun yaitu
merancang bangun pesantren sebagai model pendidikan yang terbuka, baik secara
keilmuan maupun kemasyarakatan. Tsaqafah
yaitu memberikan pencerahan kepada masyarakat agar kreatif-produktif. Dengan
begitu, kelak pesantren akan punya cukup amunisi mengahadapi persaingan antar
lembaga pendidikan.
Mengubah Asumsi Masyarakat Tentang
Mutu Pendidikan
Persaingan adalah sebuah keniscayaan. Tidak terkecuali
dalam dunia pendidikan. Jangan dikira dunia pendidikan itu pentingkan dedikasi
mengajar saja. Pendidikan sudah jadi “industri” tersendiri. Jadi, selain
melakukan penyiapan generasi untuk nantinya terjun ke industri, pendidikan pun
telah “mengindustri” terlebih dulu. Oleh karenanya masih nyambung ketika
pendidikan dikaitkan dengan revolusi industri 4.0. Terutama pada sisi aksi para
pegiatnya. Kalau dalam buku Mohammad Saroni, Analisis dan Strategi Meningkatkan Daya Saing Sekolah ada istilah
imej hukum rimba. Siapa yang kuat, ialah yang mampu bertahan.
Kita semua tidak tahu dan memastikan apa yang akan
berlaku di masa depan. Bisa jadi tradisionalisme yang unggul, bisa jadi pula
modernisme. Tergantung pada asumsi masyarakat. Kalau mau aman berarti perlu
memadukan keduanya. Sebab asumsi masyarakat dapat berubah-ubah tergantung apa
yang masuk ke dalam alam bawah sadar mereka. Bisa jadi mutu pendidikan diukur
dari seberapa maju lembaga dalam teknologinya, bisa jadi penanaman nilai-nilai
tradisi dianggap sebagai prioritas.
Meski begitu kita kira pesantren akan terus eksis
meski jaman berubah seperti apa pun. Sebab adab harus lebih didahulukan
daripada ilmu. Dan pesantren dari dulu sampai sekarang tidak berubah: adab oriented.
Comments
Post a Comment