Moderatkah Kita? (Sebuah Esai)


Gambar diunduh dari belkedamaian.com, diedit oleh Merah Muzaki


Latar Belakang

Saya terpikir menuliskan ini karena teringat pernah ada yang menggaungkan sebuah hadits yang memang populer dan hadits tersebut sahih. Ialah hadits tentang terpecahnya umat. Orang Islam sebagian besar tahu bahwasanya Rasulullah pernah bersabda, “Umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Umat Kristen terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan pengikutku akan terpecah menjadi 73 golongan.” (Abu Daud, Kitab Sunnah, Bab 1, no. 4595)1. Di hadits lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda, “Para Ahli Kitab akan terpecah menjadi 72 golongan, dan pengikutku akan terpecah menjadi 73 golongan. Mereka semua masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu mereka yang bersama jama’ah (Dr. Zaikir Naik mengartikan jama’ah sebagai tubuh utama umat Muslim).” (Abu Daud, Kitab Sunnah, Bab 1, no. 4596)2. Dalam riwayat lain disebutkan satu golongan tersebut ialah yang mengikuti Rasulullah dan Sahabat. Dan umat Muslim diseru untuk berpegang pada beliau dan Sahabat dan yang datang setelahnya (tabi’in), dan yang datang setelahnya (tabi’it tabi’in)3.

 

Pembahasan

Golongan yang mengikuti dan berpegang pada ajaran Rasulullah SAW, para Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dikenal dengan Sunni atau lebih populer disebut Aswaja (Ahlussunah wal Jama’ah). Orang-orang Aswaja adalah orang-orang yang menjalankan syariat berdasar ajaran daripada sosok-sosok yang disebutkan di atas, yang kemudian di masa sekarang mereka berpanutan kepada para ulama’ sebagai waratsatul anbiya’ wal mursalin. Sehingga ajarannya tidak langsung mengambil dari hadits, melainkan melalui guru-guru atau Ulama’ yang kredibel. K.H. Hasyim Asy'ari berpandangan bahwa, tidak mungkin memahami ajaran-ajaran Al-Qur'an dan hadits dengan tanpa mempelajari pendapat para ulama' yang tergabung dalam mazahib, bahkan yang demikian itu sesungguhnya hanya akan menghasilkan pemutarbalikan ajaran Islam yang sebenarnya4.

Doktrin-doktrin Aswaja telah sesuai dengan Sumber Hukum Islam yang utama. Demikian pula dengan doktrin beberapa dari mereka di kalangan selainnya. Namun kesemuanya saling membenarkan doktrin masing-masing dan merasa terbenar. Sehingga di tengah kebenaran dari doktrin Sunni, banyak dari mereka yang seakan-akan memecahkan diri dari sesama muslim lainnya atau dengan kata lain menggolongkan diri.  Muncullah dari sana golongan non-Sunni yang mana akan dianggap bukan sebagai yang benar, dan predikat Sunni pun akhirnya diperebutkan. Padahal Rasulullah tidak memerintahkan untuk “membuat golongan”. Dalam hadits di atas Rasulullah lebih kepada forecasting, dibanding perintah. Juga dalam Al-Qur’an Ar-Rum ayat 32 diterangkan kepada kita untuk tidak berpecah belah dan membanggakan golongannya sendiri. Selain itu pada dasarnya Sunni tersebut mengandung pemikiran keagamaan yang moderat (i'tidal). Namun sayangnya orang-orang (yang mengaku) Sunni sendiri tidak demikian. Mereka terlalu miring ke golongannya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena terjadi pergeseran klaim kebenaran dari kebenaran agama ke pemikiran keagamaan5.

Kemudian saya memasukkan ini ke dalam konteks ber-PMII. Pergerakan mahasiswa yang Islam Indonesia. Indonesia, negeri yang majemuk. Banyak golongan hidup di bumi pertiwi. Lebih dari satu agama menghiasi pulau-pulaunya. Tidak hanya Islam. Tidak hanya NU. Tidak hanya PMII. Namun sebagian warga PMII justru cenderung kepada karakteristik yang saya sebut di atas6. Baikkah kita membanggakan diri sendiri dalam kondisi pluralitas yang ada? Egosentris golongan yang menimbulkan perpecahan... Berpikir mempunyai golongan sendiri, kemudian menjauh dari golongan lain... Enggan berbaur dan merasa senasib sepenaggungan... Lupa bahwasanya pejuang kemerdekaan negeri dahulu bersatu menyisihkan perbedaan mengusir kolonialis dari bumi pertiwi?

Kesimpulan

Sebagian warga PMII yang membaca ini pasti ada yang membantah dan mungkin pula menuduh saya krisis militansi atau tidak lolos sebagai kader PMII, kader Aswaja. Namun biarlah. Saya masih Indonesiais dan saya sedang berupaya moderat. Soal militansi organisasi memang penting. Tanpa militansi organisasi bubar. Namun saya pikir ada batasnya. Ada tempatnya. Kita secara penuh berpikir serta bertindak sebagai seorang yang militan terhadap organisasi ketika itu berkaitan dengan internal. Ketika sedang keluar dan berada di sekitar golongan lain maka pintu ruang untuk pluralisme mesti terbuka.

Ini penting dilakukan. Apalagi sebagai warga PMII berke-NU-an yang secara tegas dulu para pendahulunya telah mengatakan (dan sudah sepatutnya diteruskan) untuk selalu menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Juga kita pasti melihat di dalam sejarah atau sempat tahu dalam masa hidupnya bagaimana panutan kita, Gus Dur, bersikap terhadap pluralitas terutama di Indonesia. Melihat pula trilogi persaudaraan NU, yang salah duanya ialah ukhuwah wathoniyah, persaudaraan sesama warga negara. Ukhuwah basyariyah, persaudaraan sesama manusia. Persaudaraan yang dapat terjalin dan tetap erat apabila di antara satu orang atau organisasi yang memiliki perbedaan dengan lainnya melepas egosentrisme masing-masing.

 

Catatan Kaki:

1. Dikutip dari video ceramah Dr. Zakir Naik.

2. Dikutip dari sumber yang sama.

3. Hadits riwayat At-Tirmidzi, Kitab Iman, bab 18, no. 2641, dan At Tirmidzi, Kitab Fitan bab 7, no. 2165, dikutip dari sumber yang sama.

4. Muhammad Hasyim Asy’ari, Qanun Asasi Nahdlatul Ulama, Penerbit Menara Kudus, 1971, dalam Rohinah M. Noor, KH. Hasyim Asy’ari Memodernisasi NU Dan Pendidikan Islam, Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu, 2010, hal. 37.

5. Aksin Wijaya, Kontestasi Merebut Kebenaran Islam di Indonesia, Yogyakarta: IRCiSoD, 2019, hal. 135.

6. Berdasarkan pengamatan lingkungan sendiri.


Comments

Popular posts from this blog

Mendengarkan Cerita dari Seorang Manusia Lelaki (Sebuah Cerpen)

Ruangan yang Membungkus Si Pemuda (Sebuah Cerpen)

Menikmati Sekaligus Mempelajari Cerita Fiksi (Sebuah Resensi)